16 July 2008

CINTAKU TERTINGGAL DI MASJID SALMAN (lANJUTAN)

(Pizaro, Ketua FKM BPI/BKI Se Indonesia)

Skizofrenia adalah psikopatologi yang menggambarkan disintegrasi kepribadian. Sulit membedakan mana yang nyata dan ilusi. Perasaannya kerap linglung dan merasakan gangguan intelektual yang berat. Eksesnya ialah ia kerap berbicara sendiri layaknya orang mengobrol dengan ilusi yang tercipta dalam pikiran.
Banyak peneliti menganalisa bahwa masa remaja memiliki risiko tinggi sebagai awal dari skizofrenia, meskipun masa kanak-kanak juga berpeluang. Dan skizofrenia semakin berkembang pada pertengahan dan akhir masa remaja. Secara umum memang berasal dari biologis, namun kondisi lingkungan dan faktor kultural mempunyai efek secara mendalam.
***
Hari ini aku harus ke perpustakaan, ada seorang mahasiswi UGM ingin bertemu, namanya Sisy Adzzania Al, nama yang unik, entah mengapa ia tertarik menelitiku. Dari sebulan lalu ia mendengar kabar mengenai personalitiku dari seorang mahasiswa UIN Jakarta itu. Sebenarnya aku masih enggan, namun apa daya temanku terus mendesak.
Baru sekali ini ia ke Bandung, Mahasiswi yang bercita-cita menjadi muslimah intelektual ini berjalan rindang dengan kopernya melalui jalan raya Ganesha, dekat kampus ITB. Jilbab dan roknya coklat, tubuhnya tertutup balutan batik khas Jogja. Amat anggun dan semampai. Sisy berhasil menyabet mahasiswa terbaik Fakultas Psikologi UGM tahun ini, hebatnya kesempatan beasiswa telah diraih dari University of Edinburgh, Skotlandia untuk jenjang Master Psikologi Klinis. Ia tergolong jenius, mirip mahasiswa Kedokteran UGM dari Ciracas, Jakarta, yang diterima menjadi mahasiswa walau berumur 14 tahun. Begitupula Sisy, lulusan MAN 2 Jakarta ini umurnya baru 19 tahun, tapi sebentar lagi menyandang gelar sarjana. Benar, urusan ke Bandung berhubung dengan penelitian skripsi yang sedang digarapnya.
Melintas Sisy melintas hingga tiba tepat di depan perpustakaan ITB. Ia keluarkan HP diselingi kicauan burung gereja dari arah selatan. Matanya menyingsing mahasiswi enerjik yang kuat membopong tiga buku tebal itu, tatapannya tajam tergerus angin sejuk berbau melati melepas Profesor Jeni, Guru Besar penerbangan yang baru mangkat.
Belum saja telepon itu diangkat, Keira bertampang idealis hadir dari arah tajam hendak menegur sang kawan dari Jogja itu. Dan dua gadis cantik itu beradu muka.
“Oh maaf, kamu Keira ya?”
“Right” jawabnya masih dengan tiga buku tebal.
“Kenalkan aku Sisy dari Gajah Mada.“ sodor tangan Si Manis.
Keira terdiam, tak terpikir menyambut niat bersalaman Sisy. Ia hanya menatapnya dari kaki samapai ujung kepala, lekas berkata curiga, “Mau apa kamu menemuiku?”
Sisy berkata tenang, “Oh tenanglah aku hanya ingin menjadi temanmu.” Penting untuk mencairkan suasana, “Bandung indah ya?”
Keira masih diam.
“Oh ya Keira kamu dapat salam dari Rara, katanya ia salut dengan caramu mengerjakan soal. Kamu masih ingat?”
Keira menutupinya, “Siapa?”
“Dia lawan tandingmu saat cerdas cermat di Jatinangor, ia dari SMA 3” pasti Sisy.
“Maaf aku tidak ingat” buang muka sipit Keira.
Sisy mengelus dada, “O..oke, baiklah”
“Aku hanya mahasiswi baru”
Sisy balik terdiam. Dia paham betul Keira bukan mahasiswa main-main. Dari raut muka tertancap jelas ketidaksukaannya kepada kawan barunya itu.
“Kamu cantik ya, enak ya jadi orang cantik tapi tidak skizofren” singgung Keira.
“Tunggu, tampang chinnesemu juga fresh. Masalah skizofren dan kepentinganku, kita letakkan dahulu di belakang. Bagaimana?”
Obrolan hangat menjadi pembuka cerita-cerita mengenai kampus, aktivitas, hingga sedikit mengulik mengenai alam Bandung yang dirasa Sisy cerah. Untuk sementara Keira mempersilahkan Sisy untuk tinggal di kosnya.
***
Hingga maghrib tiba, akhirnya Sisy pamit hendak ke Universitas Parahyangan (UNPAR) sekedar meneliti instrumen yang akan dipakai. Biasanya perpustakaan UNPAR lebih welcome, beda dengan Universitas Padjadajaran, yang keributan sekecil saja bisa diteriaki, “Sssssstt......” oleh penjaga perpus. Selain itu bahan-bahannya lebih komplit, begitulah rasionalisasi Sisy.
Namun sapanyana, di balik kunjungannya itu, Sisy diam-diam fokus bertemu Rara bertanya perihal dokumen-dokumen mengenai Keira. Sisy dan Rara berteman hangat ketika sama-sama merajut santri tsanawiyah di Pesantren Putri, Gontor, Mantingan. Ia janjian di rumah Rara, dekat Jalan Abdurrahman Saleh beberapa KM dari IEC Cab. Bandung. Tentu saja, Rara kenal baik dengan Keira, karena sama-sama menjalani kursus kimia bersama untuk persiapan olimpiade beberapa bulan silam. Namun urusan melepas memori ditunda sejenak.
“Sis kamu jangan macam-macam dengannya” Muka Rara diselimuti kecemasan besar.
“Maksudmu?”
“Astaga Keira itu berbahaya Sis, penyakitnya sulit disembuhkan, apalagi dia amat ketus dengan orang asing yang mau mendekatinya. Sekarang dimana kamu tinggal?”
“Aku tinggal bersamanya di kos?”
“Tidak bisa, lebih baik kamu menginap saja di rumahku”
“Ah tapi, Ra..”
“Pokokya harus, aku khawatir dengan keselamatanmu.”
“Enggak bisa Ra, aku harus bersamanya ini sangat penting bagi observasiku. Tenanglah Ra, kamu percayakan padaku, aku bisa jaga diri. Aku tidak bisa suudzon dengannya”
“Astaga Sis, kamu sok tahu sekali”
“Tapi maaf Ra, aku tidak bisa.”
“Uhh...”
Rara mulai memberikan dokumen tentang Keira. Subhanallah Sisy tersentak, bahwa prestasi Keira melorot sampai bawah. Sisy benar-benar kaget, ia tidak menyangka mahasiswi skizofren itu membalikkan opininya bahwa Keira adalah peraih juara Olimpiade Internasional Kimia, penghargaan instrumen Matematika terkreatif dari Muenchen University, dan peneliti muda terbaik se-Asia. Seharusnya ia diterima di Tokyo University dan Harvard, namun skizofrenia menggagalkannya. Ia dinilai belum siap beradu tinggal di Jepang dan Amerika dengan kondisi psikologisnya yang seperti itu. Pantas jikalau ITB berani merekrutnya dengan penuh.
Sisy beralih ke dokumen lain, jiwa sastra Keira patut diacungi jempol, ternyata ia novelis dan penyair, kemarin baru pulang dari Goethe Award di Jerman. Kini melakukan modifikasi ulung pada bambu Angklung.
Dokumen itu didapat, ini menjadi bukti baru bahwa tipikal orang skizofren di Indonesia tidak semuanya tergolong bodoh. Namun itu belum usai, Rara mulai membuka dokumen lain, kali ini mulai terbuka sedikit demi sedikit gangguan serius yang dialami Keira. Ini yang penting, beberapa hari silam, pihak kampus kaget dengan ucapan yang dilontarkannya.
Mata Sisy melebar, “Astaghfirullah”
(bERSAMBUNG)

26 June 2008

CINTAKU TERTINGGAL DI MASJID SALMAN (PART I)

Oleh: Pizaro
Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa BPI/BKI Se Indonesia
Alumnus UIN Jakarta


Dia mengangkat tangan, jarinya lentik. Mukanya serius menatap teman-teman barunya kini. Dosen berbaju putih bergaris memanggilnya lurus. Ini absensi pertamaku dalam kuliah. Hidup dengan idealisme Bandung yang sudah tertanam sebelumnya di SMA 5, kampus biru.

Memori mengembalikanku ketika Bang Imaduddin berorasi di kampus sekolah tinggi teknik, ya kampus Bung Karno itu. Atau Hatta Rajasa yang terlihat sibuk ketika menjadi aktivis jamaah masjid salman periode silam. Ya itu aku ingat, sekalipun aku skizofrenia. Pak Hatta sedang sibuk karena angkatan 78 akan reuni akhir-akhir ini. Entahlah aku tak mengerti. Lebih baik aku menuju kos yang tak jauh dari Masjid Salman, terganggu ketika adzan berkumandang lekas hadir menyapa pintu kos hitamku.

Masih terngiang, aku tidak bisa mendengar jelas perkataan pak Abu tadi, karena teman disamping bangkuku terus membisik. Konsentrasi natrium instraseluler dpertahankan sekitar 10 mE4/1 dan ekstraseluler 10 mE4/1, namun teman disampingku memperjelas antara 10,5 mE4,5/1, mana yang benar? Padahal Natrium sangat penting untuk mengaktifkan enzim intraseluler. Bisa gawat kalau salah karena terdapat perbedaan konsentrasi natrium yang nyata dalam cairan ludah, lambung, ileum, sekum, pankreas, empedu, lumbal, dan keringat.Jadilah, kimia kedokteran benar-benar membuat empeduku berkeringat.

Berjalan kuberjalan selepas kuliah. bertahan menjadi mahasiswa skizofren satu-satunya di Institut Teknologi Bandung (ITB), tapi mungkin juga salah, karena pernah ada cerita mahasiswa gantung diri di arsitektur, menurut omongan dari mulut ke mulut ia juga skizofrenia. Skripsinya Mimpi dan Arsitektur dalam kajian psikoanalisis Freud, skripsi itu yang kuburu, karena pesanan seorang mahasiswa UIN di Jakarta. Aku penasaran.

Aku lupa mengenalkan bahwa namaku Keira, aku Chinese muslimah, ibu menamakanku dari ramalan suhu Yo dari gedung Tua dekat Harco Mangga Dua, Jakarta, katanya agar aku tidak mengidap autis. Tapi apa yang didapat, aku malah terjebak menjadi skizofrenia.

Aku memang muslimah, tapi aku masih belum merasa kuasa Tuhan untuk membedakan mana yang ilusi mana yang nyata. Telah lama tak mengaji, meniduri kesejukan ayat- Qur’an. Sebentar, sejuk? Itu bagi mereka yang mempunyai personaliti normal. Bagiku yang mewakili tipikal gadis Bandung secara penampilan, itu hanya sebuah dogma yang tak menyejukkan di udara dingin kota Lembang, sekalipun.

