30 November 2007

Dinamika Jiwa-jiwa Revolusioner

Oleh: PizaRO

Jika tragedi dan pergolakan itu adalah sejarah

Tetap kenapa Sejarah itu tidak menjawabnya?

Apa karena Sejarah itu di jelaskan oleh jiwa?

Kita harus berpikir mencari tabir itu, kawan!

PROLOG

Ketika bersekolah dahulu mungkin tidak luntur daya memori kita untuk mengingat pelajaran sejarah dengan segudang kisah di sana, tepatnya perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari tahun peperangan, nama pahlawan, tempat bersejarah, organisasi tempo dulu, sampai rapat-rapat atau pertemuan–pertemuan yang pernah dilakoni oleh mereka. Dari yang di akhiri kata sepakat atau tidak, dengan endingnya suatu kekisruhan dengan mengambil tempat di medan pertempuran. Akan tetapi mendengar nada suram manusia itu banyak dari kita mengimajinasi rasa ngeri, takut, cemas atau kebingungan. Pun ada sebuah rasa nyaman untuk tidak memikirkan hal-hal aneh, karena bagaimanapun juga cerita telah menjadi bubur bernama sejarah dan kita sendiri tidak terlibat dalam pusaran itu.

Anggapan di atas tampaknya bukanlah suatu standar monopoli emosi manusia atas nama penafsiran sejarah, karena di pihak lain, ketika mendengar cerita perjuangan pahlawan kita terdahulu yang gigih melawan pejajahan, justru seolah-olah kita terserat untuk menghayati, meresapi, merenungkan, berempati pada suasana heroik-krusial dengan segenap idealismenya di sana. Mulai dari penindasan, penyanderaan, pergerakan, pemberontakan, perang dan dengan cantik di bumbui kobaran semangat yang tersimbul dalam yel-yel simple, namun sarat makna: Hidup atau Mati!

Pada akhirnya, skenario panjang nan melelehkan itu berjuang manis dengan "bayaran" proklamasi kemrdekaan. Dan kita tidak boleh lupa bahwa ada orang -orang itu (baca: pejuang) dengan jiwa yang masih menyala walau jasadnya telah di padamkan

Peristiwa penjajahan bangsa Indonesia hanyalah salah satu kisah yang mencoba menggiring kita untuk melihat fenomena sama dengan setting ruang, waktu, aktor, substansi masalah dan kompleksitas berbeda. Namun ada bebrapa peristiwa yang secara kualitas mungkin sulit di samakan dengan peristiwa penjajahan bangsa Indonesia namun bisa menjadi contoh kecil dengan proporsi yang sesuai. Dalam sudut ini kamuflase dapat di letakkan dalam kasus – kasus gerakan politik, dinamika buruh, gerakan mahasiswa, reformasi, revolusi ala prancis atau revolusi Iran yang mengagumkan

PSIKOLOGI "VIS A VIS" GERAKAN SOSIAL POLITIK

Gerakan sosial-politik itu akan terus ada sepanjang ada ketidakadilan di sana, anehnya ini menjadi bahan kajian serius dalam lingkup akademis. Pertanyaan besarnya adalah apa yang menyebabkan begitu banyak gerakan sosial politik itu pada kenyataannya harus diletupkan--dan memang harus--walau nyawa jadi taruhan. Gayung bersambut para pakarpun mencoba mengayuh untuk menemukan jawaban itu, mulai dari sejarawan, sosiolog, politikus atau semacamnya. Namun skema tafsir itu masih berkutat pada wilayah gerakan sosial-politik an sich[2] dan perlu mainstream yang berbeda agar dinamika tafsiran itu menciptakan simbiosis mutualisme.

Dalam perkembangannya psikologi bisa menjawab itu.[3] Karena psikologi tidak hanya menjelaskan tentang struktur dan dinamika individu saja, lalu terjebak pada rutinitas normal-abnormalitas subyek, thus mengembang menjadi individu sentris, tetapi juga secara prosesif bermain dalam medan sosial, gerakan, tragedi, chaos, yang semua itu dalam catatan bernama sosial politik!

Kultur inilah yang mencoba kita perluas-bahas, tanpa mengurangi suatu norma standar yang menjadi kewajiban psikologi dalam tafsiran jiwa revolusioner, yaitu tarikan antara subyek-obyek dalam sebuah fenomena. Secara sederhana, penulis ingin menggring pada suatu hipotesa awal mengenai struktur gerakan tersebut. Pertama manusia digerakan olah kondisi sosio-politik dan kedua individu dengan segenap potensi dan dinamikanya yang menjalankan situasi eksternal.

Pada intinya, kita dapat meletakkan dengan nyaman nuansa sosial ketika perspektif psikologi mengadirkan aksi gerakan secara massif. Selain itu pula kita diberi alternatif ketika jalan individu centris mengalami kebuntuan berpikir untuk menjawab fenomena yang menag tidak dapat dijawab dengan standar.

JIWA REVOLUSIONER DAN DIMENSI SOSIAL PSIKODINAMIKA ALFERD ADLER

Alfred Adler lahir di Wina pada tahun 1870 dikenal sebagai seorang dokter dengan memfokuskan diri dalam bidang psikiatri. Ia pernah menjadi presiden masyarakat psikoanalisis Wina. Pada perkembangannya, perbedaan substansial menjadi “biang keladi” cerainya psikiater yang peduli kepada anak-anak ini dengan psikoanalisis khas Freud. Alibinya sangat cerdas, ketidaksepahaman mengenai paradigma kaku ahumanis determinasi historis Freud.

Adler mengemukakan teorinya yang sederhana mengenai dorongan yang membentuk kepribadian individu yang berbasis sosial. Teorinya itu kemudian diberi nama dengan psikologi individu.

Pokok-pokok Teori Adler

1. Finalisme fiktif

Adler sangat dipengaruhi oleh filsafatnya Hans Vaihinger yang menyatakan bahwa manusia hidup dengan gagasan–gagasan aneh namun memikat bahwa manusia hidup dengan cita-cita yang semata-mata bersifat fiktif, yang tidak ada padanannya dengan kenyataan, riilitas, konteksis dsb. Gampangnya seperti ini: semua manusia di ciptakan sama atau kejujuran adalah politik yang paling baik. Atau perkataan Hitler “…bangsa Jerman adalah bangsa terbaik di dunia…” Aku paling hebat dalam matematika di Jakarta. Indonesia pasti bisa merajai Asia. Apakah kita tidak berpikir bahwa semua itu hanya idealisme semu ketika dibenturkan pada kenyataan.

Tujuan yang ingin dikejar itu mungkin suatu fiksi atau cita-cita yang tak mungkin terealisasikan, walau begitu ini menjadi pelacut bagi usaha manusia untuk mewujudkan impposibelity itu tadi.

2. Perjuangan ke arah superioritas

Tujuan utama yang diperjuangkan manusia adalah ’hasrat kekuasaan’. Adler mengidentifikasikan kekuasaan dengan sifat maskulin dan kelemahan dengan sifat feminim.

Uniknya, kemudiaan Adler menggantikan idenya tentang hasrat akan kekuasaan dengan ”perjuangan ke arah suprerioritas” ditegaskan bahwa perjuangan ke arah superioritas bukan pengkotakkan sosial seperti menjadi pemimpin, kedudukan yang tinggi atau berkuasa, lebih dari itu perjuangan ke arah kesempurnaan merupakan ’dorongan kuat ke atas’ menuju arah yang sempurna. Orang-orang komunis berjuang ke arah kesempurnaan dengan sistemnya sama rasa-sama rata.

