29 January 2008

Tanggapan Terhadap Seksualitas Freud: Meragukan Epistemologi Pizaro

Sisy Alvianna Rasya
Mahasiswi Fak. Psikologi UGM 2006

Pizaro, ada yang ingn aku tanyakan pada anda,
Tolong jwab pertanyaan di bawah ini

di satu sisi Freud kita akui banyak kelemahan. namun saya tersentak membaca sebuah tantangan dari Hall dan Lindzey. BAHWA "JIKA ANDA INGIN MENGKRITIK FREUD, minimal anda harus membuat kritik itu setebal buku hall dan Lindzey. Jika Islam dibilang Rasional, bukankah kritik anda justru mengenyampingkan aspek itu. kita perlu bertanya apa tolak ukur empirisisme Psikologi Islami?
ketika anda mengkritik Freud, bukankah anda juga mengritik Islam, yang anda sebut olkutisme? selain itu, jika Freud dibilang spekulatif. bukankah Ghazali, Arabi, Taimiyyah, At Tirmidzi juga sama dengan Freud? sama-sama spekulatif.
jika anda mengatakan bahwa Freud cenderung taklid materialistik, bukankah ilmuwan Muslim Seperti Siena, juga taklid kepada Yunani? setidaknya anda masih ragu mencantumkan itu di krirtik anda.
jika anda katakan psikologi Islami adalah kesucian, bukankah seperti yang anda bilang bawha itu adalah tindak otoritarian terhadap keilmuan?
Apa kriteria psikopatologis dalam psikologimu? ketika anda jawab bukankah itun juga lahir dari rahim subyektif. jika anda katakan itu obyektif, bukankah anda sama dengn freud
Jika anda katakan, teori agresi adalah kerancuan, apa tolak ukur nya? bisa jadi pandangan anda juga lahir dari kritik subyektif manusia. apakah anda tidak obyektif?
Aku pikir pandangan yang meremehkan obyektifitas, lahir dari doktrin ideologi yang keliru.
Justru saya melihat Freud sudah mencoba keras dengn doktrin ilmiahnya menuju itu. Monggo dijwab PIZARO, saya dari Jogja dengan menenggak teh manis setia menunggu jawabanmu.....
dari lawan diskusismu... Sisy.... heheehe coba belajar kritik

SEKSUALITAS Sigmund Freud? So What Gitu Loh: Sebuah Catatan Epistemologis untukmu Mister Freud

PIZARO (MAHASISWA BPI UIN Jakarta)

Epistemologi, atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya.[1]

Namun kita tidak mengetahui sampai di mana potensi akal dalam mengetahui kebenaran? Sekalipun mampu mencapainya, tentu ada konsekuensi batasan. Dalam tradisi Islam, problem epistemologi didamaikan dengan menyertakan aspek transenden sebagai pemilik ilmu. Ikhwan Al Safa, misalnya, menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu ada tiga. Pertama, sudah tentu panca indera, akan tetapi pengetahuan inderawi terbatas pada objek-objek materil. Kedua, akal, tanpa bantuan pancaindera akal tidak dapat berbuat banyak. Karena itu, lanjut Ikhwan Al Safa, ilmu pengetahuan butuh sumber yang membimbing, yakni Allah.[2]

Karena pembahasan filsafati bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak.[3]

1. Spekulasi Teori dan Taklid

Walaupun Sigmund Freud dibilang bapaknya psikologi, namun, kajian beliau turut mendapat kritikan dari ahli-ahli psikologi lain. Satu kritikan tajam ialah di mana Freud selalu mengumpulkan data kajiannya secara spekulatif. Model riset seperti ini dinilai tidak objektif dan bagaimanapun suatu teori tidak boleh digeneralisasikan. Selain itu, pengkaji-pengkaji mendapati rata-rata konsep Freud seperti id, ego, superego, naluri mati, libido dan kerisauan, tidak dapat dibuktikan dengan kaedah eksperimen.

Sekiranya Freud seperti menelan ludah sendiri. Suatu kali Freud mengakui bahwa okultisme atau ilmu gaib dianggap sebagai klenik. Ironisnya, justru Jung menangkap sinyal yang sama dalam teori seksulitas Freud, karena teori Freud seperti hipotesis yang belum terbukti dan pandangan-pandangan spekulatif Freud lainnya. Jung menambahkan bahwa “...Kebenaran ilmiah adalah suatu hipotesis yang mungkin telah cukup untuk masa itu namun tidak perlu dilestarikan sebagai panutan segala zaman...”[4].

Darwin sebagai materialis telah berhasil menyihir Freud untuk mengakui deterministiknya, di sinilah banyak kaum muslim berpandangan bahwa Freud tidak menyaring kembali apa yang dikatakan Darwin. Akhirnya, menurut Purwanto, kaum Freudian menganggap bahwa perilaku manusia layaknya binatang yang diiisi insting-insting.[5] Terlebih materialisme Darwin sudah dianggap miring oleh umat Islam.

Spekulasi teori yang tidak dilandasi oleh dimensi ketuhanan hanya akan membawa kekeliruan fatal. Padahal menurut Al Qaradhawi, Allah memuliakan manusia dengan akal dan kemampuan untuk belajar dan menjadikan ilmu sebagai penunjang kepemimpinan manusia di bumi. Islam datang dengan anjuran agar manusia berpikir, melakukan analisis, dan melarang untuk sekedar ikut-ikutan atau taklid.[6]

2. Kriteria Psikopatologis

Badri memberikan contoh sebuah adat istiadat Sudan yang non Islam. Di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengantin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, seorang psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin memandang pengantin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Pengantin pria itu akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya.[7]

Kriteria psikopatologis Freud juga dibilang absurd ketika menjelaskan motivasi bom bunuh diri dan majelis dzikir dalam tradisi muslim. Jika dikatakan itu adalah bentuk neurosis, namun bisa jadi Freud yang psikopatologis dalam hal ini. Freud dibilang tidak fair jika hanya menjelaskan konsep neurosis dengan mengambil sample “Barat” untuk menjelaskan “Timur”. Dalam Asy Syab, Al Baihaqi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah Saw. bersabda “...Allah berfirman, orang yang menyibukkan diri dengan berdzikir mengingat-Ku, maka Aku akan memberinya anugerah terbaik yang diminta manusia...”[8].

Menurut Mubarok, motif mati syahid berbeda dengan insting mati, karena karakter insting mati itu agresif yang bersifat destruktif. Sementara motif mati syahid, walaupun sama-sama menekankan agresif tetapi tidak destruktif. Ia berlandasakan semangat mulia yang bertujuan menghancurkan kebatilan di dunia yang menginjak harkat martabat manusia. Akan tetapi, insting mati dalam termin Freud, semata-mata dilakukan dengan dasar kebencian.[9] Selain itu, dalam insting mati, individu menjadi sedih akan perbuatannya ketika orang yang dibenci meninggal dunia. Sementara dalam konteks mati syahid atau jihad yang ada adalah kebanggaan.

Kemudian jika dibilang tasawuf adalah bentuk psikopatologis, Freud sulit menyangkal ketika tasawuf efektif sebagai jalan terapi mengobati derita manusia. Seperti terapi tobat terhadap penderita penyakit psikosomatis. Uraian ini bertolak belakang dari pemikiran bahwa sumber psikosomatik dapat disebabkan oleh gangguan yang sifatnya psikis atau dapat juga disebabkan oleh gangguan yang sifatnya organis.[10]

Atau do’a yang dipandang bukti ketidakpercayaandiri manusia, justru dijadikan Charless Shedd sebagai terapi psikologis mengatasi marah untuk meredakan intensitas emotif.[11] Atau Freud yang serius dengan peradaban, mau mengatakan bahwa transaksi zakat, infak, dan sedekah dalam tradisi muslim yang dilandasi kecintaan sesama umat dalam membantu segi kehidupan dapat dicap paranoia atau delusi doktrinal agama, ketika bayangan tentang pahala dari Tuhan memotivasi para muzakki? Yang ada menurut Djarot Sentosa adalah pemberdayaan kecerdasan melalui pendekatan amaliah.[12]

3. Metode Penelitian

Cara dari metode asosiasi bebas Freud juga diragukan. Pertama dari sisi Freud sendiri yang tidak langsung mencatat ucapan-ucapan dari mulut pasien, namun hanya mengingatnya saja, dengan dalih akan mengganggu kosentrasi. Kedua pada ingatan pasien itu sendiri, kita tentu bertanya seberapa kuatkah ingatan pasien tentang memori masa kecilnya. Sekalipun akan mengingat tentu sulit untuk mengidentifikasi apakah yang diingat pasien benar-benar merujuk pada kejadian serupa. Padahal menurut Sumantri, pancaindera kita bukan hanya terbatas, tapi dapat menyesatkan. Karena itu ini tidak hanya menjadi problem Freud an sich, tapi keilmuan secara menyeluruh, di mana imbuh Sumantri kekurangan-kekurangan epistemologi ilmu adalah ketika ingatan kurang bisa dipercaya sebagai cara untuk menemukan kebenaran.[1]

Maka itu Al Ghazali pernah apatis kepada monopoli akal dalam epistemologi. Contohnya ketika bermimpi, orang melihat hal-hal yang sepertinya kebenaran, namun setelah ia bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu ternyata salah.[2] Dan keraguan ini juga sekaligus sebagai kritik kepada tafsir mimpi yang mengabaikan peran serta Zat suci. Berbeda dengan Ibnu Hazm yang tidak dapat menampik akan kekuatan di luar manusia yang membentuk mimpi, yaitu Allah.[3]

Pada sisi yang lain, ilmu memang dibenturkan kepada doktrin selfish sebagai sumber mendapatkan kesimpulan. Ini terjadi pada konsep analisis diri Freud yang dapat menimbulkan dualisme. Di satu sisi Freud meyakini bahwa analisis diri perlu bagi penelitian alam bawah sadar. Namun di sisi lain jika analisis diri dipakai oleh psikolog lain, dan hasilnya berbeda, mana yang harus diyakini sebagai suatu kebenaran? Jika yang dikatakan adalah analisis dirinya Freud, bukankah itu adalah tindak otoritarian atas nama keilmuan? Dan yang lebih penting lagi adalah apa tolak ukurnya? Sekiranya Freud alpa dalam merumuskan ini.