Temannya tadi mengagetkan dari balik punggung sang Chinesse, “Hai Kiera, hamsiong nih gua.”

“Ups..” kuterus berjalan.

Ia terus memburu, “Hey kamu tahu bahwa teman dekatku di Nangyang (NTU, Singapore) mengatakan suatu hal yang indah sekali. Bahwa dia akan mengantarkan siapa saja mahasiswa untuk mengikuti kursus di Massachusetts Institute of Technology (MIT)”

Kiera berhenti, “Wow bagus dong?”

Sodornya, “Lihatlah jurnal NTU sekarang. Dia katakan padaku bahwa risetnya tentang natrium menghasilkan kejadian luar biasa?” ungkapnya dengan membuka tangannya lebar-lebar.

Kiera mengangguk “Iya?” matanya menyelami profil sang mahasiswa teladan di Singapore sana.

Bisiknya pelan sambil memperhatikan ke sekeliling kampus, “Percayalah ia menggunakan skema yang kupresentasikan tadi di kampus bahwa konsentrasi natrium instraseluler dipertahankan sekitar 10,5 mE4,5/1. dan kamu tahu MIT menghargainya dengan sejumlah beasiswa besar, karena ini adalah jalan untuk mencegah kebuntuan akan pemecahan kasus HIV, lady

Wait, apa hubungannya natrium dengan HIV AIDS? Aku sadar. Baru ingin kutanyakan, ia hilang begitu saja., hendak kemana gerangan sang mahasiswa itu? Cepat sekali. Namun ada topi, warnanya putih, tertulis MIT dan tanda tangan Sayeed Muhammed Hossein Nasr. Aku membungkuk untuk mengambilnya, bagus sekali topi ini.

Tiba-tiba dia muncul, seraya mentapa Kiera yang masih mebungkuk, “Karena penambahan 0,5”

“Astaga”. Kaget Keira sejadi-jadinya melihat kepala itu langsung menohok tajam.

“Ingat ada sebuah bahan campuran lainnya. Namun aku tidak bisa membocorkan rahasia ini. Karena penelitian rahasia, itu kesepakatan dengan MIT. Aku percaya sama kamu”

(Bersambung)

03 June 2008

Antara Rasio aa Gym, Rasulullah dan Islam: Tanggapan artikel ketua FKM BPI/BKI se-Indonesia sdr. Pizaro

Oleh Ana Lustiyowati

Mahasiswi BPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ketika kita akan membedah sebuah pemikiran seseorang tentunya kita terlebih dahulu memahami profil orang tersebut. Begitu pula ketika kita berbicara atau mengkaji tokoh aa Gym. Bila dilihat dari profil singkat beliau seorang anak dari tentara, seorang pemikir, kuliah di jurusan teknik, program yang diambil saat SMA pun IPA, wajar sepertinya bila beliau dikategorikan orang yang berpikir rasional. Bahkan sepengetahuan penulis saat ini beliau menyelesaikan studinya di jurusan Teknik Industri. Selama kurang lebih dua setengah tahun dididik beliau secara langsung, beliau adalah pribadi yang mengajarkan untuk “pantang mengeluh, mengeluh malu-maluin” buat apa mengeluh pada makhluk percuma siap-siap aja kecewa apalagi kalau disertai berharap kepadanya.

Lantas kenapa tausiyah aa Gym, pemikirannya menembus hati dibanding pemikir-pemikir barat yang jauh lebih populer dari beliau?

Beliau menganut “mazhab” hati hanya bisa disentuh dengan hati, aa adalah sosok yang begitu peka terhadap orang-orang di sekitar beliau termasuk para santrinya, beliau memposisikan diri sebagai guru, bapak, sekaligus teman bagi kami. Tidak jarang beliau sengaja “melawak” saat ada santri yang sedang berduka hatinya hingga membuatnya tertawa…Saat tausiyah keluarga beliau sering mengingatkan kami akan pribadi rasulullah yang sungguh luar biasa. Konseling yang beliau lakukan baik kepada kalangan muslim maupun non muslim beliau hampir selalu menggunakan pendekatan rasional, beliau berangkat dari sebuah hadist Rasulullah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, dimana ia lah yang menentukan baik buruknya perilaku seseorang, segumpal daging itu ialah hati. Belajar Islam dari beliau lebih banyak pendekatan rasional contoh : kenapa kita tidak boleh mengeluh? Ya coba saja kita pikirkan apa yang kita dapat dengan mengeluh? Apakah uang yang hilang akan kembali bila kita mengeluh tidak bukan?

Sebelum belajar Islam secara intensif langsung dari guru-guru besar maupun para sarjana Islam di UIN, penulis lebih dulu mengenal Islam yang sederhana, menyejukkan, syariat Islam begitu indah, justru dari seorang santri kalong, seorang mahasiswa yang waktu itu belum mendapat gelar sarjana apalagi sarjana Islam bernama Abdullah Gymnastiar. Beliau menjelaskan Islam yang aplikatif melalui rumus2 beliau yang begitu akrab di telinga kita semua, sebut saja 3 M, 5 S, 7 T, 2 B 2 L, 3 K, dan sebagainya. Sempat terpikir darimana beliau dapat idenya?

Ternyata seorang aa Gym belajar Islam melalui beberapa gurunya termasuk istrinya Teh Ninih dan bapak mertuanya yang notabene adalah seorang ulama, selama menjadi penjaga perpustakaan pribadi beliau, melihat secara langsung buku-buku bacaan beliau, terjawab bahwa rumus-rumus tersebut berasal dari rangkuman bacaan-bacaan beliau. Mulai dari hadist, tafsir al-Qur’an, Fiqih, Shirah nabawiyah, psikologi nabi, dan sebagainya yang telah dianaliasis serta dikonsultasikan kepada guru-guru beliau. Rumus 3 M beliau ambil dari kisah sukses dakwah Rasulullah yang dimulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, Rasulullah mendakwahkan Islam dimulai dari hal yang terkecil lihat saja bagaimana Rasulullah begitu terkenal dengan gelar al-amin walaupun di kalangan kaum kafir Quraisy sekalipun. Ketika berdagang beliau begitu jujur, wajahnya cerah, selalu tersenyum yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hal sepele, malah ada anggapan bahwa kalau dagang terlalu jujur kapan untungnya? Senyum bisa jadi untuk orang-orang tertentu yang sekiranya “menguntungkan” kita alhasil senyumnya pun tidak tulus. Rasulullah tersenyum pada siapa saja, bahkan meski beliau seorang da’I yang sibuk, menyempatkan diri menengok orang kafir yang selalu melempar kotoran binatang kepada sosok mulia ini, karena hari itu beliau tidak melihatnya, dan karena syariat itulah akhirnya orang kafir tersebut masuk Islam. Mulai saat ini, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah menunda apa yang bisa dan seharusnya beliau lakukan saat itu. Ini adalah salah satu kunci kesuksesan dakwah beliau, coba kita bayangkan kalau saja dulu ketika Allah memerintahkan untuk meyampaikan ajaran Islam, beliau menunda-nunda untuk menyampaikannya karena terlalu banyak pertimbangan, mugkin saja waktu Islam menjadi agama peradaban akan lebih lambat. Pada intinya apa yang bisa kita lakukan sekecil apapun, lakukanlah dan jangan pernah menunda apa yang bisa kita lakukan saat ini karena kesempatan tidak datang dua kali, kalupun ada itu adalah kesempatan yang berbeda. Rumus –rumus yang lain juga hasil dari bacaan-bacaan beliau yang telah disederhanakan. Sebelum menyampaikan sesuatu beliau berlatih untuk mengamalkannya terlebih dahulu, karena beliau memahami betul peringatan Allah dalam QS:Ash-Shaf ayat 3 yang artinya kurang lebih “Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”

Sebagai santri beliau, penulis mengakui selama tinggal dan belajar bersama, aa bukanlah sosok manusia yang sempurna. Sebagai manusia tentulah beliau memiliki kekurangan-kekurangan, beliau bukanlah Rasulullah yang oleh Allah telah di ma’sum. Beliau bukanlah seorang kyai yang jago membaca, mengartikan dan menafsirkan kitab kuning seperti para kyai-kyai yang lain, beliau bukanlah seorang filosof muslim sekaliber al-Ghazali, beliau juga bukan seorang dengan gelar Sarjana Sosial Islam. Namun beliau adalah pribadi yang selalu menjadikan perbaiki diri, perbaiki diri, perbaiki diri sebagai prinsip hidupnya. Beliau adalah sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan murid-muridnya. Beliau adalah orang yang terlebih dahulu menuntut dirinya sebelum menuntut orang lain, beliau adalah orang yang berusaha keras mengamalkan setiap ilmu yang diperolehnya dari siapapun, adalah sosok yang begitu menghormati guru-gurunya, adalah sosok yang begitu sederhana di tengah ujian harta yang tidak sedikit, sosok yang begitu piawai mendidik istri pertamanya hingga menjadi wanita yang tegar, dan sangat mencintainya, seorang guru yang ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu membangunkan putra-putri serta santri-santrinya untuk tahajud, seorang konselor muslim yang bisa menjadi jalan hidayah bagi sejmlah orang hingga syari’at Islam dikenal begitu indah di manca Negara. Seorang guru yang tawadhu..yang mau mengakui kekurangannya dan menyarankan santrinya untuk belajar Islam dari guru yang lain yang lebih berkafa’ah dari beliau…bukan seorang yang dididik di pesantren bertahun-tahun, bukan seorang profesor ilmu dakwah, bukan lulusan pedidikan agama, namun sudah begitu banyak berbuat bagi Islam…yah sebuah teguran yang luar biasa bagi penulis pribadi sebagai mahasiswa di PTAI, idealnya kita bisa berbuat lebih dari seorang aa Gym, terlepas pro dan kontra terhadap sosok beliau, metode dakwah, serta materi dakwah yang beliau sampaikan.

Rasulullah sebagai utusan Allah yang mendapatkan bimbingan langsung dari-Nya tentu menjadi acuan utama kita, beliau memadukan logika kemanusiaan serta wahyu Allah dengan begitu indahnya dalam berdakwah, ingat saja kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada beliau meminta ijin untuk berzina, Rasulullah tidak langsung menegur dan melarangnya melainkan beliau mengajak diskusi pemuda tersebut tentunya dengan melibatkan logika pemuda tersebut. Beliau mengajak pemuda tersebut berpikir bagaimana seandainya ibu, saudara perempuan, anak perempuannya di zinahi orang apakah ia ridho? Dengan spontan pemuda tersebut berkata tidak dan mengurungkan niatnya untuk berzina.