3. Perasaan inferioritas dan kompensasi

Manusia juga didorong karena perasaan inferioritas dalam dirinya, dalam arti kelemahan yang melekat dalam diri, baik kelemahan fisik, kelemahan sosial, psikologis, martabat dll. Dan berusaha dikompensasikan dengan sebutan ”protes maskulin”, seperti kisah Napoleon Bonaparte yang menjadi penakluk. Adler mengklaim bahwa cara pikir Bonaparte menuju jiwa penakluk, karena dimotivasi oleh badan kecilnya. Amien Rais yang membongkar dana non-budgeter DKP, karena tertekan pada infeoritas martabatnya yang di gembor-gemborkan banyak media. Jamil Azzaini menjadi motivator ulung karena pernah diludahi sewaktu kecil. Sugiharto menjadi pengusaha, karena Ia tergolong keluarga miskin.

4. Minat kemasyarakatan

Sebagai penyokong keadilan sosial dan penunjang demokrasi sosial. Adler mulai memperluas konsepnya tentang minat sosial, menurut artinya yang mendalam, minat sosial berupa jiwa yang tertanam dan terasah dalam diri individu untuk membantu masyarakat dengan tujuan terciptanya masyarakat yang sempurna. Seperti minat menjadi ketua BEM karena ingn mncerdaskan teman-teman mahasiswa.

5. Gaya hidup

Semua orang mempunyai tujuan yang sama yakni superioritas, namun cara untuk mengajar tujuan ini tak terhingga jumlahnya, setiap orang cenderung berbeda. Gaya hidup cendekiawan akan berbeda dengan olah ragawan, cendekiawan membaca, belajar dan berfikir, sedang olah ragawan mengerahkan segenap usahanya untuk mencapai kesempurnaan otot dan seorang Prodem mempunyai gaya hidup studi dan aksi.

6. Diri Kreatif

Konsep ini merupakan puncak prestasi Adler. Namun konsep diri kreatif cenderung sulit dilukiskan, karena terlalu abstraktif. Singkatnya, dapat dilihat dengan jelas pada pengaruhnya, atau ekses dalam diri seseorang. Secara substantif pendapat tentang diri kreatif itu menyatakan bahwa manusia membentuk kepribadiannya sendiri. Diri kreatif berfungsi mengelola fakta-fakta dunia yang diperoleh dalam pengalaman man keseharian dan mentransformasikan fakta-fakta ini diartikulasikan menjadi kepribadian yang subyektif, dinamis dan unik via intelektulitas diri, emosi diri, konasi atau spiritual. Kesemuanya itu sangat subyektif! Ekslusif!

MAKNA

Jiwa revolusioner sebagai penggerak manifestasi gerakan sosial politik mencoba diurai dengan sederhana via skema finalisme fiktif Adler, bahwa Revolusi adalah tujuan yang bisa jadi semu untuk di lakukan saat ini, bisa jadi iya! Dan bagaimanapun, keinginan kadang tidak sesuai dengan keadaan. Akan tetapi semangat merubah dan visi itu harus tetap ada. Denagn ini, Kita menangkap pesan moral dari platform berpikir Adler bahwa keberaniaan untuk bermimpi menjadi terlestarikan, karena itulah senter penerangan pada malam hari yang mengiringi kita untuk mmenemukan jalan kebahagian.

Tanggal 12 agustus 2007 yang lalu, ada sebuah perhelatan besar berjudul Konferensi Khilafah Internasional yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gelora Bung Karno--secara kebetulan penulis hadir, karena tertarik menghayati problema Muslim dunia--. Dalam batin, penulis terus bertanya nakal “ngapain HTI terus meneriakkan yel-yel Khilafah, padahal itu bisa jadi utopis untuk saat ini, bayangkan syariat Islam saja sulit ditegakkan di Indonesia, apalagi wacana Negara Islam Internasional.

Dalam lingkup gerakan kita mengenal sebuah komunikasi politik bernama propaganda. Nah bentuk strategi ini sebenarnya hanya efek domino dari sebuah bentuk perjuangan yang ingin dicapai. Begitu pula dengan HTI, negara Khilafah dengan topangan keniscayaan--dalam pandangan HTI dengan merujuk ke Al-Qur’an—membentuk rasa percaya diri untuk terus bergerak dengan segenap idealisme di belakangnya. Secara riil mereka tak perlu risau dengan umpatan-umpatan mengenai eksistensi Khilafah, karena bagaimanapun opini ke masyarakat terus digalakkan sebagai sebuah strategi, yang akhirnya masyarakat luas mengerti apa yang ingin dituju.

Selain itu, kontruksi penyadaran bahwa kita sedang mengalami kelemahan secara sosial politik dengan praktik tidak berjalanya keadilan sosial memaksa manusia untuk berbuat menuju arah superioritas dengan cara – cara yang terbaik tapi meminimalisasikan ego diri[4] Adapun selanjutnya superioritas itu tetap berjalan pada level yang ideal dan menghindarkan konfromi politik dengan janji-janji. Dan para pahlawan kita telah banyak memberi referensi untuk meredusir tekanan eksternal, karena jihad yang utama ialah jihad melawan penguasa yang dzolim[5]

Hal lain adalah masing-masing relung jiwa revolusioner mestilah mengkualitaskan diri agar jiwa itu tidak padam dan mempunyai rasionalisasi tepat, tidak asal bicara dan tidak mudah dipatahkan, eksistensi itu memang sesuai kadar subyek manusia, namun dimodifikasi menjadi subyek yang tersosialkan melalui jalan penyamaan visi yang sebelumnya.

Gaya hiduppun melakukan intruksi agar kehidupan sehari-hari menunjang untuk membuat suatu jiwa yang diinginkan. Selangkah lebih maju bahwa jiwa revolusioner mengambil tempat di masyarakat, karena notabene tujuan itu adalah masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Tanpa melibatkan unsur masyarakat, jiwa itu mungkin akan jatuh di lubang yang sama pada kasus-kasus terdahulu. Karena sejatinya jiwa revolusi itu berangkat dari kondisi masyarakat, bahkan kebutuhan masyarakat an sich.

Apapun kompleksitas jalan terjal dalam setiap perjuangan pasti akan ada manfaatnya, sekalipun penghusung perubahan itu telah mati. Voltaire (Francois Marie Aroet) dan Revolusi Perancisnya telah menunjukan keniscayaan, tepat 13 tahun setelah Voltaire meninggal di tahun 1778. Voltaire mungkin tidak merasakan Revolusi Perancis itu. Tetapi berkat gagasan politik dan agamaya yang menantang setiap kekuasaan berdasarkan garis keturunan, mempunyai kontribusi positif dalam terciptanya revolusi pada tahun 1789. begitupula dengan Ali Syariati, dalam masa antara kematiannya dengan Revolusi Iran 1979, ide-ide Syari’ati memegang peran sangat penting dalam mendorong perlawanan rezim Pahlevi.[6]

Maka daripada itu penting apa yang disebut falsafah hidup ala GW Allport, bahwa falsafah hidup (bisa dibaca prinsip hidup) penting untuk menggandeng kita agar tidak terpeleset dalam objektifitas semu dengan mengabaikan prinsip dalam hidup. Prinsip menjadi sandaran dan fondasi agar segala yang mendasari perilaku kita memberi arti dan tujuan.

[1] Konteks Sosial Politik.

[2] Dan adalah wajar jika mereka menafsirkan pada wilayah pengalaman mereka (baca: background keilmuan) ditambah lagi ilmu politik dan sosial banyak bersentuhan secara langsung dengan fenomena tersebut. Tokoh-tokoh ini biasa diwakili oleh kaum kampus. Dari UI ada Eep Saefullah Fatah, Ikrar Nusa Bhakti, KusnantoAngoro dan lain-lain. Dari UGM ada Sejarawan Anhar Gongong, Kuntowijoyo dll, dari UIN ada Azyumardi Azra, Bahtiar Effendi, Syaiful Mujani dll.

[3] Pada awalnya psikoanalisis di pengaruhi oleh pandangan positivisme Fisika dan biologi abad ke 19 seperti seksualitas Sigmund freud. Selain itu pula pada akhir abad 19 juga terdapat arah pikran lain yang terutama dipengaruhi oleh sosiologi antropologi. Menurut ilmu-ilmu sosial manusia adalah terlebih hasil masyarakat dimana dia itu hidup. Sedikit demi sedikit pandangan ini meresap ke psikologi dan mendewasakan psikologi untuk lepas bergelut dengan individu sentris. Endingnya telah lahir dari rahim psikologi umum dengan sebutan psikologi sosial.