Sutrisno Hadi menilai pengalaman-pengalaman pribadi tidak dapat berdiri sendiri, banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang sifatnya sangat subyektif menyebabkan pengalaman manusia mempunyai sifat-sifat terbatas. Pertama-tama pengalaman yang sangat pribadi tidak ada atau sedikit sekali yang mempunyai derajat generalisasi yang luas. Kedua, keadaan orang yang bersangkutan menentukan corak dan isi pengamatan dan pengalamannya. Sutrisno Hadi kemudian menilai “keunikan” pengalaman umumnya dapat membawa problem serius.

1. Mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat pribadi.

2. Kurang tepat atau kurang cermat dalam mengamati hal-hal yang penting tentang sesuatu persoalan.

3. Menggunakan alat-alat pengukuran yang penilaiannya sangat subyektif.

4. Kurang fakta-fakta sudah menarik kesimpulan.

5. Mengambil suatu kesimpulan yang salah karena telah mempunyai prasangka-prasangka.

6. Peranan faktor-faktor yang tidak disadari. Misalnya dalam apa yang disebut proyeksi, orang merasa mengenal orang lain, tetapi sebenarnya apa yang ia sangka menjadi sifat-sifat orang lain adalah sifatnya.[4]

Dari butir-butir di atas benar adanya dalam teori seksualitas Freud, sekaligus menjadi rumusan penting untuk menyibak pribadi Freud yang selalu bertahan dalam komitmen teorinya. Freud tidak open-minded dalam menerima opini lain yang membuat koleganya menjadi tidak betah. Jangankan dengan kritik dari para pemuka agama, dengan orang yang telah dianggap bak anak sendiri, seperti Jung saja, Freud enggan mendengarkannya. Friksi anatara Jung dengan Freud berawal kepada monopoli seksualitas yang sudah dianggap tuhan oleh Freud. Namun perlawanan gigih Freud kepada Jung juga kuat.[5]

Sekiranya ini pernah terbuktikan ketika Jung benar-benar mengalami ketakutan atas pandangan orisinalnya tentang inses, hingga ia selama dua bulan tidak menyentuh pena. Ia tahu betul Freud tidak mau menerima opininya. Dan apa yang dicemaskan Jung betul adanya, hubungan antara mereka merenggang dan tak lama kemudian terputus.[6]

Ingatan-ingatan dari pengalaman dari abad 19 sebenarnya membawa kita pada suatu pelajaran bahwa kerendahan hati adalah kunci menuju keagungan ilmu. Mekanika klasika, misalnya, mengalami kejayaan hebat yang tidak disangaka para ilmuwan, sayangnya kejadian ini sontak membuat kaum ilmuwan mengeluarkan sikap sombongnya, seolah-olah mereka memegang kunci khazanah seluruh rahasisa alam. Padahal seperti dikatakan Rabonowitch bahwa “...Hal itu merupakan kesan keliru tentang kemegahan, yang segera lenyap...”.[7]

Wilardjo kemudian merinci sejak 1900 tonggak-tonggak keilmuan seperti teori kenisbian, teori kuantum, asas ketidakpastian, dan lainnya, telah mengajarkan ilmuwan untuk bersikap rendah hati, terbuka, kritis, dan toleran. Michael Polanyi malah dengan optimis melihat harapan yang mekar dengan subur karena para ilmuwan belajar saling mempercayai dan mencampakkkan sinisme yang lahir dari kesyakwasangkaan antara satu sama lain.[8]

Wacana klasik menegaskan bahwa analisis diri dapat dijadikan muara keyakinan, sekaligus terapi, tentunya dengan subordinasi ketuhanan dan kerendahan hati. Ibnu Hazm suatu waktu memakai bentuk analisis diri untuk merangkum wacana di atas. Dia menyebutkan pengalaman pribadi yang dialaminya sendiri untuk mengatasi rasa bangga diri (ujub). Dia menyarankannya dengan cara individu harus mau melihat aib sendiri dengan akal sehat, menugaskan diri sendiri untuk menghina kemampuannya secara total, serta memanfaatkan sikap rendah hati sehingga terbebas dari penyakit ujub. Ibnu Hazm melakukan terapi ujub dengan menggunakan lawan ujub, yaitu rendah hati. Di satu sisi, dia mencari dan mengungkapkan aib sendiri, tapi di sisi lain, dia mengharuskan untuk menghina diri sendiri dan bersikap rendah hati yang merupakan kontraproduksi dengan sikap berbangga diri. Model Ibnu Hazm ini berlawanan asas dengan teori seksualitas Freud, ketika yang terjadi pada Ibnu Hazm adalah sikap tidak tinggi hati untuk menggeneralisir analisis dirinya sebagai kebenaran mutlak.[9]



[1] Suriasumanteri, “Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi” h. 17.

[2] Dr Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 80.

[3] Ibnu Hazm yang berbicara tentang mimpi dengan filsafat Islam menjelaskan jenis-jenis mimpi yang terklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama, ada yang berasal dari setan, yaitu sesuatu yang berasal kerancuan dan kebingungan yang tidak sewajarnya. Kedua, ada yang mimpi berasal dari kata jiwa, yaitu mimpi yang menyibukkan seseorang pada saat terjaga sehingga ia melihatnya dalam mimpi, baik karena takut terhadap musuh atau bertemu sang kekasih atau bebas dari ketakutan, atau yang sejenisnya. Ketiga mimpi yang terjadi karena dominasi karakteristik tertentu, semisal mimpi berlumuran darah karena dominasi warna merah. Dan terakhir, mimpi yang langsung datangnya dari Allah yang jiwanya bersih dari noda badan dan bebas pikiran-pikiran yang kotor, sehingga Allah memberikan petunjuk atas berbagai misteri yang belum terjadi. Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Penerjemah Gazi Shaloom S.Psi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 186.

[4] Hadi, Metodologi Research, h. 36.

[5] Jung pernah menceritakan tentang mayat-mayat berlumpur pada suatu makan malam bersama di Bremen. Tentu saja Freud menjadi jijik mendengar itu semua, dan tiba-tiba dia pingsan. Dalam hal ini Freud “seakan-akan” menunjukkan bahwa insting mati memang ada. Selanjutnya, setelah Freud sadar, ia mengatakan kepada Jung bahwa obrolannya tentang mayat-mayat itu., adalah sebentuk harapan kematian kepada Freud. Mendengar hal itu, Jung sangat terkejut pada kuatnya intensitas fantasi Freud pada prinsip seksualitas. Freud memang mempunyai riwayat gangguang pingsan mendadak. Temuan mengutarakan, gangguan ini hampir menghiasi dirinya, selama penyelenggraan Kongres Psikoanalitik di Munich pada tahun 1912. Jung, Memories, h. 215.

[6] Ibid., h. 229-230.

[7] L. Wilardjo, “Ilmu dan Humaniora”, dalam Jujun S. Suriasumanteri, ed., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LEKNAS-LIPI, 1985), Cet. ke-6, h. 240-241.

[8] Ibid., h. 241.

[9] Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 197. Bandingkan juga dengan intensitas paradoksal Frankl. Suatu bentuk terapi yang menertawai diri sendiri untuk memecahkan gangguan jiwa. Koeswara, Logoterapi, h. 129-132.


[1] Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumanteri, ed., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Inodnesia dan LEKNAS-LIPI, 1985), cet ke-VI, h. 9.

[2] C. A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basari (Jakarta: Obor, 2002), h. 60.

[3] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h. 53.

[4] Jung, Memories, Dreams, Reflections, h. 207.

[5] Purwanto, Epistemologi psikologi Islami, h. 82.