Islam bukanlah agama yang tanpa logika tentu kita ingat bagaimana hasil penelitian seorang ilmuwan tentang hikmah sujud yang menjadi jalan hidayah baginya untuk memeluk Islam, tentu kita ingat bagimana kisah seorang da’iyah terkenal mantan biarawati yang melalui logika-logikanya akhirnya menemukan cahaya Islam, dan masih banyak kisah lain yang dapat dijadikan bukti bahwa Islam bukanlah agama tanpa logika. Walaupun kita tahu dan menyadari tidak semua yang ada dalam Islam mampu kita logikan, semata-mata karena keterbatasan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam firman Allah pun disebutkan kurang lebih artinya “Sesungguhnya Ruh itu adalah urusan Tuhanmu dan kamu tidak diberitahu kecuali sedikit”

Sebagai mahasiswa PTAI yang senantiasa dekat dengan kajian filsafat, yang kemudian di cap oleh sebagian masyarakat malah menjadi kampus bebas tuhan, mahasiswanya kalah Islami dengan kampus lain, jarang shalat, kata-katanya kotor, hingga disebut kampus Ingkar Allah Ingkar Nabi, Tidak seharusnya mematahkan semangat kita, sudah saatnya kita evaluasi diri, selama ini kita berdiskusi, berdebat, hingga bertanya-tanya tentang Tuhan dalam diri ini, apa tujuannya? Apakah benar untuk mengenal Allah sebagai tuhan kita ataukah hanya agar dianggap ‘keren’ di mata manusia sebagai mahasiswa yang pintar dan paham tentang ajaran Islam hingga perlu mengkritisinya bukan untuk mencari kebenaran namun untuk menjadikannya dasar pelegalan perilaku yang menurutkan hawa hafsu.naudzu billahi min dzalik..

Jazakallah khair untuk ketua FKM saudara Pizaro atas artikel yang memuat pemikiran salah satu guru saya semoga bermanfaat. Salam dari aa yang selalu menanyakan kabar UIN di setiap kesempatan penulis bertemu dengan beliau dan juga dari teh ninih yang selama ini menjadi teman diskusi membahas problematika muslimah termasuk UIN. Pesan beliau bagi siapapun yang sepakat maupun tidak dengan pemikiran beliau, minta doanya.Semoga bermanfaat dan Allah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amin

Wallahu a’lam bishawab

02 June 2008

TIDAK ADA VARIABLE CINTA DISANA

FIONA ARIGEA F
Mahasiswa Institut Teknologi Bandung
Tinggal di Jakarta

Aku merasa
Aku meraba
Aku dirasa

Cinta itu abstrak
Tak berujung

Setetes daun jatuh tepat di depanku. kulihat kupegang kusentuh . namun daun itu terbang diterpa angin. begitulah cinta ia datang dengan tiba-tiba. seperti itukah cinta? iya bagiku. sedari kecil dcekokki melankolisme cinta dalam setiap sajak manis.

kita menjadi subjektif merasa cinta. bahkan spekulatif. orang yang memadu kekasih menjadi spekulatif dalam mencri "takdir" pasangannya ketika menikah nanti. padahal Tuhan kita sudah menentukan "Fiona nanti nikah nya sama si ini"

ada suatu fase yang akhirnya membawaku merasa muak dijejali melankolisme cinta, seperti lagu-lagu cinta saat ini. seperti mereka yang belagu ria tentang cinta tapi kawin cerai terus, putus nymbung lagi.bukankah cinta itu substansi? bukan esensi. contohnya drimana kita mengetahui perhatian seseorang melambangkan cinta sejatinya? abstrakkah?

Tidak ada variable cinta disana?? pacaran atas nama spekulatif cnta. mencoba menerka-nerka apakah dia jodoh kita, mengobral materialisme dari buang pulsa hingga jual ini-itu, pinjman uang sma teman demi mempertahankan spekulasi ditengah masyaratakat yang lapar karena BBM naik, ditengah keluarga yang mengerang kesakitan karena prutnya busung lapar, saya mau nangis saja. tak jarang ada yang mau terjun dari tower ketika tahu dia bukan jodoh kita. saya mau bilang orang seperti itu pengecut. tidak mau mengatakan itulah risiko yang sudah saya ambil. tidak mau bertanggung jawab dalm konteks psikologi gestalt, itulah usaha yang sia-sia. yang perempuan mau saja lagi idsuruh macam-macam oleh kekasihnya, bangun tengah malam, dalam peraduan daripada mimpi manis.uihh itu dah bius cinta, mendingan ngutak-ngatik laptop aja drpd digitukan.yang pria jg tak sadar, ketika kecantikan mnjadi norma otokrat, mereka lupa ada bidadari menunggu disana.bidadari yang akan dipnang olh pria yang matanya hitam, terkantuk-kantuk krn mendirikan shalat tahajjud di tengah malam itu, menangis dalam sholat taubat atas kekuatan cinta yang sebenarnya.

cinta itu akhirnya tidak adil.karena ada orang yang mau memprthnkan orisinalitas cinta, tanpa embel-embel feedback yang pasti. mencinta karena ikhlas, bukan mempertahankan spekulasi. saya berani jamin orang yang seperti itu kekuatan cintanya lebih kuat,sklaipun mrka minder dlm bercinta. tapi orng yang berspekulasi cinta ketika dia mau mengurut nenek-nenek menolak, tapi ketika ada disuRuh oleh wanita cantik, sip aja lah. kasihan orang jelek kalao begitu.

tapi jangan harap anda mendapatkan kekuatan menderita dari spekulasi cinta. tidak ada yang namanya spirit cinta disana. tidak ada kekuatan cinta yang bisa menggerakkan massa dan dikenang ditiap masa dunia.mustahil. cinta menjadi redusi, lembut tapi dia membunuh.. membunuh kita dalam buaian cengeng. tak disms marah, tak dibantu menangis, dan mengambil cinta untuk ancaMan bagi pasangan. "kALU BEGITU KAMU TIDAK CINTA AKU LAGI DONG" uihh kasihan deh lo cinta. save our love dari spekulasi cinta. salam untuk temanku sisy yang sedang mencari cinta sejati.benarlah cinta sejati akan membahagiakan kita, tidak akan mengecewakan.jk kt pernh kcwa krna cinta, berarti itu bkn cinta sejati.

Pacaran dan free seks dikalangan mahasiswa (perspektif Hukum Islam)

Bahan diskusi mingguan BEMJ BPI IAIN Walisongo Semarang
Oleh : Ati mu’jizati
Sumber Rujukan: MK Ushul Fiqih
Dosen pengampu: faozi Umma M. Si
Pendahuluaan
Apabila klasifikasi manusia dibagi menjadi fase 20 – an, maka mahasiswa merupakan sosok manusia yang mengalami masa transisi dari fase usia remaja ke usia dewasa, pada masa transisi ini getraran hasrat terhadap lawan jenisnya semakin kencang, memang di saaat di SLTP dan SMU seorang remaja ada yang sudah merasakan hasrat terhadap lawan jenisnya namun itu baru tahapan “ cinta monyet” akan tetapi ketika sudah menginjak menjadi mahasiswa, rasa cinta itu berubah ketingkat “Cinta serius” menuju ke pernikahan.
Sebelum kedua insan lawan jenis mengukuhkan cintanya dalam ikatan pernikahan , sering kali di dahului dengan proses yang di sebut dengan “pacaran” pacaran kini telah menjadi fenomena masyarakat, khusunya dikalangan mahasiswa. Namun prilaku pacaran tersebut sering kali kemudian berkembang kearah terjadinya free seks atau free love yang berarti “ageed sexsual relations without marriage” yaitu kesepakatan untuk melakukan hubungan seksual tanpa pernikahan.
Pembahasaan
Sebelum dua insan lawan jenis mewujudkan cintanya dalam ikatan pernikahan hal pertama kali yang arus diperhtikan adalah saling mengenal dan memahami masing- masig hal ini dimaksud agar rumah tangga yang akan dibina semakin kokoh dan dapat berlangsung damai tanpa ada percekcokan yang berakibat pada terjadinya perceraian. Dalam tahapan saling mengenal dan memahami, Islam mengajarkan agar masing- masing memilih pasangan lebih berdasar atas agama dan ahlaknya, bukan semata – mata atas dasar rupa, profesi, dan harta. tidak menjadi pertimbangan, karena dengan landasan agama yang kuat dan ahlak yang baik maka ikatan rumah tangga yang akan di bangun menjadi kokoh, sedangkan rupa, profesi dan harta tidak akan berguna jika masing-masing calon pasangannya lemah agama, atau buruk ahlaknya.
Langkah mengenal dan memahami sifat masing- masing itulah yang dalam hukum islam di kenal dengan langkah khitbah, dalam literature hukum islam, khitbah hanya menjadi hak laki-laki, yakni dengan melihat wajah dan kedua telapak tangan perempuan yang akan dinikahinya, pengertian khitbah ini pun merupakan bias gender karena menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek, hal ini dikarenakan kitab- kitab fiqih di susun oleh laki-laki dan di tengah –tengah tradisi patriarki yang telah mengakar kuat di masyarakat saat itu.
Dalam konteks sekarang khitbah bukan hanya menjadi hak laki-laki saja melainkan juga hak perempuan, bentuknya pun bukan hanya sekedar melihat wajah dan dua telapak tagan masing-masing saja melainkan juga dapat saling berbicara, dengan demikian masing- masing bisa saling mengenal dan memahami lebih mendalam tentang sifat dan karakternya, dan lebih- lebih ahlaknya .
Kalau pacaran dalam makna mengenal dan memahami sifat masing –masing tersebut hukumnya sunnah, pemikiran semacam ini bukan berarti membenarkan hubungan gaya hidup barat yang menghalalkan segala kebebasan, bahkan hubungan sesama jenispun di-legal-kan dengan dalih HAM sebaliknya apabila dalam prilaku pacaran tersebut justru menjurus ke prilaku free seks yang identik dengan perbuatan ZINA maka hukumnya menjadi haram keharaman tersebut di dasarkan atas metode istinbat hukum yang dalam Ushul fiqih di kenal dengan nama”Sadd al dzari’ah” yakni menyumbat jalan yang isa menuju kepada perbuatan yang berbahaya, dalam hal ini prilaku pacaran tersebut menjadi jalan menuju perzinaan.

27 May 2008

PERTEMUAN PERTAMA

Ati Mujizati
Mahasiswi BPI IAIN WALI SONGO Semarang

Ketika aku memejamkan mata
Kau tampil dalam sorotan nuraniku
Muncul membawa sebuah kisah
Yang tiada berujung1000 tahun
kau selalu menemuikuMenungguku,
bahkan membuatku tersenyum
Memberikan jawaban
Yang melantun di seluruh jiwaku
Desir suaramu yang memberikan keceriaan
Tatapanmu yang membuatku percaya
Kau selalu ada menantikuNamun,
Kali ini angin mulai berdesir kencang,
Tatapku perlahan pudar
Aku mulai kehilangan ragamu
Melepaskan genggamanku
Dan yang kulihat hanyalah kekecewaan
Hatiku tergetarSemangatku mulai menggelora
Jarak dalam dunia maya
Alam mimpi yang mempertemukan kita
Kuterobos hanya untukmu
Meraih genggaman tanganmu
Yang seolah menyalurkan
Perasaan letihmu menungguku selama ini
Selamanya akan kukenang
Akan kukenang selaluDalam kasihku
Sebagai pertemuan pertama kita
Yang membuat pilu dan tenang
Bercampur aduk menjadi satu
-Pertemuan Pertama-
Ketika aku memejamkan mata
Kau tampil dalam sorotan nuraniku
Muncul membawa sebuah kisah
Yang tiada berujung1000 tahun kau selalu menemuiku
Menungguku, bahkan membuatku tersenyum
Memberikan jawabanYang melantun di seluruh jiwaku
Desir suaramu yang memberikan keceriaan
Tatapanmu yang membuatku percaya.