[4] Termin ke alpaan ideologis yang terjadi pasca 98 salah satunya ialah membiarkan fragmentasi terjadi di dalam diri penghusung reformasi. Kejadiannya biasanya ialah ikatan emosional mahasiswa dengan status quois—ingat juga angkatan 66-- Ini juga di sebabkan karena setiap mahasiswa tidak mau bergeming mempertahankan ego subyektifnya, masing-masing merasa paling benar.

[5] Selain itu termin kealpaan mahasiswa pada era presiden Megawati salah satunya tidak mensetting reformasi sebagai sebuah tujuan jangka panjang. Jika mengambil intisari superioritas, bahwasanya gerakan sosial politik dengan cikal revolusioner mencoba menelusuri gagasan idealisme yang terbaik, bukan parsial dan cenderung bersifat sesaat.

[6] Sebagai catatan Ali Syari’ati meninggal secara aneh di Inggris tahun 1977. Kita perlu takjub dengan dominasi pikiran-pikiran Ali Syari’ati kepada masyarakat Iran, slogan-slogannya diletakkan dengan tradisi Syi’ah “setiap hari dalah Asyura’, setiap bulan adalah Muharram, setiap tempat adalh Karbala” dan itu diteriakkan di sepanjang jalan oleh beratus-ratus ribu manusia. Selain itu pula peran penting lainnya dari Ali ialah dimana ia bisa terbilang sukses untuk memaksukkan termin agama dalam revolusi. Dan kita ketahui secara tidak langsung ini menyanggah dan melalukan counter opini terhadap Karl Marx yang menyangsikan turut serta agama dalam wilayah revolusi: Sebuah Antitesa!

Iran pasca Revolusi, banyak kalangan ulama menyorot Ali sebagai kontributor utama dalam Revolusi Iran dan sukses dalam merubah masyarakat. Lebih lengkap lih. Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003 atau Ralf Dahendorf , Refleksi atas Revolusi di Eropa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Perkembangan Pesat Psikologi di Indonesia: Isu dan Ilmu

Oleh: Pizaro

Apa Tanggapan Anda melihat 2 berita di bawah ini?

Berita pertama tentang Anik Koriah, 31 tahun, tersangka pembunuh tiga anaknya, diduga menderita kelainan jiwa berupa paranoid yang berlebihan. “Hasil penyidikan sementara dia memiliki kekhawatiran yang berkepanjangan atas nasib ketiga anaknya,” ujar Kapolres Bandung Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi.
Kuasa hukum tersangka, Adardam, tidak membantah jika kliennya merasakan ketakutan yang berlebihan atas nasib ketiga anaknya. “Bahkan saya sempat mendengar usulan psikolog untuk memeriksakan Anik ke psikiater,” katanya

Berita kedua tentang Empat anak yang tewas terbunuh karena diracun ibu kandungnya sendiri. Setelah keempat anaknya tewas, sang ibupun menyusul bunuh diri, dengan meminum racun yang sama. Kelima jenazah tersebut adalah Junania Mercy, 35, dan empat anaknya, yaitu Athena Latonia, 11, Prinsessa Ladova, 9, Hendrison, 9, dan Gabriela Al Cei, 1,5. Peristiwa menggegerkan itu baru diketahui masyarakat pada Minggu (11/3) siang.

Diduga mereka telah tewas pada Sabtu malam. Sebelum bunuh diri, Mercy menjajarkan keempat anaknya yang sudah tewas di atas tempat tidur di rumah mereka di Jl Taman Sakura RT 1/10 No 12, Lowok Waru, Malang. Tak jauh dari kelima mayat itu terdapat surat yang ditulis Mercy, yang berisi ucapan terimakasih pada suami Mercy yang juga ayah keempat bocah, Hendri Suwarno, 37. Mercy juga meminta agar jenazahnya dan anak-anaknya dikremasi.

Berita berita diatas seakan menandakan ada suatu gejala kejiwaan yang berkembang akhir-akhir ini. Cuplikan liputan di atas, hanya sebagai contoh dari maraknya fenomena dinamika psikis masyarakat. Belum lagi kita melihat berita tentang penembakan sesama polisi yang terjadi di Semarang, Papua, Surabaya dan tempat lainnya. Lalu Smack Down ala bocah kencur, KDRT, Tawuran Warga, Kesurupan, Pengungkapan Kasus korupsi, gerakan Mahasiswa, Perceraian, Depresi, Paranoid, Trauma, Skizo, OK, Incest, Neurosis serta kasus lain yang bernuansa psikis.

Pertanyaannya kemudian bagaimana peran para psikolog, psikiater, konselor, agamawan menanggapi kasus seperti di atas? Gayung bersambut banyak dari mereka mengeluarkan kemampuannya dalam melihat secara jernih kasus tersebut, serta endingnya melakukan terapan dalam menyelesaikan permasalahan ini.[1]

Ya permasalahan psikis memang menjadi trendsetter kegelisahan manusia di Indonesia, tidak dapat ditutupi bahwa ini semua semakin memperlihatkan kadar kesehatan jiwa masyarakat.

Psikologi sebagai ilmu yang berorientasi kepada dimensi psikis individu, memang seakan terkena getahnya dari lingkaran utama dari ini semua. Ilmu yang dikatakan sebagai “Hari Depan” oleh Prof Slamet Iman Santoso ini,[2] telah menjadi ilmu yang diminati oleh mahasiswa tidak hanya untuk masuk menjadi mahasiswa Psikologi tapi untuk membacanya, mendiskusikannya, mangangkatnya atau sekedar memakai buku-buku psikologi untuk menambah-nambah referensi di Skripsi.[3]

Dari sudut pengembangan, Psikologi tampaknya mulai mengejar ketertinggalan dari ilmu sosial atau humaniora yang lebih dulu hadir dan berkontribusi terhadap dunia.[4]

Dalam keseharian istilah-istilah dalam psikologipun kerap diangkat dalam bentuk komunikasi verbal, seperti kata-kata: psikologis, emosional, trauma, karakter, pribadi dan hal lainnya.

Problem Pradigma Konseling

Kalau ditilik dalam pendekatan historis sebenarnya konseling itu hadir di Indonesia seiring dengan lahirnya Psikologi. Sebagai catatan Prof Slamet menghadirkan disiplin Psikologi, salah satunya terdesak oleh kebutuhan pendidik yang profesional dalam menangani kasus siswa di sekolah-sekolah. Ini terlihat jelas dari pernyataan Prof Slamet ketika diwawancara oleh Joesoef Noersjiwan.

“Bahwa sedapat mungkin pada setiap sekolah disamping seorang guru biasa, harus ada seorang psycholog yang mengikuti perkembangan murid-murid, memberikan advis pada guru-guru, cara pendidikan dan penyaluran”. Kata Prof Slamet. Dari ide diatas akhirnya substansi konseling mulai dibuka di perguruan-perguruan tinggi dengan nama Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang kemudian dikenal dengan nama Bimbingan dan Konseling.

Sebagai insan konseling, sebenarnya kita harus peka kepada isu psikologi yang berkembang dewasa ini. Kalahnya start konseling dalam bermain pada lingkup krisis manusia modern salah satunya disebabkan pada paradigma sempit dalam menafsirkan BK itu sendiri. Ada beberapa hal yang mesti didiskusikan mengenai karakter BK saat ini. Cara yang baik ialah dengan melakukan reinterpretasi mengenai makna BK. Setidaknmya ada sekitar 5 masalah yang menjadi “biang keladi” dalam merias wajah BK dewasa ini. Gugatan secara etis layak untuk dimunculkan mengingat sekarang kita sedang bicara mengenai pengembangan BK.