[6] Yusuf al-Qaradhawi, Konsep Islam: Solusi utama bagi Umat. Penerjemah M. Wahib Azis, Lc (Jakarta: Senayan Abadi, 2004), h. 31-32,

[7] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h. 54.

[8] Abdul Halim Mahmud, Terapi dengan Zikir: Mengusir Kegelisahan dan Merengkuh Ketenangan Jiwa. Penerjemah Luqman Djunaidi (Jakarta: Misykat, 2004), h. 70. Amin An Najr ketika mengutip Al Muhasibi berpendapat pikiran was-was atau obsesif dalam terminologi modern dapat dipalingkan dengan zikir. Namun jika individu membiarkannya dengan kelalaian, maka ia akan menjadi musuh yang paling membahayakan. Al Muhasibi selanjutnya menegaskan apapun yang diciptakan oleh Allah pasti memiliki antonim dan sinonim. Sebagai contoh, persamaan jiwa adalah setan dan lawan keduanya ruh. Amin An-Najr, Mengobati Gangguan Jiwa. Penerjemah Ija Suntana (Jakarta: Hikmah, 2004), h. 148.

[9] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 191.

[10] Pembahasan terapi tobat bagi penderita penyakit psikosomatis ini diilhami oleh penelitian Ani Andayani dari jurusan Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2002. M. Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 123.

[11] Rahmat Mulyono, Terapi Marah: Mengendalikan Amarah dengan Pendekatan Psikoterapi Islami (Jakarta: Studia Press, 2005), h. 85.

[12] Muhammad Djarot Sentosa, Quranic Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan Al Qur’an (Jakarta: Hikmah, 2004), Cet. ke-2, h. 301. Sebelumnya Djarot sentosa mengurai bahwa kecerdasan dapat diberdayakan dalam dua bentuk, yaitu ruhani dan amaliah. Pendekatan melalui ruhani meliputi peningkatan keimanan, bertakwa dengan sebenarnya, berdoa tanpa henti, dan berzikir tanpa batas. Sedangkan pendekatan amaliah meliputi pengkajian terhadap Al Qur’an dan menyampaikan kandungannya, salat, puasa, zakat, infak, sedekah, dan haji. Terakhir melalui tafakur terhadap alam semesta.

21 January 2008

TANGGAPAN ATAS CERPEN MENCARI TUHAN YANG hILANG

SISY ALVIANNA RAYSA
MAHASISWI FAK PSIKOLOGI UGM 2006

SESEORANG MENGATAKAN TRKDANG SENI ITU BISA MASUK KE LINI APAPUN JUGA. TEMASUK PSIKOLOGI.

Mngkn ktIka anda membaca literatur metode penelitian dalam satra, semua kita akan disuguhkan pendekatan psikologi dalam satra tersebut.
Cerpen yg bru sy baca, menyiratkan sebuah titik di mana jiwa penulis sampai pada pemahaman tentang idelaisme sbuah karya satra. sedikit berbeda degn novel nyali oleh Putu Wijaya. Pendektn yg dipakai seorang mhswa UIN ini, lbh menyiratkan genggaman ideologi dlm tiap bait. ditambah pengatahuan yg saya lihay sudah fasih dibicarakan oleh sang penulis
Trkdg dimensi agama dalam sbuah karya satra tak lepas dari keyakinan dipgang sang pengarang.dan saya menangkap kesan itu ktk mbca cerpen mencari Tuhan yg hlng. sbnarnya yg saya suka pada ide yag diambil, yakni Freudianisem yg masuk ke diri Ana, mhsw psikologi yg ktanya pintar diceritkan. sbg mahsiwa psikologi, benturan dari cerpen Pizaro menyratkan antra tarikan filsafat positivistik dg mengambil tema determinisme dgn unsur ideologi ats nama agama.
yang kurang dari Pizaro adlah cerpen yg mash perlu diperbaiki dari susunan tata bahsa, namun itu biarlah mnjadi ladang teknis. sy hanya ingn menbandingkan cerpen pizaro dg sebuah cerpen dari Milan Kundera dg judul Edward dan Tuhan, ada kesan mirip di sini. bedanya Kundera memakai tema komunisme sbg benturan yg saya akatakan tadi. DAN KEMUDIAN AKHIRNYA KUNDERA JUSTRU "PARADOKS" DEGN MENCOBA MEMBUMI HANGUSKAN "IDEALISME" GEREJA ATS ANAMA CINTA. APALagi, Kundera lbh meyakinkan publik utk mengmbangkan fantasi seks kelamin yg jarang kita temui Di Indonesia, kecuali stlah hadirnya karaya-karya feminiM, sperti Gadis Arivia, DMA, dgn karya2 mrka saman dan alarung atau jangan panggil saya monyet.
saya sngt merasakan indahnya tarikan cinta, ilmu psikologi, dgn sebuah identitas manusia atau agama yg coba pizaro gabungkan. terlebih pzar (entah kebnyakan baca karya kang abik atau tidak) terseret untuk melakoni makna cinta yg terbalut rapi dg tema psikoanalisa dan agama. salut sekali lagi, sebah ide yg cemerlang.
satu kritik lagi, jika cerpen ini lbh dikembangakan banyak halaman, sebanrnya pembca lebh terpuaskan. saya mennagkp kesan terburu-buru menyelsaikan ceren pada sisi penulisnya, seperti ketika Anna langsung lari mendengar "ceramah" sang mahasisawa. pdhl itu lbh bagus diperlebar Lagi, agar pembaca lebh terpacu kesastraannya. (syukron aq suka cerpen "unik" kakak)

04 January 2008

Mencari Tuhan yang hilang (SEBUAH PENDEKATAN NARATIF DALAM BPI)[1]

Oleh: Pizaro (Mhasw BPI UIN Jakarta dan Penggiat Kajian Psikodinamika)

Ini adalah suatu cerita dimana seorang mahasiswi bernama Ana yang cantik nan pandai pujaan banyak orang. Kamu tahu? Ia mengalami suatu ujian berupa neurosis. Benihnya dimulai ketika ia berumur tiga tahun, kamu tahu? ia begitu mencintai sang ayah, selalu didamba orangtua laki-laki ini badanya gagah, tampan dan ia memiliki suatu hal yang begitu menyita perhatian (maaf) yaitu alat kelamin. Pikirannya terbuai dimana rasa cinta itu dilampiaskan dalam bentuk ketertarikan untuk menikahi sang ayah dan menyingkirkan ibu. Pengembaraan dimulai, ia ditekan oleh sang ibu untuk mengeyahkan pikiran kotor itu karena adat timur tidak mengenal cinta sedarah.

Hal ini terbawa hingga kuliah, Ana mempunyai kebiasaan aneh yang kerap mengundang tawa, selagi masuk lobi kampus hatinya seperti dipaksa untuk berjalan seperti kuda dalam papan catur. Hal ini berlanjut ketika memasuki kamar kos berlantai hitam. Belum puas dari cobaan itu, hatinya juga tersayat ketika badannya seperti ditarik untuk kembali masuk ke kamar kos jika ia hendak keluar, sekedar untuk memencet ujung pensil lancip yang terletak ditas meja kamar. Belum usai, Ana wajib menyentuh bagian belakan CPU, hingga ia betul-betul merasakan setrum.

Suatu hari pernah diocobanya untuk mengeyahkan ritus itu. “ah persetan dengan ujung pensil dan kuda catur” gumamnya. Namun apa yang didapat, badannya seperti ditonjok, jantungnya berdegup kencang dag dig dug dag dig dug dag dag dag dug, perutnya merasa mual, kakinya selalu bergoyang-goyang ketika duduk. “Ah, bajingan aku ini” tak terasa ucapan itu terlontar dari mulutnya ketika presentasi makalah, seorang temannya bingung melihat.

Ingat kontsruksi pikiran bahwa Ana mengidap neurosis karena trauma masa kecil hanyalah pikirannya walaupun secara riil itu belum tebukti. Huh dasar gadis pandai dan cantik, penghargaan peneliti muda terbaik se UIN, Juara satu mahasiswa berprestasi tingkat UIN dan analis psikologi sosial terbaik se Jawa dalam problema sosial konflik timur tengah, membuat banyak aktivis kampus ngefans setengah mampus kepada Ana. Entah berapa kali mahasiswa dan dosen yang terang-terangan berkata I am in love kepadanya, namun selalu diacuhkan. Catatan surat cinta dirobek lalu dimasukkan ke dalam WC. Kenapa? Ia tidak mau sang kekasih merasakan penderitaan berat yang selaLu dikuncinya rapat-rapat.

Jangan bilang orang neurosis tidak bisa jatuh cinta, diam-diam perasan dalam hati tertuju pada pria di sana itu, itu yang kemarin sembuh dari sakit. Anaknya baik, pintar, mukanya bersih serta perhatian pula. “Ah senang betul gadis yang akan dipinangnya, hihihi” lirih Ana berkata.