12 May 2008

EMOTIF RASIONAL ALA AA GYM


Pizaro

Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa

Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Bimbingan dan Konseling Islam Se Indonesia

Manusia harus sadar bahwa hidup adalah sebagaimana yang mereka alami, tidak ada yang aneh. Kita akan sering menghadapi hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan kita

Keterampilan untuk realistis menghadapi kenyataan harus kita miliki. Kita sebaiknya selalu berusaha mempersiapkan hati agar mampu menerima kenyataan bahwa: “Ini adalah episode yang sekarang harus saya hadapi.”

Rasa cemas, khawatir takut, tegang dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat. Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu perasaan-perasaan ini. Jika anda tidak mau menjadi ahli stress dan ingin menikmati hidup. Maka anda harus mencari jalan keluarnya. Insya Allah uraian yang sederhana dalam buku ini akan memebantu anda.

Tiga kalimat di atas saya temukan di sebuah buku kecil dari seri manajemen qolbu. Namun dari sekedar buku kecil itu saya sadar bahwa hati adalah sumber yang sensitif, peka, dan teramat halus jika terkena sinar kecemasan.

Hati yang cemas membuat kita berpikir teramat jauh, melampaui kapasitas diri dan memaksa manusia jatuh dalam riak rimbun pikiran negatif tentang dirinya. Kita tidak mau menikmati hidup, senang sekali menghujat diri kita, hidup dalam kecemasan, dan mempersilahkan hati yang cemas untuk menyenangkan diri sendiri dalam ketakutan. Namun sadarkah bahwa diri kita semakin lama semakin terperosok, kualitas kita semakin terbenam, dan hal itu pada dasarnya semakin membuat diri kita takut dan jauh dari yang diharapkan.

Saya sudah banyak sekali menghabiskan kitab-kitab eksistensialisme yang mengagumkan, warisan psikoanalisis yang kritis, dan Humanistik yang mencoba mengerti manusia, tapi entah kenapa saya tidak merasakan perubahan berarti dalam diri. Saya masih seperti ini, merasakan hidup tak bermakna, merasa diri tak pantas, merasa hati yang cemas. Ternyata saya baru sadar ketika membaca Emotif Rasional ala Aa Gym, bahwa saya membutuhkan Tuhan. Emotif Rasional ala Aa Gym mengajarkan kita bahwa Tuhan (Allah) menjadi tempat curhat, menumpahkan segala kecemasan kita, stress kita, dan ketakutan-ketakutan yang selama ini menjerumuskan kita. Karena ia yang Maha Pengasih.

Sesederhana itu, benar adanya kata Viktor Frankl, pendiri logoterapi, bahwa hidup bermakna ada di hati, hati yang diisi penghayatan terhadap kehidupan. Lantas saya kembali bertanya, kenapa ketika membaca logoterapi, saya tidak sadar? Tapi kenapa Aa Gym dengan bukunya itu, lebih mampu menumbuhkan hatiku, membius pikiranku, merobohkan segala ego kotor ini? Ah saya hanya bisa teramat haru, ketika Aa mengingatkan dengan ayat Allah

Laa yukallifullaaahu nafsan illaaa wus’ahaa

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

(Qs al-Baqarah: 286)

Aa Gym melanjutkan

Hendaknya kita menghadapinya dengan ridha, tidak panik, tidak didramatisir, tidak dipersulit. Allah yang memilki diri kita sangat Tahu dengan rinci kemampuan hambaNya. Pengetahuan akan hal ini sudah seharusnya membuat kita tenang dalam menghadapi sesuatu.

Saya mengerti sekarang atas pertanyaan yang tadi tidak saya jawab, bahwa emotif rasional Aa Gym menyertakan pendalaman tauhid yang pasti ketimbang Frankl. Itu ternyata membuat saya nyaman secara psikologis. Saya tersentak ketika itu, bagaimana mungkin buku setipis 36 lembar bisa membangunkan saya daripada ribuan lembar buku-buku psikologi yang sudah saya habiskan, mulai dari Frankl, Abraham Maslow, Daniel Goleman, Freud, Rollo May, dan lain-lainnya. Saya sadar diri ini terlalu egois dengan memaksakan logika tanpa hati, menyenangkan psikologis dengan terus menghindar. Kenyataannya, eksistensi akan menenangkan jika dibentangkan dengan pengalaman tauhid.

Emotif rasional ala Aa Gym mengajarkan kita untuk berani menghadapi kenyataan, mau jujur terhadap dunia dan diri sendiri. Benar adanya Kata Allah semakin kita jauh dariNya kita semakin jauh dari kualitas hidup yang kita inginkan. Semakin kita terus bermaksiat, adalah keniscayaan jika qolbu tak akan tenang. Jadi jangan salahkan Tuhan, salah kita sendiri. Mungkin hati saya berkata untuk apa saya terus mencari makna, memaknai diri sendiri, tapi saya melupakan al Quran. Memang benar dengan dekat bersama Allah hati kita menjadi lebih tenang, karena itulah fitrah yang merekah.

Ternyata Aa Gym humanis, ia eksistensialis, ini filosof sekaligus konselor yang saya butuhkan. Ternyata ia ada di Indonseia, bukan Wina, Berlin, dan London. Ternyata bukanlah Mazhab, Behavioristik, Psikodinamik, Humanistik tapi Mahzab yang ia namakan Manajemen Qolbu, saya baru tahu. Ia ajarkan kita “buat apa mengeluh, toh mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah”. Itu saya tangkap ketika mengantar saudara-saudara saya yang masih remaja untuk Diklat di Daruut Tauhid, ada-ada saja syarat nyantrinya: Tidak boleh mengeluh. Mungkin itu tadi yang saya maksud.

Emotif rasional Aa Gym langsung masuk, bahasanya menembus langsung ke hati, tidak mau bersusah payah. Ibarat ada orang tenggelam, ia segera menyeburkan diri dan meraih badan kita. Ia kekalkan ucapan-ucapannya di pikiran dan hati kita. Sekalipun secara kasat, Emotif rasional Aa bermain pada tataran praktis, namun itu memiliki arti berbeda ketimbang yang lainnya. Karena ia mencoba menafsirkan sistem pedoman filosofis psikologi Islami, dan meramunya dengan implementasi sederhana namun vital. Tidak terjebak pada kompromistis penafsiran yang bias, yang akhirnya membuat kita salah tafsir dan salah arah.

Adalah berbeda dari asosiasi bebas Freud, dimana ia suruh kita untuk mengeluh atas setiap pengalaman yang menyakitkan kita, tapi psikoanalisis tidak memberi solusi pada hati yang cemas, yang kalut, yang kotor. Ia malah ajak hati saya untuk jangan terlalu berharap pada Tuhan, karena itu menjerumuskan.

Secara Konseling, emotif rasional Aa Gym menjadikan suatu pemahaman yang berkosentrasi pada Client-Centered namun berkolaborasi ke arah pendekatan direktif. Dalam arti Aa berfokus pada masalah setiap manusia, mencoba memahami dengan bahasa kemanusiaan, tapi tidak mau asyik fokus menjadikan manusia sebagai raja atas hatinya, karena manusia sedang memiliki ketidakberesan hati, dengan begitu butuh orang yang bisa meluruskan secara bijak nan sarat hikmah.

Mungkin anda heran kenapa dari tadi saya melekatkan Emotif rasional kepada Aa Gym. Awalnya begini, ketika saya membaca buku mini Aa Gym, saya teringat Albert Ellis, pengembang terapi rasional emotive (RET). Pendekatan ini mengajarkan bahwa hakikat masalah adalah ketidaklogisan pikiran. Dari situ selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan atau gangguan-gangguan emosional.

Sedikit banyak saya mendapat nuansa RET dalam bait per bait tulisan Aa Gym, emosionalitas ini menggiring saya untuk memperbandingkan keduanya dalam frame ilmiah. Jika Ellis bergerak pada domain pikiran/rasio, Aa Gym lebih menitikberatkan pada ketidakberesan hati sebagai akar masalah. Aa Gym lalu menyeret hati ini sebagai terdakwa yang membius pikiran. Jadi secara istilah saya lebih memilih untuk membaliknya.

Aa Gym mengatakan bahwa masalah jangan dibawa hati letakkan ia sebagai masalah. Letakkan sepatu sebagai sepatu jangan dibawa ke hati, letakkan kedudukkan sebagai kedudukkan, jangan ditaruh di hati. Inilah yang membedakkan keduanya.

Konsep dari Aa Gym ternyata juga memiliki self defense mechanism yang otentik. Kita melihat dengan seksama, bahwa sikap untuk tidak mengeluh adalah pengalihan diri kita agar bersikap tenang dalam menghadapi masalah. Ketenangan adalah usaha yang membawa kita tulus-ikhlash dalam menghadapi cobaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ketenangan itu bisa kita raih? Aa Gym menyitir surat Ar-Ra’d ayat 13

Alaa bidzzikrillahi tathmainnul quluub

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”

Jadi kunci untuk meraih hati yang tenang adalah dengan cara mengingat Allah, menggerakkan hati, pikiran, dan lisan untuk merenungi setiap episode hidup yang membebani. Dengan begitu insya Allah kita terbebas dari belenggu selama ini yang mengikat diri kita.

Aa Gym dengan Emotif rasionalnya telah menjadi mutiara orang-orang yang sudah lelah berfikir mencari tahu jatidiri dan memecahkan problem kehidupan melalui pemberhalaan rasio. Ternyata Aa Gym ingin memberi tahu kita bahwa jangan pernah melupakan hati, dan ajak ia tenang melalui pintu Allah. Begitulah.

Akhirnya sebagai penutup saya berimajinasi ketika Aa Gym dengan kesederhanaan konsepnya memberi salam kepada Viktor Frankl. Danke A!!