  1. Menangani/Mengobati

Konseling tidak tepat rasanya jika hanya dilakukan untuk mengahadapi masalah. Banyak pihak menilai Konselor bekerja menangani masalah yang ada, dan berkesudahan ketika masalah itu terselesaikan juga ataupun ketika klien tidak lagi mendatangi konselor.

Berangkat dari perdebatan antara wilayah kerja BK dan Psikoterapi. Tidak jarang pakar merangkum distingsi kedua hal tersebut. Seperti dirangkum oleh Latipun mengenai perbedaan keduanya, disebutkan bahwa BK menangani masalah yang situasional sedangkan Psikoterapi menangani emosional yang berat neurosis.[5]

Namun titik tekannya bukan hanya pada kualitas kasus, tetapi pada periodeisasi masalah. Ada baiknya BK tidak hanya disibukkan pada bentuk layanan mengobati masalah, tetapi ada bentuk yang dilupakan sebagai ciri khas kesempurnaan serta kemapanan BK yaitu mencegah dan membangun.

  1. Lisan

Dalam era glonbalisasi ini dimana segala hal serba baru dan kreatif, banyak ilmu dipacu untuk mengepakkan sayapnya dalam menangani krirsis manusia modern. Tak terkecuali BK yang patut menyeburkan diri dalam pusaran ini.

Dunia jurnalisme sebagai dunia tulis menulis dapat dijadikan partner untuk mengemas BK melaui tulisan yang termuat dalam media massa. Internet? Rasanya diandalkan dalam mewujudkan visi ini, seperti yang dilakoni e-psikologi dengan konseling via emailnya. Atau lebih menariknya guru BK dapat membuat semacam rubrik BK dengan kemasan menarik untuk memikat siswanya. Hal ini dirasa perlu karena tidak setiap orang dapat mendatangi konselor, selain itupun banyak individu yang canggung berbicara kepada konselor.

  1. Institusi Pendidikan

Permasalahan ini cukup urgen, bahwa BK ialah ada di Sekolah, secara tak langsung, mempersempit ruang kerja BK. Ini tidak lepas dari “monopoli” jurusan BK yang diletakkan di kampus keguruan dan pendidikan. Dan khususnya di Indonesia, fenomena ini pun belum dirasa berkembang secara signifikan untuk membentuk BK non pendidikan.

Secara realita, sebenarnya tidak semua kampus memojokkan BK ke wilayah ekslusifitas pendidikan, toh ada beberapa keguruan yang mencoba terlepas dalam pergulatan pemikiran dengan tujuan akhir pendidikan. UPI misalnya, membuka studi konseling karir, lintas budaya atau sosial kemasyarakatan. namun karena hidupnya jurusan itu di kampus-kampus dengan latar keguruan, akhirnya sulit membenamkan rasa apriori pada 2 wilayah yaitu keilmuan dan ruang kerja.

  1. Individu

Individupun tidak kalah pentingnya dalam menciptakan sebuah nilai atau paradigma. Seperti yang disebut diatas tadi, tentang stigma BK sebagai jurusan yang soft memang tidak bisa dielakkan, ketika BK masih berfokus pada penanganan individu.

Penulis melihat stigma individu yang ditanamkan kepada BKI, berkenaan dari berbagai teori yang ada. Secara historis, wajar jika teori itu berorientasi kepada individu, mengingat teori BK belum lepas dari penciptanya yang berasal dari psikologi atau psikiatri. Sebutlah Carl Rogers, Ivan Pavlov, BF Skinner, Alfred Adler dan sebagainya[6]

BK sebagai event monopoli individu, tentu tidak etis diletakkan pada asumsi yang salah. Akan Tetapi berangkat dari corak suatu budaya dan masyarakat yang juga bangga dengan jatidiri massa, perlu dipertimbangkan. Banyak individu yang merasa nayaman dengan pendekatan BK secara massa. Analogi mudahnya seperti pertandingan sepakbola. Ada orang yang nyaman menonton sendiri, namun banyak juga yang lebih menikmati jalannya pertandingan secara beramai-ramai, atau pula berangkat langsung ke stadion, melihat bintang pujaan. Ini berarti BK pun dapat menarik, jika dikemas dalam bungkus massa, dengan dampak positif para klien dapat terpacu adrenalinnya.

Ada yang perlu yang diingat bagi model intervensi secara massa. BK secara massa harus pula dibingkai yang bersifat dinamis, progresif dan mengikuti pola-pola yang kreatif sesuai tuntutan zaman.

  1. Inisiatif Klien

Perguruan tinggi mempunyai 3 karakter yang dipelihara secara luhur yang populis disebut tridharma. Pengajaran, penelitian serta pengabdian. Secara etis tiga hal itu mesti dipraktikan juga dengan kreatif dan penuh dinamisasi. Konselor sebagai pengabdi masyarakat mesti berperan aktif dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat madani. Konsekuensi logis dari hal ini adalah aktivasi BK digalakkan dalam suatu setting kemasyarakatan. Tidak sepantasnya konselor hanya menuggu inisiatif klien datang, dan berorientasi komersial. Hal ini sebagai tantangan LSM BK yang mempunyai target-target pembinaan masyarakat.

Situasi Kondusif Psikologi saat ini di Indonesia

Awalnya psikologi berurusan dengan perilaku individual saja, walaupun sejak zaman pra-Wundt, sudah disadari bahwa kaitan perilaku individu itu dengan lingkungannya sangat erat. Namun pengaruh lingkungan yang besar membuat suatu paradigma baru dalam psikologi.

Michael Freese ketua IAAP (International Association of Applied Psychology) mengatakan ada 4 kecendrungan Psikologi saat ini.[7] Yang pertama adalah makin meningkatnya internasionalisasi psikologi, karena globalisasi, makin seringnya kontak antar negara, komunikasi antar budaya dan lintas negara dsb. Kecenderungan kedua adalah bahwa akhir-akhir ini berbagai disiplin/cabang psikologi bertumbuh dan bergerak lebih cepat dari masa-masa lalu. kecenderungan ketiga. Yaitu terapan psikologi makin lama makin spesifik, makin teknis dan makin profesional. Kecenderungan ini didorong oleh keharusan menunjukkan kompetensi yang lebih baik dari pelayanan-pelayanan jasa sejenis psikologi yang ditawarkan dan diberikan oleh orang awam. Akhirnya, kecenderungan keempat adalah bahwa psikologi makin lama makin terkait dengan kebijakan (policy oriented), yaitu secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan-kebijakan dalam pemerintahan, pendidikan, perusahaan dsb.[8]

Saya coba mengutip pernyataan dari Prof Sarlito, pada dasarnya masyarakat yang concern pada permasalahan individu atau kejiwaan di Indonesia di untungkan dengan nama besar psikologi yang sudah dikenal luas masyarakat. Dengan begitu peluang untuk berkecimpung di masyarakat semakin luas.

Indikator kuat lainnya ialah semakin banyak buku-buku psikologi yang ditertbitkan. Sebagai contoh, Psikoanalisis yang dibilang pudar, malah banyak di cetak ulang dan dibahas dalam bentuk buku oleh para penulis di Indonesia. Contohnya Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud yang dicetak tahun 2006 atau Iman Setiadi Arif Dinamika Keopribadian: Gangguan dan Terapinya ayang diterbitkan pada tahun 2005. Buku-buku terjemahan Freudpun banyak dicetak ulang di tahun 2000an antara lain Civilization and Discontents, Toteem dan Taboo, dan Pengantar Umum Psikoanalisis.

Baru-baru ini Hana Djumhana Bastaman justru menerbitkan buku barunya tentang Logoterapi, suatu mazhab psikologi humanistik modern dan di bedah juga pada 9 juni yang lalu di Pesta Buku Jakarta. Kita ketahui mazhab psikologi ciptaan Viktor Frankl ini sangat diminati psikolog muslim di Indonesia.