Beberapa bulan beralu, rasa neurosis ini begitu lekang dalam diri, matanya berembun isyarat ada galau dalam hati. Tetesan air mata mencair membAsahi pipi halus. Dia tertunduk menangis di hutan kampus yang sepi, angin-angin landai menjadi teman mencurahkan galau. Kamu tahu? Sepuasnya ditumpahkan kesakitan itu, perih, sedih, sakit, nusuk. Ah, apalagi rasa negatif yang pantas dituangkan oleh dirinya.

“Kenapa kau siksa aku Tuhan? Apa karena aku pintar cantik hebat seperti itukah? Dimana keadilanmu Tuhaaan? Lebih baik aku mati.! Terimakasih Freud kau beritahu aku, aku seorang Oedipus, tapi dimana kamu sekarang, dimana? Aku butuh kamu, kau yang menyatakan aku neurosis. Mana psikonalis Indonesia? Tunjukkan aku Tuhan”

Tak ia sadari seseorang mahasiswa memperhatikan sedari tadi, iya mahasiswa yang ternyata selalu memperhatikan polah gadis manis ini sedari awal kuliah, dan kamu tahu pria tampan ini begitu mencintainya. Tersenyum dihampirinya seorang Ana yang tertunduk di bawah pohon. Kemudian menguntai kata indah sebuah puisi cinta romantis yang selalu ingin diucapkan kepada gadis secantik Ana.

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera Kucinta kau

Aku ke kau ke kau aku

Akulah kauku kaulah ku ke kau

Kita ?

Biarlah antara kita saja

Siapa kau, perempuan tak terbilang Kau

Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang

Orang tak tahu menara gereja menjulang

Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan dengan kedua tanganmu

Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat

Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku cinta kau

Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau

Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku

kau yang padaku

Kita?

Dalam dingin api mari kita bicara

Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?

Sayembara :

Ana Bunga buahku

Merah Ana Bunga

Warna apa aku?

Biru warna rambut kuningmu

Merah warna dalam buah hijaumu

Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari

Kau hewan hijau manis, aku cinta kau

Kau padakau yang milikau yang kau aku

yang milikkau

kau yang ku

Kita ?

Biarkan antara kita saja

pada api perdiangan

Ana Bunga, Ana, A-n-a, aku teteskan namamu

Namamu menetes bagai lembut lilin

Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?

Orang dapat membaca kau dari belakang

Dan kau yang paling agung dari segala

Kau yang dari belakang, yang dari depan

A-N-A

Tetes lilin mengusapusap punggungku

Ana Bunga

Oh hewan meleleh

Aku cinta yang padakau!

“Kamu tahu aku mencintaimu nona? Pantaskah wajah cantik itu kau nodai dengan airmata bisu? Layakkah lesung pipitmu diisi tetesan embun durjana? Kamu, kamu, kamu gadis hebat. Maka aku cinta. Aku ingiN menikahimu” Seloroh mahasiswa itu sambil memperlihatkan cincin putih nan tulus tanda lamaran.

Mekar bunga di pelupuk hujan, bagai matahari muncul diujung timur. Madu cinta semanis hati, cemas bernada kepastian petanda kemenangan hati. Cinta bertajuk rindu dijawab seorang mahasiswa tampan yang diidam-idamkannya. “Ah apalagi yang pantas kukatakan selain aku wanita beruntung di dunia, dia ingin menikahiku. Pria itu oh ternyata ia mencintaiku. Oh Tuhan bersih sekali wajahnya. Aku juga ingin menikahinya.”

Namun setan neurosis kembali megejar, susasana kembali muram, muka kembali murung, mekar kambali layu. “Kau siapa? Kau neurosis, kau tak lebih dari wanita jalang terbelakang mental, apa kamu tidak mengaca Ana, siapa dirimu? Walau kau hebat, tapi kau si wanita kuda catur, wanita tukang setrum, kau akan menyakitinya jika kau mengiyakan lamaran” hatinya berkata. Muka Ana bergelayut sedih.

“Tapi Aku neurosis” ucap Ana

“Tidak Freud yang bilang kamu neurosis” Jawab pria itu yakin

Ana kaget setengah mati, berani betul ia mencap Freud. “Jangan-jangan padaku, aku kompulsif, cari wanita lain yang akan menenangkanmu”

“Tidak Freud yg bilang kamu kompulsif dan kau yang akan menenangkanku”

“Astaga, dia benar-benar mencintaiku”. Seribu cara dilakukan Ana untuk mematahkan rasio. Sampai ia berkata “Aku Psikosis”

“Apa bukti kau Psikosis Ana?” tantang si mahasiswa

“Semua manusia buruk”

“Apa kau mau bilang bahwa ayah dan ibu yang menyayangimu sedari kecil, menyusuimu, memandikan lalu dia memberi bedak dan mengantarmu ke sekolah untuk mengerti apa itu cinta. Mereka itu buruk?”

“Semua manusia buruuuk! Tuhan itu buruk”

“Wajah cantikmu pemberian Tuhan yang baik, pisau tajam analisa otakmu pemberian Tuhan yang maha pengasih. Rambut lurus hitammu yang begitu subur pemberian Tuhan Maha penyayang. Pipi lucumu pemberian Tuhan maha Pecinta hambaNya, kenapa, kenapa Tuhan tidak membunuhnu saja jika dia mencintai keburukan? Kenapa ia tidak menutup pintu akalmu jika Tuhan itu Jelek? Kenapa juga kau sebut-sebut Tuhan tadi? Kau salah menafsirkan Tuhan calon istriku. Mana, mana nilai humanis yang kau banggakan dalam kampus? Kau membohong cinta suci nurani diri. Kau setengah memahami Freud”

“Lancang kau! Huh.. jangan, jangan nikahi aku, kau yang setengah memahami psikoanalisis. Enyahkan Tuhanmu itu, Tuhanmu yang tidak ilmiah, Tuhanmu yang tidak mengerti esensi Agama” Ana balik menuding

“Hhh.. tahukah kau Ana? Teori Freud bahwa agama itu ilusi bulat-bulat mengambil dari Feurbach, apa itu juga ilmiah Ana yang berilmiah dan juara ilmiah se Jawa?”

Mata Ana melotot kaget, menerima buku pemberian sang mahasiswa. Sebuah buku tulisan Freud kepada Oskar Pfitser. Yang berisi perkataan Freud tentang teori agamanya.

“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”

Ana terkejut bukan kepalang, teori yang selama ini diagungkannya bukanlah kajian empirik. Sekejap Ana berdiri menghapus airmatanya, dan memandang tajam pelamarnya itu. “Kenapa kau mencintaiku, mencintai…seorang at...?”

“Mau bilang ateis lagi Annisa? Annisa yang nama surat di Al Qur’an” Sang pelamar melempar senyum.

Dan Ana berlari dengan kencang melewati hutan yang lebat. Keseimbangannya oleng dan jatuh hingga dengkulnya mengeluarkan najis. Hah… hhh.. nafasnya tersengal. Kemudian ia kembali berdiri dan lari sekencang mungkin, dilaluinya rerimbun hutan. Kilauan matahari terus mengejar tubuhnya dibawa kaki. Ditangannya masih digenggam buku psikonalisis yang akan dirobeknya, buku yang selama ini menjadi panduan wajib kepribadiannya. Airmata perlahan menetes membasahi pipi, mahasiswa psikologi smester 5 itu, di hatinya berkata pedih dan sakit: You lie Freud? You lie. I have a potency.

Sampai di tengah hutan, tepat di depannya berdiri sebuah gubuk, gubuk tua nan kokoh yang didalamnya berdiri perpustakaan pribadi. Alunan lagu menyeruak seisi ruangan landai itu. Seketika dipandanginya foto Sigmund Freud dengan cerutunya dan Michel Foucoult dengan topinya dengan mata tajam, airmatanya kini mengalir deras, hingga bibirnya tergetar. Dipenjamkan matanya, dirasakan dalam hati, kini dia berputar dengan tangan terbentang menyerupai sayap mengikuti irama nyanyi.

“Tempatku melihat dibalik awan, aku melihat dibalik hujan tempatku terdiam tempat bertahan aku terdiam dibalik hujan”

Ah, suaranya semakin mendesah, rasa sedih, rasa sakit tak tertangguhkan dibawa nyanyi.

You are so disgusting” bibirnya terus bergetar, rambutnya sedikit terurai keluar dalam balutan jilbab merah jambu. Didorongnya rak buku tinggi itu, dilemparnya buku tebal ke wajah Freud. Braak! suara kaca membeling terjatuh. Kini patung Freud jadi sasaran, ia membantingnya kuat-kuat hingga kepala patung itu patah. Patung yang sengaja dibelinya di Wina, kota kelahiran Freud. Dirobeknya sebuah buku, lalu dilempar ke langit-langit hingga lembaran demi lembaran kertas beterbangan seisi ruangan. “What’s your opinion based on Freud? What an interesting my life”. Kini Ana tergeletak di lantai, dengan keharuan mendalam, nafas sesak membucah di derap dada. Dengan memaksa diri, ia berpuisi.

Sepisaupi

sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri sepisau sepi

sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi.