DIALEKTIKA MAHASISWA (BPI) UIN JAKARTA


Pizaro
Mantan Presiden BEMJ BPI UIN Syarif Hidayatullah
Periode 2005/2006

Melihat fenomena mahasiswa bimbingan dan penyuluhan Islam (BPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memang menimbulkan tanda tanya dan juga optimisme besar sekaligus haru mendalam. Jika dibandingkan dengan jurusan BPI lainnya di Indonesia, saya mau memberi garansi, bahwa dialektika pemikiran mahasiswa (UIN) Jakarta dalam mengkaji jiwa dan kehidupan manusia paling terdepan dari berbagai daerah lainnya. Bahkan Fakultas Psikologi di UIN sekalipun. Jika jurusan BPI lainnya punya bargaining dengan pemerintah daerah setempat, mahasiswa BPI Jakarta malah melakukan bargaining dengan Erik Eriksson, Alfred Adler, Abraham Maslow, Sigmund Freud, dan Allport, Hal ini saya temukan ketika berbincang dengan berbagai mahasiswa BPI seluruh Indonesia dalam setiap kesempatan ngobrol di FKM BPI.

Jika mahasiswa Bimbingan dan Konseling di suatu kampus kenamaan di Indonesia teramat lugu tentang siapa itu Freud dan bagaimana kajian psikoanalisis? Kenyataannya, psikoanalisis malah sudah basi diteliti oleh mahasiswa BPI. Saya hanya mau katakan Go BPI Jakarta.

Apa pasal? Anda dapat membayangkan bagaimana kajian pemikiran ini mulai diminati dan serius dilancarkan beberapa mahasiswa. Format skripsi selama ini yang sibuk dihiasi penelitian yang berkelit dari substansi yang terpinggirkan, sebuah sukesi justru banyak dibalik ketika kajian pemikiran yang membahas Al-Ghazali, Freud, Hamka, Fromm, Al-Kindi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyah sudah berkembang luas dalam pembahasan, bahkan seorang teman sedang sibuk ngutak-ngatik buku karena ingin mengangkat Carl Rogers dalam skripsi. Saya melihat ini memang menjadi trend di Jakarta dan garis warisan senior-senior periode 2000an yang acapkali “makan” tema-tema filsafat.

Pernah saya diceritakan ada mahasiswa yang ditendang oleh abang kelasnya untuk ikut diskusi seri filsafat barat di suatu lembaga Kajian di Ciputat, hanya karena dia malah asyik ngelamun saja tidak ada kerjaan, dulu itu memang semacam superego bagi setiap mahasiswa. Atau senior saya yang malah lebih banyak berasional emotif dengan mahasiswa Ushuluddin ketimbang temannya di Fakultas Dakwah, semata-mata forum diskusi yang subur menjamur di sana.

Suatu kali saya sempat diskusi dengan dosen yang kebetulan juga sedang mengambil program doktor di suatu kampus kenamaan di Jakarta. Ia mendelegasikan perbedaan orientasi keilmuan pada mahasiswa BPI adalah dimana mahasiswa BPI coba bergerak pada ranah filosofik dari psikologi dan konseling yang menembus sumber terdalam dan meminggirkan semangat pragmatis atau pemberhalaan empiric. Menurutnya, ini tentu tak banyak ditemui pada mahasiswa Fakultas Psikologi, yang terkesan menjadi Comteian dengan simbol-simbol positivistik yang empirik. Karenanya kebanyakan fakultas psikologi terjebak pada paradigma positivistik dengan jargon “Hubungan” dan kemudian mahasiswa BPI malah asyik berasosiasi bebas dengan mendalami Gustave Jung dengan Animanya atau Fromm berbasis modernitas.

Jika beberapa mahasiswa Psikologi sedang ngutak-ngatik area anastasi, pauli, dan kawan-kawannya. Anak BPI karena memang orientasi aksiologis konselinya berbeda, mereka justru terekrut diving di samudera logoterapi Frankl, Humanistik Maslow, Manajemen Qolbu Aa Gym, serta Eksistensialisme May. Saya melihat kajian ini penting untuk mengasah mahasiswa agar lebih mudah memahami tema-tema sentral kualitatif dan filosofik yang sulit dicerna. Selain itu dengan penguatan ini mahasiswa diajak untuk menyelami jatidiri manusia yang berpotensi dan memiliki daya-daya humanis yang itu sulit dijebol hanya berlandaskan studi positivisme Comteian.

Kenyataannya memang benar, suatu saat saya memang semanagt main ke Fakultas Psikologi, mencari forum diskusi. Dan realitasnya entah kenapa yang didapatkan saya agak kesepian mencari “teman” di Fakultas itu untuk sejenak diskusi dengan mereka hal-hal mengenai etik sebuah mazhab, seperti eksitensialisme, psikodinamika, behavioristik dan lainnya. Saya coba tanya satu persatu mahasiswa di sana mengenai ada tidaknya diskusi intensif mengenai itu, hampir dari mereka jawabannya sama, tidak ada. Waduh waktu itu saya sempat bangga diri karena di lain pihak, BPI mempunyai tiga forum diskusi sekaligus tiap minggunya. Forum Studi Konseling, Kajian Psikologi Kepribadian dengan membedah buku Hall dan Lindzey, serta diskusi dengan memakai bahasa Inggris. Jika Fakultas Psikologi sedang merancang bahasa Inggris sebagai pengantar, mahasiswa BPI justru sudah jauh-jauh kali memulainya. Dan diskusi ini tidak main-main, karena bagi mahasiswa yang belum membaca tema yang akan dikaji, diharamkan untuk berbicara, khawatir nanti jadi absurd dan ahistoris..

Fenomena menjamurnya diskusi pemikiran, seperti kajian psikologi kepribadian yang suatu kali ditempa intens di basecamp BPI setiap malam, hingga larut, patut diapresiasi. Namun kendala keseriusan mahasiswa angkatan yang lebih muda menjadi kendala. Jadilah senior2 BPI turut andil untuk kembali menggalakkan itu.

Kita patut bersyukur bahwa kita hidup di Jakarta dengan segenap dinamismenya. Tinggal di Fakultas Dakwah dengan segenap massifnya buku2 impor dan lokal mengenai psikologi. Anda bisa membayangkan untuk mengkaji skripsi berjudul Teori seksualitas Freud tentang Kepribadian: Psikopatologi dan Kritik Psikologi Islami, saya hanya meminjam dua buku Freud di Fakultas Psikologi, selebihnya 85 % saya dapatkan di Fakultas Dakwah dari sekitar 150 daftar pustaka yang saya teliti.

Eit jangan bangga dulu? Sialnya, berbagai buku Impor itu masih teramat minim disentuh oleh mahasiswa BPI. Mahasiswa BPI teramat sulit untuk mengerti apa yang dikaji dari buku-buku luar. Buku-buku itu bak lonceng mati tak berbaterai, karena lelah berdiri tak ada yang meminjam.

Jika saya analisis setidaknya ada beberapa faktor yang menanggalkan itu. Pertama, karena faktor bahasa. Dari berbagai kesempatan membuat makalah yang saya amati, mahasiswa justru lebih senang mengambil buku lokal yang sudah tidak kontemporer lagi, terkadang justru sangat dipaksakan. Padahal kalau kita mau membaca buku-buku impor, kenyatannya buku-buku impor kualitasnya berpuluh-puluh kali lipat lebih baik secara kualitas isi. Mereka memangnya bukan tidak mau, tapi lebih kepada bergerak untuk menjawab pertanyaan, bagaimana membacanya? Suatu kali saya kedapatan melihat mahasiswa yang bingung mencari referensi tentang paranoid. Ironisnya tergeletak buku tebal WW Meissner,. The Paranoid Process. New York: Aronson, 1978 di hadapannya. Seketika itu, saya katakan tentang buku Meissner, ia hanya mengatakan bukunya (baca: bahasanya) terlalu sulit. Syukurlah sekarang UIN memberikan concern khusus mengenai kendala ini, dengan menyaratkan syarat lulus TOEFL dan TOAFL minimal 450.

Faktor yang kedua adalah dosen. Di sini, dosen kurang memotivasi mahasiswa. Jika dosennya tidak mengutip buku-buku seperti AA. Brill atau Geraldine Orton, bagaimana mahasiswanya akan terstimulasi untuk membaca buku itu. Jika dosennya enggan berkutat pada gagasan luar, bagaimana ia mau terbuka untuk berbagai pertanyaan yang sulit dari mahasiswa. Kenyataannya kita mendapati semangat mengkaji buku yang tidak tercipta. Buat apa ada dosen dari UI, UPI Bandung, dan Universitas Al-Azhar Mesir, tapi mereka alpa dalam menghadirkan visi mengembangkan ilmu yang kuat. Ketika diminta menjelaskan perbandingan mekanisme pertahanan diri psikoanalisis dan mekanisme pertahanan diri Nafsiologi malah bingung. Disuruh mengkonsep konten filsafat ilmu dari BPI terlihat pasif. So, yang lebih dibutuhkan adalah dosen berkompetensi yang memiliki sifat semangat mengkaji, keterbukaan untuk diskusi, kuat dalam berdebat, enerjik, biasa menganalisa, kerap menulis di jurnal, menjadi pendidik bukan pengajar.

Ketiga, iklim ilmiah yang belum berkembang secara merata di BPI atau disorientasi mahasiswa. Ada mahasiswa yang sangat menghargai dan mencintai ilmu, tapi di sisi lain ada mahasiswa yang super cuek dengan perkembangan dirinya. Ada mahasiswa yang rela menghabiskan uangnya untuk asap rokok, namun di sisi lain ada mahasiswa lainnya yang rela menyisihkan setengah uang jajannya untuk membeli buku. Tapi secara keseluruhan inilah problem kultural yang perlu dipikirkan setiap elemen Jurusan. Mahasiswa masih sekedar kuliah, belum berani bermimpi menjadi konselor. Belajar sekenanya, toh nanti lulus kerja dipikirin lagi. Merumuskan cita-cita bukan sedari kuliah, tapi ketika memaki toga. Inilah kenyataan yang membuat mahasiswa tidak sejalan dengan visi dan misi jurusan.

Keempat, ketidakseriusan pihak perpustakaan. Di era modern ini, pustakawan sebenarnya bukan dibekali kempuan teknis saja atau orang yang asal comot semata-mata ingin memfungsionalkan dia, tapi bagaimana pustakawan bisa mengerti tentang isi buku, letak buku, sinopsis buku yang itu akan mempermudah mahasiswa. Di luar negeri kita bisa membayangkan, ketika pustakawan menjadi “katalog” jikalau masyarakat kesulitan dalam mencari buku.

Hal yang membuat pedih lagi adalah minimnya penghargaan terhadap buku. Di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang terjadi miris sekali ketika buku-buku elit dunia yang sudah tua justru ditemukan teronggok berdebu di Gudang Perpustakaan. Pernah saya katakan kepada Pudek I, betapa sangat berartinya buku ini. Saya tambahkan, buku seperti Beyond The Pleasure Principle karangan Freud dan Haim G. Ginott, Between Parent and Child. New York: Avon Books, 1971 bisa termat mahal dijual karena langka, tapi ironisnya pihak perpustakaan seperti melecehkan buku-buku hebat ini dengan menyimpannya di tempat yang tidak layak dan kita tidak dapat meminjamnya sama sekali karena tidak memiliki nomor perpustakaannya. Sayangnya, walau sudah ditegur hal itu masih terjadi sampai detik ini.