Karenanya, kita patut bangga dengan situasi ini. Namun bagaimana dengan peran mahasiswa BPI melihat situasi ini. Hanya individu-individu yang cerdaslah yang mau mengambil kesempatan ini. Agar kita tidak kalah dengan mahasiswa UI, UGM, Sanata Darma, Malanng, dll. Semoga kawan.. karena menjadi besar dan cerdas adalah keniscayaan bagi mereka yang mau, pandai dan bekerja keras. Hidup BPI!!!!!!!



[1] Kalau mau berpikir nakal lagi bahwa di antara merekapun terlihat berebut untuk menjadikan kasus-kasus kejiwaan sebagai “tender” keilmuan masing-masing. Psikiater yang sebelumnya hanya melihat permasalahan dalam terapan kedoketran Jiwa, kini mulai menjajah lahan psikologi dan konseling dengan berbicara mengenai budaya, lingkungan, keluarga yang botabene menjadi hak psikologi dan konseling. Saya melihat peta kasus yang banyak diexpose di media telah didominasi oleh Psikiater dan Psikolog.

[2] Pak Slamet ialah pelopor Psikologi di Indonesia, basic beliau adalah Kedokteran. Fakultas Psikologi pertama di Indonesia berada di UI yang beroperasi pada tahun 1953. Untuk lebih lengkapnya lihat. Slamet Iman Santoso, Psychology sebagai Ilmu Pengetahuan dan Hari Depan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

[3] Ini bisa dilihat di UIN Jakarta sendiri dimana Psikologi hadir di beberapa Fakultas dalam bentuk mata kuliah yang tidak hanya bercorak umum tetapi khusus. Seperti di Fak. Adab dan Humaniora ada mata kuliah Psikolinguistik, di Fak. Ekonomi dan Ilmu Sosial ada Psikologi Manajemen, Psikologi Konsumen, PIO. Di FDK ada Psikologi Komunikasi dan Psikologi Sosial, sedangkan di Fak Syariah ada Psikologi Hukum. Fak. Tarbiyah mempunyai Psikologi Pendidikan.

[4] Di Indonesia, Sosiologi juga kalah langkah dengan Psikologi, Indikatornya dapat dicek dari pengembangan Sosiologi itu sendiri, yang untuk S2 nya saja hanya mempunyai 2 peminatan Sosiologi dan Sosiologi Pembangunan. Berbeda dengan Psikologi yang mempunyai 3 peminatan yaitu Sains, Profesi dan Terapan yang juga mempunyai konsentrasi sendiri. Filsafatpun setali tiga uang, sebagai ibu dari psikologi, Filsafatpun menjadi kurang diminati karena salah satunya ialah unsur pragmatisme filsafat yang telah menyebar ke “anak-anaknya”.

[5] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM) 2003 h. 15

[6] Psikiatri sering disebut ilmu kedokteran jiwa, tetapi penulis bukan pada wacana yang memastikan bahwa psikiter pasti menangani individu, tetapi lebih kepada wilayah epistemologi keilmuan atau menemukan teori dengan pengalaman individu-individu yang bermasalah.

[7] www.untag-sby.ac.id/?mod=berita&id=32

[8] Sarlito Wirawan Sarwono menilai di Indonesia bahkan sudah sampai taraf operasional seperti penanggulangan teror, penanganan korban konflik atau pasca-trauma, pencegahan dan penyembuhan korban narkotika, pengaturan lalu-lintas dsb

07 November 2007

Kemana Filsafat Ilmu BPI?: Menuju Efektifitas Ilmu.

Pizaro*

Judul ini terasa menggelitik jika kita kaitkan dengan kondisi riil jurusan BPI di berbagai sudut, asumsi ini sebenarnya tercipta oleh gambaran mahasiswa dan system jurusan BPI yang berkembang kini. Pada substansinya asumsi ini akan menggiring kita kepada sebuah pemahaman baru.
BPI kita ketahui sebagai sebuah jurusan berlabel praktis banyak berbeda dari segi pembelajaran ketimbang jurusan yang lain, hal ini dapat dilihat dengan kaca mata sempit dari nama jurusan BPI sendiri yang tidak memakai kata ilmu di depannya . Pikiran kita lalu digiring untuk mencoba barfantasi nakal “apa karena ini keilmuan BPI terkesan mandeg”?
Kita tentu tidak boleh lupa dalam sebuah bingkai ilmu harus mempunyai essensi filsafat yang mapan, dengan singkat kita dapat melihat pada 3 komponen Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ketiga hal inilah yang seakan “tertinggal” untuk dipikirkan di jurusan.
Wilayah ini jangankan untuk diperdebatkan, disinggung saja tampaknya masih terhitung langka. Apa indikatornya? Yupp, kita tidak mempunyai mata kuliah Filsafat Ilmu BPI hingga kini, bahkan Filsafat Ilmupun masih angan-angan, kita terseret untuk menggembangkan segi praktisnya. Lagi-lagi apa indikatornya? Kita hanya berhenti pada mata kuliah pengantar Filsafat dan Filsafat Manusia, serta Filsafat Dakwah dan asyik berkubang pada segi praktis.
Ekses dari hal ini tergambar jelas kepada bangunan BPI yang belum dirumuskan, kita masih belum bisa menyelesaikan “permasalahan intrernal” keilmuan BPI. Sebagai contoh mata kuliah yang mesti disambut baik, namun ujungnya jauh dari harapan, sebut saja Hadits BPI yang harusnya menyentuh lini vital Konseling Islam, akhirnya berubah menjadi mata kuliah hadis yang notabene sama dengan jurusan lain. Selain itu ada Tafsir BPI yang setali tiga uang dengan hal tersebut.
Perdebatan panjang yang harusnya melahirkan sebuah efektifitas ilmu, akan tetapi masih berlari mengelilingi bundaran tapi tidak bisa menyentuh titik tengah bundaran tersebut.
Tentu jika kita bandingkan dengan keilmuan lain di luar konteks keislaman, kita akan menemukan ketertinggalan jauh. Contoh dengan Ilmu-ilmu sosial, seperti Ilmu Politik, Antropologi, Sosiologi dan masih banyak lagi.

Problem Filosofis Ilmu
Dunia penelitian sebagai simbol epistemologi, mempunyai peran penting dalam naungan ilmu. Kita melihat dalam berbagai kritik, hal vital yang menjadi sasaran tembak adalah wilayah epistemologi. Contoh kritik Malik Badri kepada psikoanalisis. Alangkah bikjaknya BPI mempunyai standar khusus. Bukankah ketika kita memahami esensi sebuah metode kita akan menciptakan metode-metode baru, namun jka kita hanya mempelajari metode itu sendiri kita akan terjebak dengan metode tersebut.
Esensi dalam memahami substansi sebuah ilmu ialah manfaat agar kita tidak terjebak pada pedebatan panjang. Kejadiannya persis dalam segenap jurusan BPI dalam barbagai daerah, setiap saat setiap waktu tidak lain akan terus mengutak atik kurikulum. Namun hasilnya tidak melulu puas. Tentu puas disini bukan usaha dalam ijtihad ilmu, namun “terus lapar walau suah mekan berkali-kali”.
Dalam segi ontologis, BPI belum punya kematangan dalam mengenali badannya sendiri, berbagai mata ilmu masih terkesan comot sana comot sini. Ekses dari hal ini BPI belum PD untuk berkiprah lebih jauh menytakan dirinya. Serba tanggungkah? Kita bolehlah menginduk ke psikologi, namun suatu keniscayaankah bila filter Imu BPI kuat menandakan sisi ontologis yang begitu mapan.
Kaca mata aksiologis kini yang kita angkat, saya begitu heran kenapa jarang ada orang BPI ikut serta dalam kasus-kasus elit bangsa atau dunia, contohlah penyelesaian trauma di Aceh, penanganan stress di Sidoarjo dan konflik Poso. Kebanyakan sebagian dari kta masih bermain pada skup RS, Lapas dan panti sosial. Kita bisa mengatakan wilayah klinis seperti itu bukanlah garapan BPI. karena Kita harus berkutat pada wilayah maslah ringan saja. Namun apakah kita juga tidak bertanya kenapa psikiater berbicara konseling secara fasih dan kenapa psikolog sering disebut konselor. Bukankah mereka orang-orang yang seharusnya tidak mengambil lahan BPI. Dalam kenyataannya tidak ada standar profesi dalam realitas. Sekarang pertanyaannya kita mampu atau tidak?