Freud disini aku mencinta... mencinta Tuhan.. bukan Totem Ilusi.

Diambilnya air wudhu di kendi, ah segar membasahi wajah sembab. Kini mahasiswa yang sempat ateis itu menunaikan sholat, lantunan do’a shalat diucapkan sebisanya. Kemudian ia mengaji, giliran lantunan ayat suci dibaca terbata-bata. Ia membaca surat Annisa. Lalu dilanjutkan Surat ArRad ayat 1.

Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quran). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” Dan gimana nasib Freud? Ana membuka mukena dan berkata “Freud telah mati dan yang membunuhnya ada disini” Ucap Ana sembari menodongkan telunjuk ke kepala. What is your opinion base on AnA?


[1] Psikolog Jerone Bruner berpendapat bahwa terdapat dua cara untuk mengetahui dunia. Apa yang disebutnya pengetahuan paradigmatik yang melibatkan penciptaan model abstrak dengan realitas. Kemudian ada yang disebutnya pengetahuan narasi, yang didasarkan kepada pemahaman terhadap dunia melalui cerita. Lebih jauh dengan pendekatan konseling narasi dapat membaca buku John McLeod. Cerita ini pernah dinarasikan dalam dikusi tentang ke-BPI-an ketika ta’aruf jurusan BPI UIN Jakarta oktober 2007.

Psikopatologi dalam Psikodinamika: Kepribadian Seimbang, Psikopatologis, dan Psikosis

Oleh: PizarO

Psikodinamika mencerminkan dinamika-dinamika psikis yang menghasilkan gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Dinamika psikis terjadi melalui sinergi dan interaksi-interaksi elemen psikis setiap individu. Seksualitas Freud sebagai sebuah dinamika, menangkap ada bermacam-macam potensi psikopatologi dalam setiap peta id, ego, dan superego.

Ketiga elemen psikis ini mempunyai kekhasan masing-masing, sebab mereka menggambarkan tiap-tiap ide yang saling paradoks. Hanya saja, mereka tidak akan membuat manusia sepenuhnya nyaman, karena manusia tetap saja orang yang sakit.[1]

A. DINAMIKA ID, EGO, DAN SUPEREGO DALAM STUDI PSIKOPATOLOGI

1. Kepribadian Seimbang.

Ibarat pesawat, ketiga elemen ini mempunyai fungsi masing-masing, kita dapat melihat terkadang pesawat anjlok, ketika roda bagian bawah pesawat tidak berfungsi dengan baik. Begitu pula untuk menuju kepribadian seimbang, harmonisasi di antara ketiganya wajib selaras.

Titik tekan dalam membentuk pribadi seimbang diperankan oleh ego. Jika egonya kuat maka kepribadian memiliki peluang besar berkreasi untuk keselarasan pribadi. Taksiran yang tak mengenal batas dari id mesti diimbangi dengan keteguhan ego. Hal ini bukan hanya mencipta suatu kemapanan pribadi, namun dapat melakukan mekanisme yang keratif seperti sublimasi. Jadi semata-mata individu tidak terfokus kepada pemenuhan organisme, namun masterpiece dari para seniman dapat terwujud bila kita mengambil alibi dari hakikat sublimasi.

Ego sebagai simbol selfish berpengaruh dari pengalaman-pengalamn selama ini, baik skala internal maupun eksternal. Kartono pernah mensinyalir gunanya melakukan kontak dengan realitas secara efisien, bukan hanya sebatas kriteria kenormalan individu, namun dengan begitu kita tidak terjerumus kepada fantasi semata.[2]

Identifikasi ala Freud, bisa meneguhkan hal ini. Kecemasan paradoks akibat gesekan rivalitas dengan ayah, menjadi cair oleh rasionalitas sebuah identifikasi. Perilaku ayah yang dapat didefinisikan sebagai benih-benih agama khas psikoanalisis Freud menjadi corong utama kesuksesan pribadi. Dari sini juga anak bisa lebih efektif dan tidak perlu risau mencari figur teladan, karena segalanya di keluarga telah tersedia. Argumen ini diamini oleh Arif, bahwa gesekan dalam kompleks Oedipus yang merupakan kecemasan masa kecil dapat didamaikan lewat skema identifikasi seksual kepada orangtua. [3] Anak laki-laki akan fokus menyadari dan mengembangkan kelaki-lakiannya dari figur ayah, lalu turut mengarahkan orientasi seksualnya kedepan, sebuah kepribadian matang.

Pun dengan anak perempuan, pertengkarannya dengan ibu akibat dugaan tak mendasar pemotongan penis, berekses pada peredaman amarah. Catatannya, ia mau beridentifikasi kepada ibu dan membuang rasa duga jauh itu sejauh mungkin. Orientasi seksual anak perempuan yang kabur, seakan diberi “cahaya” dari ibu, bahwa perempuan adalah perempuan, memiliki vagina bukan penis, serta tidak boleh meniduri ayahnya.

Cinta ekstrim yang dilakukan kedua anak sebenarnya bisa digubah dengan bentuk yang rasional. Setidaknya Erich Fromm (1900-1980), seorang murid Freud dari Jerman, pernah mengajukan pemikirannya tentang hal ini. Apa yang dilakukan Fromm memang unik, karena filosofi cintanya membongkar kultur pop arti cinta yang bias. Seperti dikutip Eko Harianto, Fromm menelisik konsep cinta menjadi 4 unsur:

1. Care. Diperlukan agar dapat memahami kehidupan, perkembangan yang maju atau mundur, baik atau buruk, dan bagaimana kesejahteraan orang yang mencintainya.

2. Responsibility. Tanggung jawab diperlukan atas kemajuan, keberkembangan dan kebahagiaan, dan kesejahteraan orang yang dicintai. Maksudnya bagaimana kesiapan diri untuk menanggapi kebutuhan yang diperlukan dan juga bagaimana kesiapan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang muncul.

3. Respect. Hal ini menekankan pada bagaimana menghargai dan menerima objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati.

4. Knowledge. Pengetahuan diperlukan guna mengetahui seluk beluk objek yang dicintai. Bila objek yang dicintai manusia, maka harus dapat memahami kepribadiannya, latar belakang yang membentuknya, dan kecendrungan dirinya. Dan yang perlu dipahami lagi bahwa kepribadian seseorang itu terus berkembang.[4]

Bagi Fromm, setiap manusia memang didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologi dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Namun orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang sehat secara keratif dan produktif.[5]

Jika demikian, kontribusi kedua orangtua ini adalah substansi superego untuk memberi aturan, dan pedoman dasar sebagai eksistensi yang wajar. Karenanya, orangtua juga mesti lihai memainkan apresiasi superego dalam perspektif anak, tidak menyakiti hingga membuat anak sakit dan dapat mengajarkannya menggapai eksistensi yang “sopan”.

2. Kepribadian yang Psikopatologis

Berbalik dari hal diatas, jika disharmonisasi terjadi dalam interaksi id, ego, dan superego akan mengakibatkan kepribadian yang psikopatologis. Id mendesak ego untuk menuntaskan hasrat, sementara ego belum begitu mapan mencari kreasi menuangkan libido, ditambah kekuatan eksternal superego yang begitu kualitattif. Adanya hal ini terus menurus bertambah buruk, karena kepribadian sudah tidak seimbang menahan gempuran, semakin lama semakin kacau, tidak ada sublimasi atau kreatifitas ala May, dan psikopatologi adalah keniscayaan.

Bisa dibilang teramat terjal jalan yang dilalui individu untuk mendapatkan keinginan yang memuaskan. Sekalipun tetap memaksakan kehendak, akan terjadi variasi gangguan yang tidak diinginkan.

Arif cenderung melihat skema psikopatologi dalam seksualitas Freud berakar dari konflik dan anxiety. Anxiety dapat didefinisikan sebagai pergerakan menjauh dari kondisi equilibrium menuju disequlibirium.[6] Baginya ada dua hal yang dapat semakin meningkatkan anxiety; yaitu seberapa jauh kita meninggalkan kondisi disequlibirium dan seberapa cepat kita dapat bergerak menuju equilibirium. Semakin jauh kita meninggalkan kondisi equlibirium, maka semakin tinggi anxiety yang kita hayati. Sesuatu yang membuat kita jauh sekali meninggalkan kondisi equlibirium disebut trauma. Sementara sesuatu yang membuat kita “lama sekali” bergerak menuju equlibirium, disebut konflik. Trauma akan semakin membesar jika orang yang mengalaminya masih terlampau rentan, seperti anak-anak. Trauma juga memicu kondisi disequlibirium yang semakin parah.[7]

Akibat munculnya konflik, discharge menjadi terhambat, dan seseorang kembali dalam kondisi equilibirium. Kondisi ini disebutnya sebagai damming up. Dalam keadaan damming up, kondisi disequlibirium akan semakin besar dan kecemasan yang dihayati akan semakin tinggi. Ketika itu upaya untuk meredakan ketegangan dilakukan, dengan upaya katarsis atau mekanisme pertahanan diri.[8]

Katarsis ialah upaya meredakan ketegangan dengan aktivitas-aktivitas tertentu, seperti berolahraga, bermusik, berteriak, atau apa saja agar ketegangannya tersalurkan. Ketika katarsis juga tidak efektif untuk meminimalisir tegangan, maka manusia akan terjebak dalam psikopatologi, bahkan terjerumus semakin dalam.