Ini bisa jadi wajar, karena pustakawan Fakultas Dakwah bukan berasal dari kalangan professional. Mana tahu dia siapa itu Freud, Wolfgang Kohler, analisis transaksional, Rogers, dan lain-lainnya. Jika mereka tahu itu adalah bapak-bapak psikologi, mungkin keadaannya akan berbalik.

Tapi buat apa terus ngedumel, karena saya sudah tidak kuliah lagi, sulit rasanya untuk terjun kembali dengan bahasa baik-baik. Jadilah saya coba amanahkan kepada teman-teman yang masih aktif kuliah untuk menyadari kekurangan dari manajemen Perpustakaan kita. Terimakasih

19 April 2008

CURAHAN HATI

Ef Thea DF
BIT, Ganesha.
Visiting Student MIT, USA

Terucap salam tanda syukur, kepada seorang yang telah memberanikan diri memenuhi amanah menjadi seorang kakak untuk mengasuh seorang adik yang bandel. Kesabarannya, kekuatannya dan jiwa pantang menyerahnya selama ini terekam pada memoar seorang mahasiswi Bandung. Selamat gelar sarjana Sarjana Sosial Islamnya. Antara Ganesha dan Ciputat tak akan lekang.

Buku-bukunya menyadarkan saya bahwa untuk menjadi pintar memang penuh dan perlu pengorbanan. Membuat dia sakit perut, karena tidak bisa makan, uangnya habis untuk membeli buku di Kwitang, Senen, Jakarta. Terpaksa menghutang Rp.500 dengan supir bus. Mukanya memucat, dan tergeletak pingsan dengan memegang buku Freud. Dia bilang Imam Ahmad seperti itu.

Dia juga yang menyengaja menahan lapar di malam hari. Katanya jika makan akan kantuk, dan tidak bisa baca nanti, uangnya bisa membeli buku Jung. Bantal tidurnya buku pengantar Psikoanalisis, lebih empuk dan nyaman dia bilang. Saya hanya bisa menangis waktu itu, karena hidup berfoya dengan sewa mahal di Bandung, sedangkan kakak saya rela tidak makan, bahkan mati demi ilmu. Ingin kubunuh diriku ini, apa gunanya uang Rp.3 Jt, ternyata di lain tempat, uang itu sudah bisa bikin perpustakaan pribadi, keinginannya. Haruskah saya sebut namanya di sini? Saya tak sanggup dan hanya bisa mewek di masjid Salman. Saya tertidur setelah itu dalam keheningan dingin.

Sudah lama saya ingin ikut andil pada blog ini, namun kendala keilmuan perlahan-lahan menyiutkan nyali, karena mahasiswi teknik, eksak, non-sosial. Sekali-kalinya untuk penghargaan bagi mereka yang akan lulus.

Namun suatu kali saya baca dan tersentak di mana saya tertinggal jauh pada beberapa orang yang selon berebut tempat dalam ruang blog sempit ini. Wah hebat…hebat… saya cuma bisa bertepuk tangan kok.

Ada juga yang janggal, sepengetahuan saya UIN Ciputat adalah gudangnya pemikir-pemikir handal, dari Cak Nur hingga Azra, namun kenapa hanya satu orang yang berdiskusi di sini.
Suatu kali saya ke UGM, sama jua. Ini gudangnya para pentolan negeri. Emha membuat kepalaku bergoyang, siapa yang tak kenal. Amien Rais itu dia pahlawan Reformasi. Namun dua orang di blog ini menggerakkan tradisi.

Saya melihat ada Tuhan di blog ini, apakah kalian tidak melihat?? Persoalan Tuhan menjadi substansi, saya pikir bukan psikologi. Mencari Tuhan di psikologi, kira-kira begitu bukan?
Saya terus merenung, kenapa Tuhan, kenapa Kau yang harus kita lihat, yang menggerakkan kita sehari-hari. Kita kuliah juga karena Tuhan bukan? Saya terus bergelut mencari itu, bukan sekedar teriak kencang ada Tuhan. Jujurlah saya baru kali ini berbicara seperti ini, tenang saja saya bukan orang yang alergi Tuhan ketika saya menulis ini. Saya hanya ingin tahu Tuhannya saya yang menciptakan saya gimanakah??

Jam dua malam ini dicetak, kakiku terasa semut. Sulit juga gak tahunya menulis. Saya terlalu sombong berarti. Kampus hebat ternyata kalah sama orang itu yang kampusnya tidak masuk jajaran kampus elit dunia. Walau kampus saya tercatat disitu. Saya pahamlah kenapa konseling Islam itu dibicarakan. Saya pelajari bahwa orang-orang yang dalam kondisi sekaratpun akan mengeluarkan kemampuannya semaksimal mungkin. Baru tahu, tekad bulat menjadi penggila ilmu adalah bagian yang menjadi kerangka utama kenapa ada orang-orang yang rela mati demi ilmu. Perutku akhirnya ikutan sakit. Mungkin ini tanda-tanda Roh penggila ilmu sudah masuk. Bisa gak makan malam ini. Mau coba pingsan kayak Leni yang tahu dia sudah menjadi milik Ica.
Air mata saya akhirnya keluar juga, sudah ditahan-tahan tadi… selamat mencari mimpimu kak, mimpi yang tak dapat kubeli ketika mata terkatup.


Please jangan sakiti dia Alicia...

17 April 2008

Aku Akan Ke Jakarta, Untuk Bertarung denganmu secara Efektif. Kita Buktikan!! Aku datang bersama Sigmund Freud dan Joseph Breur

Alicia Baldan Putri
Jeruk Bali Makan UGM


Ternyata seorang yang namanya Pizaro, pikirannya berat Broo..mantap..mantap..sajakmu aku baca berkali-kali aku mulai paham, kenapa dunia ini perlu jelimet. suatu kali yang kau inginkan aku berkata "Aha..."
aku tidak begitu menyadari apakah kita sedang masuk wilayah filososfis-rasionalitik yang bisa dan absurd. Mas Piza dunia ini terlalu fasis bagiku, aku merasa sepi-sepi dan sendiri tidak mengenal apa itu lautan dan matahari. kakiku terikat. Tolong kenalkan aku dengan Cinta

Sudah tidak Freudian lagikah engkau?? aku berkesempatan ingin bertemu. minggu ini aku akan ke Jakarta.. mencari identitas kemunafikan dalam dunia ini, sejenak melepaskan refleksismu otokratik. Komposisi elit terlau ekslusif. aku sayang kau punya adik, wajahnya cantik. kulitnya bersih. setiap aktivis UGM aku tahu jatuh hati dengan dia. aku senang kau punya adik berjilbab lebar. Perempuan ini sangat menjaga hubungan pria dan wanita. Tahu Islam begitu banyak, akhlaknya bagus, tapi aku disakitinya, omongannya kepadaku sangat pedas. Islam seperti apa yang diinginkannya? Wajah cantik, tapi hatinya garangkah?? Islamisme garang kalau begitu dong. Tapi yang jelas dia manis, putihnya kulit itu walau tak pernah terlihat, karena tertutup handset. tolong kau punya adik dijaga. btw siapa itu si kecil lutuna berjilbab pink

Lupakanlah, akau hanya mau diskusi panjang denganmu. Aku pikir riskan betul jika bertahan pada ontologis tauhid yang melankolik dua hal saja.

1. Basic filosofik keilmuan

2. Universalitas Rasionalitas-Empirik

Kedua hal ini sedikit banyak ditinggalkan oleh rakyat muslim, aku tahulah apa arti itu semua. Yah betul mungkin aku terlalu menyeret ini pada problem filosofik, tapi munafiklah jika psikologi islami tak mau filsafat, tahu dikit lah dari filsafat Islam bak Kindi, Ghazali, Arabi, dan Iqbal, baru lahirlah namanya psikologi itu.

Dalam perbedaan segmentasi aksiologis pada basik Islamisme psikologi, tentu ada hal yang belum tuntas, sekedar Islam agama rahmat bagi sekian alam? juga belum tuntas, bahkan pas juga belum. Tolak ukurnya pasti belibet kata orag-orang.

Freud mendelegasikan bahwa “Kamu…aku …adalah penghuni neraka, ucapkan salam pada seksualitas diri”, suruh turun saja itu kakakmu itu bicara denganku empat mata, kalau begitu. Betulkan? Sekalipun spekulatif, namun ada sisi tolak ukur yang tak terjadi pada Islamisme Psikologi

Itulah yang aku agak kurang suka menggali intelektual saintifik Islamisme psikologi. Hanya bisa baca kitab belum cukup. Pada gak doyan penelitian and riset, itu perlu kalau mau serius ngepositivistik. Aku jadi semakin bingung, positivstik yang dilakuin anak-anak alim masih agama an sich. Inginlah aku dengar tentang kreativitas, kognisi belajar, dan lainnya itu. Sekarang itu yang ada bikin Boooriiinnngggg Tooooottttaaallll Baaannngeet (BTB) Hubungan sholat dengan sikap mas Karjo lah, Pengaruh Beribadah dengan apa lah gitu, kaya- begitu2 lah. Necis banget beragama Islamnya. Gak canggih penelitiannya, jayus.
Begini saja, kita harus gentel kan bertarung secara terbuka. kau siapkan senjatamu, boleh juga koalisi dengan adikmu. aku tidak takut. kita bicara konsep, filsafat ilmunya.jangan bawa dogma, aku tidak suka.

Aku ingin tanya pada cantiknya kau punya adik dan kau sendiri:

1. Indikatornya apa optimisme dari semangat Islamisme Psikologimu

2. DSM adakah di Islamisme Psikologi, kenapa harus pakai nama DSM

3. Apa konsep fiosofi keilmuan Islamisme Psikologi

Siapkan itu di Jakarta. KIta akan bertarung secara serius. Aku dengar tidak mau kuliah di UGM. Hahahaha tidak ada Iranian Cornernya betul seperti di Jakarta tak sadar kamu ada yang tiap hari merasakan Mushaf Allah.....
Hatiku pedih..

Semoga FKM mentolerir isi tulisan seperti tulisanku ini. karena aku cinta Bimbingan dan Penyuluhan Islam

11 April 2008

GOVERNMENT CORRUPTION



By: Pizaro
Student of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
and IEC Branch of Pasar Rebo

Did you know? Corruption is a serious problem. Once, President of China Hu Jintao said, “Give 100 bullet to me, 99 for corruptors, and one for me, if I corrupted”. Everywhere corruption has broken life side. There is no economic stability, there is no welfare, law can be bought, and so on.
Beforehand, Soeharto government did it. I do not know why, money has been everything, until morality is ignored, when we were in difficult, the other people did corruption whether it hidely or openly. Whereas, Indonesia is known as a religious nation, although. As many corruption cases happened, we are known as the amoral nation, instead. We are disappoint.

Then how was about the attitude done of Indonesian nowadays? I think there is progress where now there is KPK. We also see role of big enough KPK, institutes which during the time seldom be touched, nowadays succeed to be touched and litigated. Such as Irawady Joenoes from Komisi Yudisial and Urip Tri Gunawan as a prosecutor at Kejaksaan Agung.