* Mahasiswa BPI Jakarta

06 November 2007

KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT

Oleh: Abdul Hayat

ABSTRAK

Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).

Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.

B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.


DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36): 179-191,.

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.

Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.

Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.

Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.

Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.

Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.

Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.

Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.

Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.

Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994.

Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.

Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.

Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.

Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF AL-QURAN)

HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA

(PERSPEKTIF PSIKOLOGI KONSELING DAN AL-QUR’AN)

Oleh: Abdul Hayat*

ABSTRAK

Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi.Dalam paparan ini ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan.

Kata-kata kunci: Hakikat Masalah, Perspektif Psikologi Konseling, Perspektif Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN

Semua manusia yang hidup di dunia pasti bermasalah, sebab hidup sendiri adalah bagian dari masalah, oleh karena itu seyogyanya kita hidup jangan takut dengan masalah tetapi kita mencoba memahami masalah yang ada dan menghadapinya secara rasional dan realistis.

Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi, dengan kata lain terjadinya sesuatu yang tidak dinginkan, seperti dikemukakan oleh Arikunto, yaitu sesuatu yang tidak beres, dalam arti tidak atau belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan), soal, atau persoalan2. Apapun namanya, umumnya masalah itu terjadi tidak dikehendaki dan bahkan menyakitkan, sehingga bagi sebagian kita yang yang tidak mampu mengenali hakikat masalah dan tidak tahu cara menghadapinya dengan baik maka ia akan mengganggu kesetabilan pribadi, dan terjadilah pribadi bermasalah, malasuai, maladaptif, dan sejenisnya.

Dalam paparan saya kali ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita.

Judul yang saya kemukakan di atas memang terlalu muluk, saya maksudkan dengan perspektif psikologi konseling disini hanya satu bagian kecil teori pendekatan konseling yang berkembang, begitu juga dengan Al-Qur’an, hanya bagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu dikemukakan dengan pemahaman yang sangat minim. Semoga bermanfaat.

B. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF

PSIKOLOGI KONSELING)

Ada banyak teori dan pendekatan psikologi yang diterapkan dalam konseling, paling tidak ada sembilan teori yang sekarang ini sangat populer yaitu Psychoanalytic Therapy (Sigmund Freud), Adlerian Therapy, Existential Therapy, Person Centered Therapy (Rogers), Gestalt Therapy, Transactional Analysis, Behavior Therapy, Rational Emotive Therapy, dan Reality.Therapy. Masing-masing teori ini memandang hakikat masalah dalam sisi yang berbeda-beda begitu juga dengan pendekatan yang ditawarkan, namun maksudnya sama yaitu bagaimana agar masalah itu tidak mengganggu keseimbangan peribadi secara berlebihan.Pada sajian kali ini, saya akan mengemukakan secara singkat pandangan teori Rational Emotive Therapy dengan tokoh utamanya Albert Ellis.

1. Hakikat Masalah

Menurut pendekatan ini, manusia itu memiliki tiga potensi pokok, yaitu; (a) potensi berpikir, baik yang rasional atau lurus maupun yang tidak rasional atau bengkok, (b) kecendrungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaannya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri, (c) memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda-nunda, berulang-ulang melakukan kekeliruan, percaya pada takhayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindari adanya aktualisasi potensi pertumbuhan yang dimilikinya3.

Pada hakikatnya bahwa manusia itu tidak sempurna, yaitu memiliki potensi positif dan negatif, maka teori ini berusaha untuk menolong mereka untuk mau menerima dirinya sebagai makhluk yang akan selalu membuat kesalahan namun pada saat yang bersamaan juga bisa belajar hidup damai dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain orang dapat belajar mengubah pikiran mereka sehingga pikiran mereka menjadi positif dan tidak tertekan4.

Masalah atau gangguan emosional berasal dari: (a) kita mempelajari keyakinan yang tidak rasional adalah dari orang lain yang signifikan pada masa kanak-kanak, (b) kita sendirilah yang menciptakan dogma dan takhayul (superstitions) yang tidak rasional itu, kemudian (c) secara aktif kita menamkan kembali keyakinan keliru itu dengan jalan memproses sugesti pada diri sendiri (autosuggestion) dan pengulangan sendiri (self-repetition)5.

Jadi yang menjadikan sikap disfungsional tetap hidup dan beroperasi dalam diri kita adalah karena sebagian besar pengulangan yang kita buat sendiri terhadap pikiran tidak rasional yang diindoktrinasikan kepada kita dulu, bukan pengulangan dari orang tua.

Masalah yang mengganggu kepribadian seperti duka, menyesal, dan frustasi hakikatnya adalah merupakan hasil pemikiran irasional. Kualitas irasionalnya berasal dari tuntutan agar dunia ini seharusnya, seyogyanya, dan harus berbeda.yang bersifat mutlak Jadi masalah itu bukan peristiwa yang terjadi, tetapi pada pemikiran kita tentang hal yang terjadi itu.

Berikut ini adalah beberapa ide tidak rasional yang kita internalisasi dan yang pasti membawa ke penggagalan diri 6

a. Saya harus dicintai atau diterima oleh semua orang penting dalam hidup saya.

b. Saya harus melakukan tugas penting secara kompeten dan sempurna.

c. Oleh karena saya sangat menginginkan agar orang memperlakukan saya dengan penuh pengertian dan jujur, maka mereka mutlak harus berbuat seperti itu.

d. Apabila saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan maka itu merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan dan saya tidak tahan.

e. Lebih mudah menghindari kesulitan hidup dan pertanggungan jawab dari pada melakukan suatu bentuk disiplin diri yang menjanjikan keuntungan.

Ellis menggambarkan hakikat masalah ini dengan konsep berikut: Activating event (A), Belief (B) dan Emotional Consequence (C), yang dikenal dengan teori A-B-C.7

Diagram berikut ini akan menjelaskan interaksi dari ketiga komponen tersebut.

A (Activating event) B (belief) C (emotional and behavioral consequence)

A, adalah keberadaannya fakta, suatu peristiwa, atau perilaku atau sikap seorang individu.

B, yaitu keyakinan si pribadi pada (A), pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.

C adalah konsekuensi emosi dan perilaku ataupun reaksi si individu; reaksi itu bisa cocok, bisa juga tidak.

Peristiwa yang sedang berjalan pada (A) tidak menjadi penyebab pada (C/konsekuensi emosi), melainkan (B/keyakinan si pribadi pada A) yang banyak menjadi penyebabnya. Misalnya, apabila seseorang mengalami depresi setelah bercerai dengan suami/isterinya, mungkin bukan perceraian (A) itu sendiri yang menjadi penyebab reaksi dalam bentuk depresi, tetapi keyakinan si individu (B) bahwa ia gagal, merasa ditolak, atau kehilangan sangan yang menjadi enyebabnya8.

2. Pendekatan yang Dilakukan

Pendekatan yang dilakukan setelah mengetahui hakikat masalah ini adalah melakukan disputing intervention (meragukan /membantah) (D) terhadap keyakinan dan pemikiran yang tidak rasional pada (B) agar berubah kepada keyakinan, pemikiran dan falsafah rasional yang baru (E), sehingga lahir (F) yaitu perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.

Teori ABC dan pendekatannya DEF dari Ellis ini kalau digambarkan dalam bentuk bagan kurang lebih demikian:

A B C

(activating event) (belief) (emotional and behavioral consequence)

D E ) F

(disputing intervention) (effect) (new feeling)

Setelah A, B, dan C maka munculah D,E, dan F.

D, adalah yang meragukan /membantah (disputing intervention). Pada isensinya merupakan aplikasi dari metode ilmiah untuk menolong klien menantang keyakinan irasional mereka. Ellis dan Bernard (1986) melukiskan tiga komponen dari proses meragukan/membantah ini: (1) mendeteksi, (2) memperdebatkan, (3) dan mendiskriminasi.