Fahmi melihat dengan detail bahwa cara pendidikan yang diterima anak pada tahun-tahun pertama dari umurnya memiliki kontribusi penting dalam jiwa anak. Jika nuansa takut dan tidak aman pada si kecil dalam berbagai situasi yang berulang-ulang, akibatnya mereka akan mengalami keguncangan jiwa dan terbelakang dalam bermacam segi pertumbuhan yang akan berpengaruh dalam kesehatan jiwa di masa depan.[9] Lebih jelasnya Fahmi mengidentifikasi tujuh hal yang menjadi karakteristik kesalahan dalam mendidik.

a) Tidak mendapatkan pemeliharaan ibu.

b) Anak merasa tidak disayangi atau dibenci.

c) Orang tua terlalu toleran terhadap anak.

d) Terlalu memperhatikan dan menjaga anak.

e) Kekerasan orang tua dan kecendrungan untuk bersikap otoriter terhadap anak.

f) Orang tua terlalu ambisius.

g) Sikap orang tua berlawanan.[10]

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, anak melalui proses pendidikan yang pengaruhnya melebihi pengaruh proses pendidikan di masa apapun. Karena pada umur dua atau tiga tahun unsur perasaan pada anak mulai terbentuk.

Fahmi menambahkan, akibat tidak mendapatkan pemeliharaan ibu yang layak, bisa berdampak pada dua hal. Pertama, terlambatnya pertumbuhan jasmani, rohani, dan sosial. Kedua, terganggunya pertumbuhan jiwa (goncangnya pembinaan ego dan super ego). Ketidaklayakan ibu untuk mengurus anak juga dapat berdasar dari problema kejiawaan suami-isteri, contohnya seperti isteri yang kelaki-lakian, isteri histeris, suami kekanak-kanakan, dan model yang lainnya. Jika pemahaman ini kita giring kembali ke dalam tugas identifikasi anak, tentu saja menjadi sulit termanifeskan. Tampaknya argumen Fahmi tentang “kecelakaan” skema ini belum diurai oleh Freud.[11]

B. Analisa Psikosis

Jika dalam neurosis ego masih berfugsi, tetapi dalam psikosis fungsi ego nyaris punah. Pengecapan realitas menjadi samar untuk dikenali sebagai hal yang ril dan ilusi. Kita dapat melihat dengan jelas pada film Beautiful Mind di mana Profesor John Nash telah menganggap bahwa ia adalah agen Amerika, padahal itu lahir dari delusi. Selain itu, dunia internalnya banyak diisi halusinasi yang seakan nyata.

Koordinasi antara id, ego, dan superego berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing tidak dapat dibendung untuk berkembang menuju penyakit. Identitas yang melekat cenderung sulit dikenali, akhirnya kita sering menyaksikan individu psikosis mengalami kehancruran parah di mana ia tidak mengenali dirinya sendiri. Mekanisme yang dipakai tidak lagi yang matang, tetapi primitif.

1. Skizofrenia

Pandangan psikodinamika menekankan pengalaman masa kanak-kanak dalam keluarga. Walaupun hal ini adalah sesuatu yang lazim, tapi setidaknya orang tua telah menjadi objek peneltian psikologis dalam skizofrenia.[12]

Freud meyakini bahwa orang-orang yang menderita skizofrenia, dan dalam tingkatan tertentu mereka juga menderita hipokondria,[13] mengalami regresi atau mundur, sering kali dalam kaitannya dengan kehilangan, menuju keadaan narsisitik sekunder di mana libido ditarik dari dunia eksternal dan dimasukkan kembali pada diri dan tubuh individu yang bersangkutan.[14]

Namun pertanyaannya mengalami regresi ke tahap seksual apakah Skizofrenia? Menurut Arif, pasien-pasien skzofrenia mengalami regresi ke tahapan awal oral, di mana mereka mengalami ketakutan di fase ini, bukan lagi takut secara (jasmani, tapi terutama mereka merasa mati atau runtuh kepribadiannya, dan kembali mengalami regresi ke kondisi tiada kontak dengan realitas.[15]

Mekanisme yang digunakan seperti splitting yang notabene terjadi pada bayi. Pasien skizofrenia berelasi erat dengan seseorang dalam suatu waktu. Saat tu, ia berpendapat bahwa orang itu sepenuhnya baik, tak ada cela sedikit pun. Di lain waktu, orang tersebut mengecewakannya dalam hal tertentu, dan kini ia memandang sepenuhnya orang itu buruk. Karena splitting pasien skizofrenia tidak dapat menangkap bahwa orang yang hari ini dibencinya adalah sama dengan orang yang kemarin ia sukai.[16]

Karl Abraham, seorang Klenian, memberikan materi klinis atas seorang Skizofrenia dengan riwayat keluarga yang juga skizofrenik.

“Pasien ni digambarkan terlalu asyik dengan dirinya sendiri dalam cara yang sangat narsisitik dalam arti satu angan-angan kecil, permainan kata-kata dan sebagainya, bisa menyita semua perhatiannya. Selama periode yang cukup panjang, sementara kondisi fisiknya sendiri menyita semua perhatiannya lebih dari yang lain. Ditambahkannya sensasi genital dan anal adalah yang paling penting baginya. Kemudian, dia mengalami kecanduan pada masturbasi anal dan genital. Selama masa puber, dia memperoleh kesenangan dari bermain-main dengan kotoran tinja, dan pada periode selanjutnya dia menyibukkan diri. Dengan semua bentuk pengeluaran tubuhnya. Sebagai contoh, dia memperoleh kesenangan dengan menelan air maninya sendiri.

Namun yang paling penting bagi pasien tersebut adalah preokupasi oralnya. Dia kadang terbangun dari mimpi-mimi indah dengan “polusi oral”, dengan air liur yang menggenangi mulutnya. Dia menyukai susu, mengisap cairan dan lidahnya sendiri. Dia sering terbangun di tengah malam dengan

keinginan seksual yang menggebu, namun biasanya bisa diredakan dengan minum susu. Dia merasa keinginannya minum susu merupakan kebutuhannya yang paling dalam dan paling primitif, sementara masturbasi genital, seberapapun menyenangkan, hanya menempati urutan kedua.”[17]

Abraham menggambarkan “lamunan kanibalistik” telah ada semenjak masa awal anak-anak saat dia menghubungkan cinta kepada seseorang dengan memakan sesuatu yang enak. Selain itu Abraham sepakat, ini menjadi suatu relasi dengan gagasan Klein di mana asosiasi-asosiasinya mengarah pada fantasi tentang menggigit payudara.[18]

Banyak peneliti menganalisa bahwa masa remaja memiliki risiko tinggi sebagai awal dari skizofrenia, meskipun masa kanak-kanak juga berpeluang. Dan skizofrenia semakin berkembang pada pertengahan dan akhir masa remaja.[19] Secara umum memang berasal dari biologis, namun efek dari kondisi lingkungan dan faktor kultural mempunyai efek secara mendalam.[20]

Sejalan dengan Freud, Loof melihat ada bagian hipokondriarsis mengikuti skizofrenia di usia sekolah. Loof melihat dalam usia sekolah, gangguan psikotik yang identik dengan skizofrenia, gejalanya terkadang bertahap. Pertama, adanya simtom-simtom neurotik, lalu ada tanda-tanda primitive denial, dan proyeksi, kehilangan asosiasi dalam berpikir, hipokondriarsis, dan perilaku meledak-ledak. Pada perkembangan selanjutnya anak mulai menarik diri dari lngkungan sosial, berfantasi sendiri, bertingkah laku autistik,[21] hingga mencapai kekalutan mental.[22]

Catatan penting ditemukan bahwa skizofrenia berpeluang menjadi perilaku bunuh diri. Tsuang (1978) seperti dikutip Pfeffer mengungkapkan bahwa 10 % pasien skizofrenia dari 525 pasien dewasa di rumah sakit jiwa telah melakukan bunuh diri.[23] Tsuang (1977) juga menilai bahwa hubungan saudara dalam keluarga turut andil dalam hadirnya skizofrenia pada anak-anak.[24]

(susana ketika diskusi Skizofrenia)

Teori Freud akan ikut sertanya insting mati pada pribadi, menjadi tidak terelakkan pada kasus-kasus Skizofrenia. Di mana naluri kematian memutarbalikkan tujuan erotisme yang semula ada.[25] Destruktivtas diri menjadi pemecah masalah pada pasien skizofrenia. Pasien skizofrenia tidak melihat ruang untuk mereka kembali normal. Konflik-konflik keluarga, stigma sosial, dan perawatan yang tak kunjung membaik menemani rangsangan insting mati untuk menjadi riil. Padahal seperti dikatakan Knight, penanganan berdasar komunitas untuk dapat mengembangkan kesadaran dan penerimaan diri amat dibutuhkan.[26]

2. Paranoia.

Sama seperti skizofrenia, paranoia dapat dianggap penyakit yang lahir salah satunya dari regresi pada fiksasi masa oral.[27] Lebih jauh Brill menjelaskan kepada bentuk fiksasi narsistik.[28] Libido kemudian memiliki kontribusi penting pada paranoia, karena delusi grandeur adalah dampak dari inflasi ego terhadap libido yang ditarik dari pengepungan objek, sebuah narsisme sekunder yang terjadi pada masa kanak-kanak awal.[29]

Meissner mengatakan bahwa paranoia bisa menjadi sebuah proses menuju paranoid.[30] Jauh sebelum itu seperti dikutip Storr, Freud dalam kasus Schreber juga mengidentifikasi bahwa delusi grandeur dari paranoia erat berkaitan dengan paranoid.[31] Perkembangan khayalan si pasien akan mengarah kepada bentuk penganiayaan.