But role of KPK is also assessed side eye because only succeeding to return money at state under one triliun. Beside it, KPK is also assessed to chosen case, big cases do not be expressed seriously, like BLBI case.

Remember it. From corruption, it can cause the other case, such as bribing. Did you know Mulyana W. Kusuma case? It just was caused corruption especially mark up of ink project, initially.

Then, from corruption can caused poverty. BLBI case in Indonesia is a case who made us being poor. Imagine, there are trilliuns which is stolen by BLBI’s obligors. Whereas, society is so need money as many as it, because it can be used for increasing sector of micro trade.

Next, corruption also can drop Indonesia dignity in world. Many states becoming doubt to plan invesment in Indonesia. All foreign investors suspicious of the conducted of administration governance of Indonesia, because complicated bureaucracy.

To solve corruption problem, it needed to do serious and an integral approach from all side. First, I think, laws have to be uphold dispassionately. All attorney also have to dare to be consistent and behave in handling every case. If gone into effect law can generate effect discourage, certainly corruptors will think twice.

Second, bureaucracy system in governance must be done with tight audit, responsibility reporting in every performance has to be enclosed by evidence which is concrete.

Third, KPK have to behave dare to and do not select to choose each problem. And also dare to avoid lobbies. Because KPK here as tip of governmental lance and society.

Fourth, society have to take stand important in breaking corruption. Like slogan of KPK, see, against, reporting. In democratic era like this society, needn't be apprehensive of their action in reporting corruption case.

07 April 2008

MERANG RANGKUL KULI

[pizaro]

Jawaban untuk alicia baldan putri

Sorry it was so long, you guess. Aku tertidur di perpustakaan McGill, tidak ada yang membangunkan.

Rasanya ku tak tahu

Apa…apa…itu….fasis…..

Kita???

Fasis itu musolini?

Iya kita siapa lagi??

Musolini yang mana??

Bukan, bukan kita saja

Itu yang dari Itali

Lantas mana jawaban dari Rasanya ku tak tahu

Katanya kamu neo-lib?

Suatu hari aku di Ciliwung

Kata siapa aku neo-lib?

Katanya mengalir dari Bogor

Temanku yang berkata seperti itu di teater

Iya dari Bogor tumpah di Melayu

Temanmu itu tidak mengerti Soekarno

Siapa bilang?

Iya siapa bilang aku tidak mengerti Soekarno

Benar kok, kampung itu jadi banjir buktinya

Mari ke Jakarta aku kenalkan kau padanya

Banjir buku sajalah, supaya bisa kenalan dengan Brill

Jakarta terlalu Fasis bagiku.

Oya Brill kau pernah pinjem itu padamu

Kamu terlalu banyak berlogika

Sayang Brill sudah mati, bukan dibunuh Nietsczhe

Logika penting.

Sudahlah aku jadi petrafenia

Ah Jogja yang mengajarkan Logika padaku

Ah entahlah kamu terlalu Freudian

Kompelks…kompleks..kompleks…

Aku sudah kemasukan roh alam bawah sadar suka begitu

31 March 2008

“MAAF, IKHWAN YANG ITU PACAR SAYA”

Oleh: Pizaro
Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gedung Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tampak tinggi menjulang, bergaya timur tengah, begitu indah di pandang mata. Di sini mahasiswa terlihat lalu-lalang mengejar waktu yang memburu. Sebagian masih asyik bersenda gurau di basement kantin, ada yang baca koran, berdiskusi, menyiapkan acara di masing-masing BEM, atau sekedar duduk melepas penat. Sedangkan Leni dan Riri asyik menyeruput jus sirsak pesanan di kantin.

Mahasiswa yang terkenal aktif di BEMJ Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) ini, juga terkenal aktif memburu berita percintaan di kalangan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, bahkan majalah Jeda pernah ingin memakainya, maklum Ratu Gosip. Ketika ada kabar yang belum tentu kebenarannya, iya justru sudah mensosialisasikan ke setiap jengkal kampus. Walaupun kerap salah dan informasinya merugikan orang lain, ia tidak juga kapok. Ya namanya berita kadang benar kadang salah, begitu gumamnya.

Hari ini benar-benar ada berita heboh yang akan menggelegar, seorang akhwat kedapatan berduaan dengan seorang cowok. Leni yang menyebar kabar itu. Tak pelak, ia yang begitu mengagumi seniornya ini yang terkenal cantik dan berkepribadian menarik, langsung luntur dalam bayangan teladannya.

“Eh Riri, Masya Allah, Gue benar-benar gak nyangka Ri. Ka Ica yang begitu gua kagumi sosoknya. Ah gua benar-benar gak bisa ngomong Ri?”

Slow dong Man…. Slow…, Ada apa Len, kamu mah bikin aku penasaran aja”

Leni geleng-geleng kepala, mulutnya terasa tertutup rapat untuk menghembuskan barang satu kata pun. “Oh My God..”

“Lho emang kenapa sih Len?”

“Gua harap lo jangan kaget atas apa yang gua lihat tadi?

Riri mengangguk..

“Gua baru aja pengen ke kamar mandi lantai 7”

“Yang deket Turki Corner itu?” Potong Riri

That’s it!! Gua lihat sekilas Kak Ica lagi berduaan sama seorang cowok?”

“Ah biasa aja kali, mungkin ada keperluan kali, lagipula juga lo lihatnya sekilas”

Leni menggebrak meja dengan emosional dan berkata “Eh masih mending kalau berduaan aja, ini pake pegang-pegangan tangan, eh emang gua gak lihat jelas muka cowoknya, tapi itu tetap cowok.”

Astaghfirullah aladzim, sumpeh Lo?”

Leni mengangguk kecewa.

Keesokan harinya….

Ka Ica yang terkenal berkepribadian santun di seantero UIN Jakarta, sedang bersiap-siap menuju kampus, ia kunci rapat kamar kosnya. Tasnya sangat berat, karena di dalamnya terselib buku History of Arabs karangan Phillip Kitti.

“Sini aku yang bawa sayang” ucap seorang cowok berperawakan sedang. Di depan kos mereka menangkring motor Honda tahun 80an.

“Ah tidak usah, aku aja yang bawa, kamu langsung aja balik, gak enak nanti dilihat banyak orang”

“Ya sudah malam minggu Ukhti ada di rumah kan? Aku apel ya?”

“Iya dong say, kan sudah jatah kamu mulai saat ini?” belay Ka Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.

“Hmm kita nonton apa Ukh?”

“Ayat-ayat Cinta aja oke?”

“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.

Leni dan Riri yang hobinya nonton detektif Konan, ternyata bersembunyi di balik Rental Ijul yang tak jauh berjarak dari kost Kak Ica, yang sering diebut “Gua Hira” karena tempatnya nyempil.

Lailahailallah, Laknatullah benar-benar Ukh Ica, ternyata apa katamu benar Ri. Aku gak habis pikir”

“Ssssstttt, entar kita ketahuan, Lo diam aja dulu. Gua udah siapain kamera untuk merekam ini semua”

“Hehe.. gak percuma kamu ikut seminar sehari inteligensi di Ushuluddin”

“Kayaknya cowoknya Ikhwan juga?”

“Ah kalo Ikhwan moralnya begitu, sorry lah yau..”

“Eh kayak Kak Pizaro ya?”

“Ah lo ada-ada aja, dia kan di rumah, lagi ngerjain revisi pusing katanya. Jadi deh dia katanya iseng nulis cerpen. Lagian kak Piza itu kan gemuk, lha cowok yang ini badannya sedang-sedang melentung gitu.”

“Iya tuh sombong banget ya Kak Piza, jarang ke kampus lagi. Gak asyik”

“Huush kok jadi ngomongin dia”

Kaki Riri yang mencoba mundur tak sengaja menginjak batang kayu yang mulai reot.

Guuubbrrraakkk..!!”

Mata Kak Ica spontan mengikuti arah suara yang mengagetkan.

Riri dan Lani panik kalang kabut, mereka cepat-cepat memepet tubuh hingga balik tembok.

Kak Ica menghampiri sumber suara, radiusnya sekitar 7 meter saja dari kost. Ia berjalan cepat karena takut ada apa-apa, atau mungkin maling motor yang marak di Ciputat. Ia celingak-celinguk. Matanya terus mendekati tubuh Leni dan Riri yang semakin berlindung di balik dinding rapuh.

Leni dan Riri, sama-sama menahan suara agar tidak kecium Kak Ica. Namun Leni yang lebih kacau, ia ingin sekali bersin, karena hidungnya kemasukan debu dari kayu reot yang patah.

Jari Riri sesekali mencubit paha Leni agar menahan bersinnya.

Kak Ica mendekati ke mereka, langkah gontai semakin jelas terdengar.

Riri begitu kencang mencubit Leni. Kalau cubitan yang ini, murni karena Riri sangat tegang.

Dan…. “Hay kak, lagi ngapain?” Tanya Ijul yang muncul dari Rental komputernya

“Eh Ijul.. oya gimana ketikan Kakak udah beres?” selidik Kak Ica

“Dikit lagi kak, ini tinggal ngerjain SPSS-nya aja?” jawab Ijul

“Iya itu jul, Kak Ica gak dapet SPSS-nya, sudah Tanya ke AIDA katanya juga lagi error”

“Yeh santai aja lagi kak, temen Ijul di Ekonomi punya kok?” Gumam Ijul

“Syukron ya Jul. Oya Jul kakak buru-buru nih mau ke kampus, ada janji sama teman bikin proposal FKM BPI”

“Tapi entar dulu kak, oya Sekolah Psikologinya jadi gak entar malam?”

Insya Allah, kamu sudah dua kali gak ikutan lho, yee… curang”

“Pematerinya siapa kak?

”Kak Jawa, sekarang masuk bahasan Sheldon”

Insya Allah deh kak dateng”

“ÓK aku tunggu lho, kalau gak aku hipnotis”

“Hehehe galak amat, dimemori Quantum aja kak”

“Afwan”

Leni dan Riri masih bersembunyi di balik tembok. Kaki mereka mulai gemetaran, Tangan Riri bak diikat, karena sedari tadi menyumpal mulut Leni. Ketika Kak Ica pergi barulah mereka tenang. Dan “Haahaahsssssyyyyyyyyyiiimmmm” Bersin Leni menggelegar.

Hari ini UIN terasa sumpek, hari kamis. Seperti biasa banyak sekali seminar dan kegiatan mahasiswa, Stan-stan ramai bergeletak di parkir SC. Dari mulai menawarkan kegiatan pengisi jiwa seperti training mahasiswa, jualan bunga lengkap dengan potnya demi menyambut penghijauan, sampai bazar-bazar buku yang harganya turun total. Ica coba mampir, ia dengan serius membolak-balik buku Sybill edisi lama yang bersampul biru.