Pertama, klien belajar caranya mendeteksi keyakinan irasional mereka, terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri-sendiori.

Kedua, klien memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar cara mempertanyakan semuanya itu secara logis dan empiris dan dengan sekuat tenaga mempertanyakannya pada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya.

Ketiga, klien belajar untuk mendiskriminasi keyakinan yang irasional dan yang rasionil.

E, adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan pikiran yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila kita berhasil dalam melakukan ini, kita juga menciptakan F.

F, adalah perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada. Sebab cara yang paling baik untuk memulai merasa labih baik adalah mengembangkan falsafah yang efektif dan rasionil. Jadi, orang tidak lalu menyalahkan diri sendiri serta menghukum diri sendiri berupa depresi karena terjadinya perceraian, melainkan orang akan mencari kongklusi yang rasionil dan berdasarkan empiri: “Baiklah, saya benar-benar menyayangkan karena perkawinan kita tidak berjalan mulus dan harus bercerai. Meskipun saya ingin kita bisa menyelesaikan berbagai masalah, ternyata kita tidak menyelesaikannya, tetapi dunia tidak akan kiamat karenanya. Oleh karena perkawinan kita gagal tidak lalu berarti bahwa saya orang yang gagal dalam hidup ini, dan amatlah bodoh kalau saya terus-menerus menyalahkan diri saya sendiri dan mengatakan saya yang bertanggung jawab atas perceraian itu”. Menurut teori ini, akibat akhir adalah meminimalkan perasaan depresi dan mengutuk diri sendiri.

Menurut Ellis (1988) secara singkat restrukturisasi filosofis untuk bisa mengubah kepribadian kita yang disfungsional mencakup langkah-langkah berikut: (1) mengakui sepenuhnya bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang kita alami; (2) mau menerima pendapat bahwa kita memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengubah gangguan-gangguan ini; (3) mengakui bahwa masalah emosional kita banyak berasal dari keyakinan yang irasional; (4) dengan jelas mengamati keyakinan ini; (5) melihat nilai dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh itu, dengan menggunakan metode yang tegas; (6) menerima kenyataan bahwa apabila kita mengharapkan adanya perbaikan kita sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra aksi terhadap keyakinan kita itu dan perasaan serta perbuatan yang disfungsional yang mengikutinya; dan (7) mempraktekkan metode terapi rasional emotif untuk mencabut atau mengubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan kita.

Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki dua kapasitas berikut.

a. Pribadi yang mampu berpikir secara rasional,.sebab apabila kita mampu berpikir secara rasional dalam menghadapi segala pristiwa maka kita tidak akan mengalami tekanan, memusuhi, mengasihani diri 9. Dengan kata lain, dengan penolakan keyakinan-keyakinan irasional yang dilakukan dengan cara berpikir logis-empirik dapat meminimalkan atau bahkan memperbaiki emosi yang malasuai.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, H.B. 2001. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Al-Gazali, 1989. Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri.

Al-Maraghi M., 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri.

Arikunto.S. 1995 Manajemen Penelitian, Jakarta: PT.Renika Cipta,

Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Cottone, R.R. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom.

Departemen Agama RI. 1984/1985. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I.

Depdikbud, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Latipun, 2001. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammdiyah Malang.

Munawwir, A.W. 1994. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.

Madjid, N. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Penerbit Paramadina.

Shihab, M.Q. 1996. Wawasan Al Qur’an. Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam.

* Adalah Dosen Fakultas tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin

1 Arikunto.S. Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT.Renika Cipta, 1995) h.28.

2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 562.

3 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.320.

4 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114

5 Corey, Op cit, hal 321

6 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.

7 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114

8 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.

9 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.464.

10 Madjid, N., Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Penerbit Paramadina1997) h.51

11 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri, 1993) h.62.

12 Al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri, 1989) h.122.

13 Shihab, M.Q., Wawasan Al Qur’an. (Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, 1966). H.562.

14 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1532.

15 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.415

16 Ibid, h. 1148.

17 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1147.

18 Ibid, h. 482

19 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. (Darul Fikri, 1993) h.199.



b. Mau menerima diri kita sendiri meskipun ada ketidak sempurnaan pada diri kita. Jadi apapun adanya yang terjadi pada diri kita, kemampuan kita, kita terima dengan perasaan, sikap dan tindakan yang wajar. Misalnya, menurut teori ini bahwa orang tidak perlu harus diterima dan dicintai, meskipun hal itu merupakan yang sangat diinginkan. Jadi tuntutan harus yang bersifat mutlak itu tidak perlu selalu dikuti dan dipenuhi.

Sedang pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide tidak rasional dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Menurut teori ini bahwa menyalahkan merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional

C. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF

AL-QUR’AN).

1. Hakikat Masalah

Menurut beberapa keterangan ayat Al-Qur’an bahwa masalah itu tidak lain adalah sebuah cobaan atau ujian dari Allah Swt. Kepada manusia sebagai hamba-Nya. Semua manusia pasti menghadapi masalah, sebab Allah telah memberikan beberapa ujian atau cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan beberapa hal. Antara lain seperti diterangkan dalam firman Allah berikut.

Firman Allah Swt.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan (kecemasan), kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).

Masalah yang pada hakikatnya adalah cobaan atau ujian dari Allah kepada para manusia (hamba-Nya) yang harus diterima dan diatasi dengan baik dan benar, tidak hanya hal-hal yang menyakitkan atau yang pada umumnya tidak disenangi, tetapi juga bisa berupa cobaan yang baik, sesuatu yang menyenangkan dan dikehendaki umumnya manusia, seperti kekayaan, kedudukan yang tinggi, jabatan yang empuk, dan sebagainya, dan hal seperti inipun hakikatnya juga masalah.

Firman Allah Swt.

ولَنبلونكم بالشر والخير فتنة والينا ترجعون (الانبياء:35)

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya:35).

2. Pendekatan yang Dilakukan

Dalam beberapa isyarat ayat Al-Qur’an bahwa dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik masalah itu berupa cobaan yang menyakitkan atau buruk maupun cobaan yang baik, juga dengan berpikir rasional, yaitu dengan memfungsikan akal secara maksimal. Potensi akal yang dimiliki manusia memang mampu mengatasi masalah yang dihadapi apabila ia digunakan atau difungsikan secara baik, bahkan dengan akal pula manusia mampu berkarya dan mengelola alam semesta ini. Keterangan Al Qur’an tentang potensi akal yang dimiliki manusia dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan, dengan akal inilah manusia mampu hidup berkembang, mengelola diri dan dunianya.

Menurut Taymiyah, kata ‘aql adalah mashdar (kata benda-kerja, verbal noun) dari kata kerja aqala-ya’qulu, yang berarti “menggunakan akal” atau “berpikir”, dan yang dimaksudkan dengan akal ialah pembawaan naluri atau gharizah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, yang dengan naluri itu ia berpikir.10

Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang akal antara lain sebagai berikut.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.S. Al-Baqarah: 164).

Melihat keterangan ayat di atas dapat dikatakan bahwa akal adalah daya pikir yang ada pada manusia yang mampu digunakan untuk mengelola isi alam dengan segala pristiwanya. Al-Maraghi dalam tafsirnya juz 2, menerangkan ayat di atas bahwa pada semua gejala itu terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berpikir untuk mengetahui watak dan rahasia-rahasianya. Dengan demikian dapat dibedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan, disamping dapat diketahui betapa teliti dan halusnya kekuasaan Maha Pencipta. Akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa yang menciptakan semua ini berhak untuk disembah dan ditaati. Dalam hal ini tentunya termasuk segala cobaan dan ujian yang dihadapinya.11

Kesempurnaan alam semesta dengan segala sunnatullah (hukum alam) yang berlaku dan diciptakan Allah untuk kepentingan hidup manusia merupakan lahan yang harus dipikirkan dan diolah oleh manusia dengan kemampuan akalnya untuk kemakmuran manusia sendiri. Firman Allah Swt.