“Di sini penderita merasa seolah-olah sedang dikejar-kejar diserang. Diracun atau dilukai oleh satu atau kelompok orang yang bermaksud jahat. Seringkali, perasaannya ini diiringi dengan keyakinan penderita yang sangat teguh mengenai kepentingan dirinya, yang mungkin sebagian disebabkan oleh perasaan-perasaannya, bahwa ia kurang mendapat perhatian. Mungkin dia benar-benar keturunan bangsawan, atau memiliki beberapa rahasia yang sangat penting yang diincar oleh musuh-nusuhnya”[32]

Pada tahun 1907, di usia paruh baya, Schreber dirawat di rumah sakit jiwa tempat ia meninggal pada tanggal 14 April 1911. Sebelumnya, pada sakitnya yang kedua Schreber semakin menunjukkan khayalan ekstrimnya dengan titik tekan seksualitas.[33]

“Schreber merasa tubuhnya sedang dirawat dalam berbagai cara yang memuakkan dan ia merasa bahwa dirinya sedang dianiaya dan terluka, terutama oleh Profesor Flechsig, direktur klinik, tempat pertama kali dia dikurung. Pada suatu ketika gangguan jiwa Schreber yang akut ini reda tapi diganti oleh sistem khayalan yang kronis. Seperti penderita paranoia lainnya, Schreber benar-benar normal kecuali apabila khayalan-khayalan lainnya tadi muncul. Dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit pada tahun 1902, meskipun dia mengaku sistem khayalannya terus-menerus muncul ... Dalam tulisan-tulisannya sendiri Schreber meyakini bahwa dirinya diubah menjadi seorang wanita, dia akan dihamili oleh sinar dewa sehingga akan tercipta ras manusia baru.”[34]

Intepretasi Freud menyimpulkan bahwa penyakit Schreber ada hubungannya dengan ketakutan dan keinginan Schreber untuk melakukan hubungan seksual dengan Flechsig. Freud juga menyatakan jika keinginan homoseksual yang dialami Schreber yang diduga terarah kepada psikiater yang menanganinya itu sebagai transferensi dari perasaan homoseksual yang tidak disadarinya yang mulanya tertuju pada ayahnya. Penggantian berikutnya, dari Dewa yang menghamilinya menjadi Flechsig yang menganiayanya ditelusuri kembali dari sumber yang sama.[35]

Dalam mayoritas kasus, orang-orang yang menganiaya memiliki jenis kelamin sama dengan orang yang dianiaya, tetapi dalam beberapa kasus yang dikaji, terlihat bahwa orang yang berkelamin sama yang sangat dicintai sementara waktu oleh pasien normal, kemudian menjadi penganiaya setelah penyakit muncul.[36]

Dalam penelitian lebih jauh, Freud sampai pada kesimpulan bahwa paranoia penyiksaan adalah cara seseorang berproyeksi terhadap dorongan homoseksual yang begitu kuat.[37] Pertama-tama pasien berkata tidak mencintai Si C, selanjutnya khayalan ini diubah menjadi proyeksi bahwa Si C membenci (menganiaya) saya, sehingga akan ada alasan bagi saya ntuk membenci Si C.

Walaupun Freud menekankan aspek libido pada kasus Schreber, namun Meissner melihat bahwa Freud tidak secara eksplisit mengembangkan garis mengenai agresi. Padahal Freud sadar bahwa agresifitas dan dekstruksifitas merupakan dampak dari delusi paranoid.[38]

Freud mengatakan bahwa khayalan Schreber tentang Tuhan, pada akhirnya berasal dari perasaannya terhadap ayahnya dengan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kebanyakan ayah, orang terkenal seperti ayah Schreber (dokter dan pendidik yang terkenal pada waktu itu) akan lebih membangkitkan perasaan patuh karena hormat, perasaan membangkang karena memberontak, yang menurut Freud adalah karakteristik masa kecil seorang laki-laki terhadap ayahnya.[39]



[1] Tulisan ini sebagian diambil pada skripsi penulis Teori Seksualitas Freud tentang Kepribadian: Psikopatologi dan Kritik Psikologi Islami. Penulis meomohon maaf jika ada bahasa yang terkesan vulgar. Ini semata-mata untuk menghadirkan pemikiran psikodinamika seadanya. Sekaligus titik penting sebagai pemahaman sebelum mengkritik psikodinamika.

[2] Kartono, Psikologi Abnormal, h. 7.

[3] Arif, Dinamika Kepribadian, h. 62-63.

[4] Eko Harianto, Psikologi Cinta Sejati, (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2004), h. 35-36. Persepsi cinta juga ditawarkan J. Sternberg lewat triangular of love. Menurutnya cinta adalah sebuah kisah yang ditulis setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaaan seseorang terhadap suatu hubungan. Konsep cinta menurut Sternberg memiliki tiga unsur, yakni gairah, elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Kedua, keintiman, yang merupakan elemen motivasi, dan di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan untuk membina hubungan. Ketiga, komitmen, yang merupakan elemen kognitif berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan sesuatu kehidupan bersama.

Dari interaksi ketiga unsur tersebut, cinta kemudian dibagi beberapa jenis. Akan tetapi, uraian Sternberg ini sarat krtik, karena ia sulit meletakkan dimana cinta seorang anak kepada ibu atau sebaliknya. Ibid., h. 37-41.

[5] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, cet. 14 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 66. Cinta di sini juga bisa disebut cinta produktif. Baginya cinta produktif bisa menjawab gejolak masyarakat modern, salah satu kareteristiknya adalah keratifitas, khususnya aritistik. Hal ini juga menjadi pemandangan serupa dari konsep sublimasi Freud. Konsep ini setidaknya telah berekspansi ke ranah yang lebih sosiologis, walau Fromm pada mulanya bersifat psikologis dan filosofis.

Gagasanya mengenai orientasi manusia modern sangat fenomenal di kalangan psikolog dan sosiolog. Orientasi itu meliputi, orientasi reseptif, eksploitatif, menimbun, dan pasar. Pikiran-pikiran Fromm tentang masyarakat modern sedikit banyak diulas oleh Khoirul Rosyidi. Lebih jelas lihat Khoirul Rosyadi, Cinta dan Keterasingan., (Yogyakarta: LKiS, 2000). Selain Freud dan Fromm gagasan sosial dari kerangka psikologis, terangkum juga oleh Adler dengan skema hasrat sosialnya. Di mana manusia tergerak oleh dimensi sosial di mana ia hidup. Menariknya mereka semua bagian dari mazhab psikodinamika. Dengan ini kita dapat melihat gambaran pribadi seimbang dalam konteks psikodinamika. Ulasan dimensi sosial Adler bisa lebih jelas lihat dalam Pizaro, “Dinamika Jiwa-jiwa Revolusioner,” artikel diakses pada tanggal 3 Desember 2007 dari http//:www.bpi-forum.blogspot.com/2007/12/dinamika-jiwa-jiwa-revolusioner.html

[6] Kondisi equlibirium bisa dimengerti sebagai kondisi ketiadaan hasrat, seperti kita makan untuk menuju equlibirium berupa kenyang. Sedangkan disequlibirium adalah kondisi yang membuat kita tegang atau tidak seimbang, seperti hasrat seksual. Manuver skema psikopatologi yang dilakukan Arif, terlihat lebih mudah untuk kita pahami, ketimbang beberapa kalangan lainnya. Lihat Arif, Dinamika Kepribadian, h. 9.

[7] Ibid., h. 26-27. Dalam bahasa sederhana konflik juga dapat terjadi ketika individu memiliki dua keinginan atau lebih yang kekuatannya sama, tapi saling bertentangan satu sama lain.

[8] Ibid., 28.

[9] Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Penerjemah Zakiah Daradjat (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 80

[10] Ibid., h. 80.