Semenit berlalu, gentian ia sambangi temannya yang menjaga stan, Dela namanya. Dela kebagian menjaga stan TOEFL yang diselenggarakan UKM Bahasa Flat. Ia terlibat pembicaraan serius. Dari kejauhan terlihat Dela berusaha menahan tawa, ia tutup bibir kecilnya dengan tangan. Senyum menyeringai menyiratkan ada sesuatu kelucuan mendera.

Sedangkan Leni dan Riri berusaha mengejar lift. “Wait…wait..”

“Ih Si Leni buru-buru amat“ sergah Rangga.

“Eh gua mau ngomong sama lo”

“Ngomong apa Len”

“Gawat… ini gawat”

“Ih Si Leni gawat apanya?” Tanya Rangga, senior BPI yang terkenal alim

Leni menceritakan panjang lebar kejadian yang membuatnya curiga bahwa Kak Ica mulai berani berdua-duaan sampai pegangan mesra sama cowok. Baginya perbuatan Kak Ica itu mencoreng nama baik BPI. Ia tidak mau nama BPI tergores. Apa jadinya kata dunia ada mahasiswi alim di BPI yang kumpul kebo. Lagipula apa jadinya mahasiswi yang populis sebagai “artis peradaban” tidak tahan terhadap belaian pria.

Rangga didera shock theraphy. Jantungnya bedegup atas cerita Leni. Ia sangat tidak menyangka, atas tingkah nista Ica tersebut. Leni benar-benar berhasil menyihir Rangga.

Lift sampai lantai 5, seorang mahasiswa masuk. Wajahnya bersih, tampan, dan berpenampilan rapih. Sontak ia berhadapan dengan Leni yang tepat berdiri di depan lift. Leni bergeser.

Matanya mulai nakal, ia perhatikan sesekali sang mahasiswa. Dalam hati Leni berkata “Masya Allah cucok juga nih cowok”.

Di sisi lain, isu percintaan Kak Ica sudah menyebar ke seluruh mahasiswa BPI. Dari mulai semester satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Bahkan beberapa dosen dan kajur kebagian infonya. Ini semata-mata karena Kak Ica memang bak seleb di BPI. Jadilah informasi cinta Kak Ica pasti laku bak kacang goreng. Beberapa orang masih penasaran. Mereka mencoba mengklarifikasi ini ke Ica, namun HP Ica tidak aktif, kost Gua Hira-nya juga terkunci kuat dengan dua gembok.

****

Hari ini Forsik digelar, para peserta tumplek ruah megisi Ruang 5.01 di lantai 5. Pembicara belum juga kelihatan batang hidungnya. Namun entah kenapa Leni punya rencana lain, ia datang ke Forsik untuk memberi bukti skandal. Ia siapkan rekaman itu, apalagi diskusi Forsik kerap memakai infokus. So Leni ingin menyiapkan kejutan.

Akan tetapi Leni agak kesal, Kak Ica ternyata tidak ikut Forsik. Beberapa teman-teman BPI juga kecewa Ica tidak datang. Padahal kedatangan Ica begitu ditunggu untuk menjelaskan lelucon dari perbuatannya selama ini.

Di kursi belakang, bukannya serius untuk mendengarkan Forsik, tapi ia malah sibuk memikirkan situasi Kak Ica berada saat ini. Ketika melamun, pembicara datang dengan mengenakan jas coklat muda. Materi kali ini tentang Konseling Profetik.

Ketika pembicara duduk di depan, sontak Leni tidak mengira “Oh My God inikan cowok yang tadi satu lift”. Ah Leni tidak bisa menahan pandangannya. Ia tatap lekat-lekat wajah pria tampan itu; sejuk, ramah senyum, rapih, dan bersih. Ah beruntung sekali wanita yang dipinangnya.

Ia menelan ludah, ada gurat cinta di hatinya. Yup cinta pada pandangan pertama. Tutur bahsanya enak didengar ketika menjelaskan. Intonasi suaranya jelas. Ah Leni benar-benar terbuai. So untuk melampiaskan kesukaanya, Leni sengaja bertanya banyak hal tentang konseling profetik.

Makin bertambah lipat hatinya, cara menjawabnya begitu detail, memang pintar sekali. Leni berpikir dua kali untuk mengumbar skandal Kak Ica, bisa hancur wibawanya bila dilihat sang pembicara. Namun sesekali hatinya juga berontak. Ia pikir, bukankah ini justru menjadi dakwah untuk memberi tahu atau tepatnya memberi pelajaran pada Ica bahwa caranya salah berhubungan dengan seorang pria. Sekalipun Ica adalah sosok mahasiswi teladan baginya. Jika tidak diumbar sekarang, malah akan menjadi boomerang baginya, bahwa ia adalah tukang gossip, penyebar berita palsu, tukang fitnah. “Astaghfirullaaladzim” cetusnya.

Ketika Forsik selesai dan pembicara izin pamit, Leni menahan teman-temannya untuk tetap duduk di tempat. Ia siapkan infokus. Sebelumnya ia berdiri di podium, sekedar menjelaskan apa yang akan dilihat teman-temannya nanti, murni sebagai rasa cintanya pada Kak Ica, sesama teman dan keluarga besar BPI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Teman-teman yang lain gantian menyibir Leni, “Ya sudah kamu tunjukkan kalau kamu memang tidak menyebar berita bohong, karena tidak mungkin seorang Ica melakukan perbuatan nista itu” sergah Rangga.

“Betul kata Rangga, istighfar Leni, apa yang kamu katakan akan dicatat oleh Allah” umbar yang lain.

Suasana menjadi tegang, Leni tidak sendirian ada teman-teman lainnya yang akan mem-backup. “Saya sepakat sama Leni, lebih baik kita buktikan saja siapa yang benar dan siapa yang salah, ini kan buat kebaikan BPI juga. Kita akan menarik pelajaran dari ini semua, bahwa kadang tampilan bisa menipu. Ingat kawan!!” bela Riri, teman detektif Leni

“Astaghfirullah, apa maksud kamu Riri?” tanya yang lain

“Iya saya juga satu suara sama Riri, kita berbicara fakta nanatinya, bukan memandang karena Ica adalah bidadari BPI, teman kesayangan kita semua” seloroh Mahasiswa yang duduk di samping Riri.

“Sudah.. sudah… langsung saja Leni kamu putar” Suruh Rangga

Leni tanpa panjang kata mulai memasukkan CD ke Laptop. Dan gambar yang diceritakkan Leni benar benar kenyataan.

“Sini aku yang bawa sayang”

“Ah tidak usah, aku aja yang bawa, kamu langsung aja balik, gak enak nanti dilihat banyak orang”

“Ya sudah malam minggu Ukhti ada di rumah kan? Aku apel ya?”

“Iya dong say, kan sudah jatah kamu mulai saat ini?”

“Hmm kita nonton apa Ukh?”

“Ayat-ayat Cinta aja oke?”

“Oke deh..”

Semua orang terperangah, “Masya Allah” ucap Rangga

Astaghfirullah” Ketus yang lain

“Ahhh”

“Ini Gila” Kata Riri

Imposibble” Ucap Novi

Leni mulai buka suara di rerimbun gelengan kepala teman-teman. Rangga hanya menunduk malu. Novi menangis, ternyata Kak Ica yang rajin dakwah.. Ah begitu memalukan. Yang lain pun serupa.

“Jelas kan sekarang” kata Leni dengan suara lantang

Riri merasa puas. Dia lega kerja kerasnya bareng Leni membuahkan hasil.

“Ini mesti diproses” Keluh Novi kesal

“Iya ini sudah memalukan kita semua. Kita sudah jatuh. Hanya karena seorang pria, tega sekali Kak Ica menyakiti kita semua. Ia yang tiap hari bicara aturan yang seharusnya antara pria dan wanita ternyata adalah pembohong, munafik. Hhh aku sudah curiga, tidak mungkin seorang wanita menahan rasa cintanya pada pria yang dicintainya. Persetan dengan simpan dalam hati.” Seruput Leni

“Afwan, ikhwan yang itu pacar saya!!” suara Kak Ica dari balik tembok, begitu keras menghujam keheningan.

Semua mata terperangah ke arah Ica.

“Siapa yang bilang akhwat gak boleh pacaran?” tantang Ica

Novi yang satu aktivis dakwah dengan Ica menggelengkan kepala, dan hanya bisa berkata “Kau sudah berubah Ukh, siapa pria itu? Apa maksud kamu?”

“Iya itu pacar aku Nov” jawab Ica dengan senyum lebar

Rangga terlihat bingung. Leni tidak paham.

“Ikhwan yang jadi pembicara tadi itu pacar saya lho hehehe”

“Hehehe betul, aku jadi saksi kok jadian mereka. Wong lagi nembaknya, Dela yang mengantar ikhwannya” ucap Dela yang tiba-tiba muncul

“Mana cowoknya itu?” kurang ajar betul dia” Gertak Novi

“Ini lho pacarnya kak Ica, kebetulan ini kakak Dela juga” Dela menarik sang ikhwan yang kembali masuk ke ruangan.

“Pacaran setelah nikah itu asyik lho. Aku gak takut lagi deket-deket sama si mas. Ini cincin nikah kita. Sebelumnya saya minta maaf karena belum sempat memberi tahu teman-teman. Saya tidak mau mengganggu aktivitas kita sekalian yang sebentar lagi UAS dan tengah sibuk karena penyelenggaraan CRUCIATUS, nah makanya sekarang setelah semuanya kelar, kita mau mengundang teman-teman sekalian. Ini undangannya, bagus kan??”

Novi langsung memeluk Ica sambil sesenggukan meneteskan air mata “Maafkan aku teman sejatiku, aku sudah suudzon padamu, kau yang sangat kubangga sebagai mahasiswa berprestasi di BPI. Ah subhanallah ternyata kamu sudah menikah Ca, Allah begitu menyangimu wahai wanita yang baik budinya. Kamu kemana selama ini Ca, kami semua mencemaskanmu?”

“Afwan Nov, aku sedang honeymoon, gak bisa diganggu. Ini baru pulang dari Gunung Sindur, biasa pengantin baru ada aja maunya.”

“Ih resek” cubit Novi di pipi Ica.

“Makanya cepat nikah dong, Si Aa mau dikemanain teh?” gantian Ica yang menyubit pipi Novi.

“Si Aa siapa?” Novi balik menginjak kaki Ica.

“Aa Aa A… Ada dehhh” Canda Ica yang membuat Novi memunculkan senyuman manisnya.

Rangga lega, walau sedikit menyesal karena telat melamar. Akan tetapi, sebagai pria berpikiran dewasa, ia ikhlas karena Allah pasti memberi yang terbaik jika hambanya bertakwa. Begitulah Islam mengajarkan. Semua orang kini menyami Ica dan sang pacar.

Lalu bagaimana nasib Leni? Dengkul Leni langsung lemas, kemudian ia tergeletak pingsan karena shock. Sang pujaan ternyata sudah sah menjadi milik Ica. Keburukan dibalas kebaikan, sekarang giliran Ica yang sibuk mengurusi Leni agar cepat siuman.