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkan (Q.S. Al Hadid: 17).

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya (Q.S.Al-Baqarah: 242).

Potensi akal sangat besar artinya bagi kehidupan manusia, sebab dengan akal maka manusia mampu memahami ayat-ayat Allah Swt., baik ayat-ayat Allah yang diciptakan-Nya berupa alam semesta ini (ayat kauniah), maupun ayat-ayat Allah yang difirmankan-Nya berupa kitab-kitab suci yang memuat firman-Nya (ayat qauliah).

Al-Gazali menerangkan, fungsi akal kepada dua hal yaitu: (1) mengetahui hakikat segala sesuatu. Dalam hal ini akal mengibaratkan sifat ilmu yang terletak di hati, (2) yang menangkap dan mendapat segala ilmu. Kekuatan akal yang dimiliki oleh manusia inilah yang bisa membuat manusia mampu menmgatasi masalah atau mengelola dirinya dan alam sebagai lingkungannya12, sebagaimana dikemukakan oleh Syihab, bahwa daya akal memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah. Karena memiliki akal inilah manusia merupakan makhluk yang berkembang dan berbudaya13.

Aktivitas akal dalam proses berpikir rasional dalam Al Qur’an juga disebut dengan beberapa istilah, yaitu: nazhara, tadabbur, tafakkur, tafaqquh,dan tadzakkur.

Nazhara, secara bahasa berarti melihat, memandang, merenungkan, memikirkan dan mempertimbangkan14, yang dimaksud adalah melihat sambil memikirkan berbagai obyek ciptaan Allah yang nampak terlihat, seperti manusia sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, gunung, bumi dan langit dan sebagainya. Firman Allah Swt.

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan (Q.S. At-Thariq:5).

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ , وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan?, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. Al-Ghasyiah:17-20).

Tadabbur, menurut bahasa berarti memikirkan, mempertimbangkan15, maksudnya adalah memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang difirmankannya yaitu isi kandungan Al Qur’an. Firman Allah Swt.

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Q.S.Shaad:29).

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24).

Tafakkur, menurut bahasa artinya memikirkan16, maksudnya adalah memikirkan berbagai pristiwa dan berbagai keunikan ciptaan Allah, sehingga timbul kesadaran akan kebesaran dan keagungan Allah Swt. Firman Allah Swt.

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (Q.S. An-Nahl:68-69).

Tafaqquh, artinya mengerti, memahami17, maksudnya memahami perintah dan larangan Allah (Agama) untuk diamalkan dalam kehidupan. Firman Allah Swt.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan juang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah: 122).

Tadzakkur, artinya mengingat18, maksudnya mengingat kebesaran Allah dalam kaitan dengan berbagai kesempurnaan ciptaan-Nya sambil memikirkan dan mengambil pelajaran. Firman Allah Swt.

أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. An-Nahl:17).

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S. Adz-Dzariyat:49).

Di samping manusia memiliki akal dan mampu berpikir rasional, tetapi ada juga manusia yang tidak mau menggunakan akalnya secara maksimal, mereka cenderung berpikir tidak rasional, sehingga Allah mengumpamakan orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan benar sebagai binatang yang sangat buruk. Firman Allah Swt.

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُون

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun (Q.S. Al-Anfaal: 22).

Pada sisi yang lain ada pula manusia dengan akal dan kepandaian yang dimiliki sehingga merasa besar diri terlalu mengagungkan akal dan kemampuannya menjadikannya sesat dan tidak mau menerima kebenaran dari Allah atau menyimpang dari fitrahnya. Firman Allah.

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S. Al-Baqarah: 75).

Jadi pribadi yang sehat itu adalah pribadi yang mau menggunakan akal untuk berpikir rasional secara maksimal dalam menghadapi masalah yang terjadi. Al Qur’an juga melarang menuruti ide-ide yang tidak rasional seperti kata pasti, tahayul, dan keyakinan yang bersifat muthlak,

Beberapa petunjuk Al Qur’an yang cukup rasional dalam mendekati permasalahan, antara lain sebagai berikut.

1. Menyadari bahwa tidak semua usaha dan ikhtiyar kita selalu sukses dan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, sebab manusia banyak memiliki keterbatasan, sehingga sebaiknya kita gunakan prinsif Insya’ Allah (jika Allah berkenan) dalam setiap usaha dan tindakan,

Firman Allah Swt.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

Janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah” Ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kepada kebenarannya ini (Q.S. Al Kahfi: 23-24).

2. Meyakini bahwa disamping kesusahan pasti ada kemudahan. Firman Allah Swt.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ, وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan ) yang lain (Q.S. Al-Insyirah: 5-8).

3. Disamping kegagalan pasti akan ada keberuntungan, asal berusaha dengan sungguh sungguh. Firman Allah.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

Hari-hari (keberhasilan dan kegagalan) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) (Q.S. Ali-Imran: 140).

4. Meyakini bahwa apapun yang menimpa pada diri atau yang terjadi di alam ini dibalik semuanya ada hikmahnya. Firman Allah Swt.

ربَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ

Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali-Imran: 191).

5. Bersikap sabar dalam menghadapi masalah. Firman Allah.

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).

6. Mengembalikan segala sesuatu kepada kekuasaan Allah dengan selalu tawakkal kepada Allah dalam setiap melakukan usaha dan tindakan. Firman Allah.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِين

Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertawakal kepada-Nya (Q.S. Ali-Imran: 159).

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Anfal: 49).

َ

Sikap tawakal bukanlah sikap pasrah, menyerah, dan hanya menunggu kemurahan Allah, tetapi yang dimaksud adalah setelah melalui usaha manusia yang sungguh-sungguh, berencana dan memiliki perhitungan yang mantap, setelah itu baru menyerahkan urusannya kepada yang Maha Menentukan yaitu Allah Swt. Imam A-Razi dalam Al Maraghi juz 4, menerangkan bahwa pengertian tawakkal bukan berarti manusia melupakan andil dirinya, tetapi hendaklah seseorang dalam berusaha selalu memperhatikan sebab-sebab lahiriyah yang bisa mengantarkannya ke arah keberhasilan. Hanya saja janganlah percaya penuh terhadap sebab-sebab lahiriyah tersebut, bahkan ia harus berkeyakinan bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi semata 19.

Orang yang tawakal dalam hidupnya apabila ternyata kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan akan bisa tabah dan sabar menerimanya, sebaliknya apabila tercapai kesuksesan atau sesuai harapan dan kenyataan maka ia tidak mabuk dalam kegembiraan, sebab mereka yakin bahwa semua yang dilakukan itu tidak terlepas dari sunanatullah yang berlaku.

D. PENUTUP

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka penulis tutup dengan beberapa kesimpulan.

1. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy-Albert Ellis), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional.

2. Keyakinan yang tidak rasional itu bisa berupa tuntutan-tuntutan kemutlakan dan tahayul.

3. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara rasional untuk membantah dan memperdebatkan berbagai keyakinan yang irasional, sehingga timbul falsafah baru yang rasional dan realistis.

4. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan, dimana manusia akan mendapatkan keberuntungan apabila mampu menerima dan mengatasi cobaan tersebut secara baik dan benar.

5. Disamping berpikir rasional dengan memfungsikan akal secara maksimal dalam mendekati masalah, ada beberapa ide yang ditawarkan Al-Qur’an, yaitu: prinsip insya Allah bahwa segala usaha dan ikhtiyah tidak mesti akan selalu sesuai dengan harapan, meyakini bahwa disamping kesusahan pasti akan ada kemudahan, kesusahan dan keberuntungan akan selalu bergulir dalam kehidupan, segala yang terjadi pasti ada hikmahnya, bersikap sabar, dan sikap tawakkal kepada Allah Swt. Atas segala usaha yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan penuh perhitungan


Sumber : http://setiyo.blogspot.com/2007_09_02_archive.html