[11] Permasalahan jika sang ibu atau ayah mengidap neurosis, belum disinggung oleh Freud. Freud hanya sekali mengurai “kecelekaan” seperti ini, namun bukan dengan gambaran konsep yang jelas, yaitu pada tataran fase anal, dimana jika ibu bertindak kasar bepengaruh pada sang anak. Namun sekali lagi, bahwa itu hanyalah semacam saran atau catatan yang bukan menyentuh diskusi kita mengenai substansi masalah yang kita singgung.

Jika kita berpedoman oleh gagasan Fahmi, justru menjadi tantangan bagi Freudian, Neo Freudian, atau kalangan anti Freud sekalipun untuk menjawab pertanyaan ini dengan subordinasi wilayah neurosis orangtua dari garis batas psikoanalisis.

[12] W. White and Norman F. Watt, The Abnormal Personality, Fourth Edition (New York: Ronald, 1973), h. 458-459. Dalam analisa Freud, skizofrenia belum sampai luas menjadi klasifikasi seperti sekarang ini, di mana Skizofrenia dibagi menjadi subtipe, di antaranya tipe katatonik, hebefrenik, dan paranoid. Seiring berjalannya waktu hadir dua tipe lagi yaitu tipe undifferentiated dan tipe residual. Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, psi. Pengantar Psikologi Abnormal. (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 146-149.

[13] Hipokondria menyangkut keprihatinan berlebih pada diri sendiri. Semiun, Teori Kepribadian, h. 435.

[14] Jeremy holmes dkk, “Narsisme, Fantasi, dan Libido”, dalam Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 546. Narsisme dapat dibagi dua, pertama narsisme primer dan narsisme sekunder.. Narsisme primer terjadi pada masa awal kelahiran, dimana bayi pada waktu itu mengembangkan narsisme primer atau egosentrik (perhatiannya dipusatkan kepada diri sendiri). Setelah ego berkembang, anak biasanya mengentikan sebagaian narsisme primer-nya dan mengalihkan perhatiannya lebih besar kepada orang lain. Akan tetapi, pada masa pubertas, anak-anak remaja acap kali mengarahkan kembali libido kepada ego dan mulai mengutamakan penempilan diri dan perhatian-perhatian lain terhadap diri sendiri. Ini disebut narsisme sekunder. Semiun, Teori Kepribadian, h. 75.

[15] Arif, Dinamika Kepribadian, h. 51.

[16] Object relation theory Klein juga melihat mekanisme pertahahan berupa projective identification dalam kasus skizofrenia. Untuk memudahkan pemahaman mekanisme ini akan diurai lewat tiga tahap. Tahap pertama seseorang merasakan konflik internal yang berat dalam dunia internalnya. Ada bagian dari kepribadiannya yang dirasa mengancam diri atau sebaliknya terancam oleh bagian kepribadian yang lain. Karenanya, ia memindahkan internal object kepada orang lain. Orang pertama kita sebut proyektor dan orang kedua yang dipaksa menerima kita sebut container, untuk menerima internal object-nya, dan dengan demikian merasakan apa yang dirasakan proyektor.

Pada tahap kedua, sebagai akibat dari identifikasi, container mengalami apa yang dialami proyektor. Mungkin container akan merasakan perasaan-perasaan tertentu yang sangat tidak menyenangkan tanpa mengerti sebabnya, kepribadian container akan bereaksi kepada tekanan dari proyektor ini. Jika container memiliki kepedulian pada proyektor, maka ia mampu menanggung bebannya. Container akan mengintegrasikan “objek asing” tersebut ke dalam kepribadiannya, dan dengan demikian, mengubahnya menjadi lebih baik. Jika kepribadian container tidak matang, maka ia akan sangat terganggu oleh tekanan dari proyektor dan berusaha mengeyahkan tekanan tersebut. Reaksi mana yang dilakukan container, sangat menentukan proses selanjutnya.

Pada tahap ketiga, proyektor akan melihat internal object yang telah mengalami pengolahan oleh container. Bila reaksi container di tahap kedua adalah reaksi positif, maka container telah mengubah internal object proyektor menjadi lebih baik. Proyektor ini dapat menginternalisasikan kembali internal object tersebut ke dalam kepribadiannya. Dalam kasus seperti ini, projective identification memiliki makna terapetik. Bila reaksi container di tahap kedua adalah reaksi yang negatif, internal object proyektor tidak mengalami pengolahan. Proyektor tidak dapat menginternalisasikan kembali internal object tersebut, karena akan menimbulkan konflik. Arif, Dinamika Kepribadian, h. 39-41.

[17] Holmes dkk, “Narsisme, Fantasi, dan Libido”, h. 673.

[18] Ibid., h. 673

[19] Philip S. Holzman and Roy R. Grinker, “ Schizoprenia In Adolesence”, dalam Sherman C. Feinstein, ed., Adolescent Psychiatry, vol V (New York: Aronson Inc, 1977), h. 276. Jeffrey Nevid dkk, Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 2. Penerjemah Tim Fakutas Psikologi UI (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 108.

[20] Mark A. Mattaini, Clinical Intervention With Families, (Wahington DC: 1999), h. 41.

[21] Autisme diidentifikasikan sebagai skizofrenia masa anak oleh White dan Watt. White and Watt, The Abnormal Personality, h. 454. Namun kini autisme tidak lagi dikelompokkan sebagai psikosis seperti dahulu. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) dalam DSM IV dan sejak 1987 World Health Organization (WHO) dalam International Classification of Disease-10 (ICD-10) memasukkan autisme ke dalam gangguan perkembangan pervasif. Theo Peeters, Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autis, (Jakarta: Dian Rakyat, 2004), h. 1-3.

[22] David H. Loof, Getting to Know the Troubled Child, (Tennessee: The University of Tennessee Press, 1978), h. 142-143.

[23] Cynthia R. Pfeffer, The Suicidal Child, (New York: The Guilford Press, 1986), h. 60.

[24] Pfeffer, The Suicidal Child, h. 132.

[25] Freud, Peradaban dan Kekecewaannya, h. 112.

[26] Bob Knight, Psychoteraphy With The Older Adult, (Newbury Park: Sage Publications, 1986), h. 90.

[27] Pada awal abad 20, Freud melihat ketidakpastian paranoia dalam klasifikasi psikiatri yang dibuat dewasa itu. Padahal menurutnya paranoia juga berhubungan erat dengan dementia praecox (skizofrenia). Karenanya, Freud menyarankan bahwa keduanya dimasukkan dalam satu nama yaitu petrafenia. Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 486.

[28] A.A Brill. Freud’s Contribution To Psychiatry, (New York: W.W Norton & Company. Inc., 1962), h. 106.

[29] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 487.

[30] W.W. Meissner, S.J., M.D., The Paranoid Process, (New York: Aronson, 1978), h. 519.

[31] Brill, seorang Freudian dan teman kerja Freud, juga menemukan kondisi paranoid pada pasien yang ditanganinya. Lebih jauh Brill mengetengahkan bahwa pengembangan karakter, delusi persekusi, erotemnia, dan delusi grandeur menghasilkan gambaran dari tipikal sebuah kondisi paranoid. Brill, Freud’s Contribution To Psychiatry, h. 109

[32] Storr, Freud, h. 91.

[33] Schreber mengalami gangguan jiwa pertama pada bulan oktober 1884 sampai juni 1885. Hal ini cukup mengejutkan, karena biasanya penyakit psikosis cenderung bersifat menahun dan kambuhan, namun Schreber sembuh secara meyakinkan dalam waktu relatif singkat. Kemudian ia kembali ke profesinya sebagai hakim, dan tetap sehat sampai tahun 1893. Pada usia 51 tahun, tidak lama setelah naik jabatan, dia mengalami lagi gangguan jiwa yang akut hingga harus dirawat di rumah sakit sampai bulan desember 1902. Kenangan tentang dirinya diterbitkan setahun setelah dia dipecat. Sakitnya yang kedua ini tidak pernah sembuh secara sempurna. Storr, Freud, h. 91.

[34] Storr, Freud, h. 92.

[35] Ibid., h. 93.

[36] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 489.

[37] Storr, Freud, h. 93.

[38] Meissner, The Paranoid Process, h. 643.

[39] Freud telah menganalisa skema keluarga ini berkaitan dengan paranoia Schreber. Ayah Schreber adalah Dr. Daniel Gotlob Morits Schreber, Schreber juga mempunyai seorang saudara laki-laki. Namun Freud tidak sampai jauh meneliti masa kanak-kanak Schreber, atau tabiat ayahnya pada waktu Schreber kecil. Sedangkan naas, saudara laki-laki Schreber menembak kepalanya sendiri pada usia 38 tahun.

Ayah Schreber sangat otoriter, ia memaksa anak-anaknya sesuai keinginannya. Seperti menjaga tubuh anaknya agar benar-benar tegap dengan berbagai alat yang membatasi gerak, mencegah pengeluaran air mani pada malam hari dan hal-hal yang mengerikan lainnya dengan suntikan pada dubur. Cerita-cerita ini diungkap oleh Morton Schatzman dalam bukunya Soul Murder di tahun 1973. Storr, Freud, h. 95.