22 February 2008

SURAT DARI JOGJA UNTUK AKHINA PIZARO (KETUA FKM): TANGGAPAN KEDUA

Oleh: Alicia Baldan (Mahasiswa Tk. Akhir UGM yang mencintai kebenaran)

Kamu nggak Fair,

hanya memakai nama-nama aman (Goleman and Badri)

untuk mengulas Freud.

Kenapa kamu gak sebut Brill

yang sebelumnya kamu kupas di tulisanmu.

Psikoooooolllloggggiiiii gggguuuuaaaaaa bannnngggetttttttt

Assalamualaikum Akhina....

Salam Hormat dan Salam Kenal. Maaf namaku Alicia Baldan Putri, bukan Alika Baldan. But Wow tampaknya terimakasih kembali untuk kamu yang memberikan sinyal positif bahwa anda memang intelektualis sepertinya. Haha jangan bawa-bawa pak Hadi dong, aku jadi malu. Begini kawan aku juga terkesan menjadi Freudian ya? aku mohon kamu sisihkan itu. Hehe aku bukan Freudianistik kok. Aku minta maaf jika sebelumnya enggan membuka kartu.

Aku mau bilang gini kayaknya aku ketipu deh.. Aku dah perhatikan blog kamu kira-kira sekitar sebulan ini. Aku sempet senang, ketika membaca tulisan-tulisanmu yang banyak sekali mengulas Freud, palagi bilangnnya peminat kajian psikodinamika. Bayanganku, kayaknya kamu enak diajak ngobrol masalah Freud. Namun ketika kamu menulis tentang kritik psikologi Islami, Hahhh... kayaknya dugaan gua salah deh. Sebenarnya sih, judulnya masih ditolerir, tapi kemarin saat aku tanggapi tulisanmu itu. Kamu malah balik menjadi ”teroris” Psikoanalisis. Haahhhh.. Aku gak nyangka ternyata kamu anti Freud. Akan tetapi, aku juga senang, artinya asyik neh ada lawan tanding. Because what? Because jilbaber-jilbaber UGM dah aku bantai semua, keplek-keplek aku benturin sama rasio Freud. Semoga nasibmu tidak sama dengan mereka. aku optimis apalagi ngeliat jawabanmu kemarin. Kayaknya Kak Pizaro (begitu ya, Sisy memanggilmu?) bukan UIN sembarangan neh. Gua tau deh, UIN Man..!!

Balik ke diskusi. Aku heran dengan jawabanmu kemarin, tampaknya kita masih perlu diskusi epistemologi. Aku kembali tanya kepadamu. Kamu tahu enggak jika kritikus masakan bukanlah peneliti? Aku pikir analogimu itu justru sebuah kekeliruan. Analoginya begini, apakah kritik dari kritikus masakan dapat menjadi berarti universal? Apakah enak yang dirasakan kita, menjdi enak di lidah orang lain? Bukankah itu hanya berdimensi individualistik? Hmmm Psikoanalisis bukan masakan bung, cos Namanya Psikodinamika. You know!

Btw tampaknya anda terlalu memojokkan materialisme dalam hal ini. Aku gak perlu dengan rasio hadis or dogma akhiroh. Di mana-mana, ketika dogma hadir dalam sebah diskusi, aku khawatir, diskusi kita akan selsai. Dan semua orang akan bilang Yes! Islam menang. Wait the minute, I don’t hope so. Nietszche said God is Death. Bukannya Islam juga menghargai materiaslime, yah minimal buku rektormu Psikologi Kematian, di mana mati (in materil) akan menjadi petualangan psikologis umat beragama. Ketika itu memotivasi manusia untuk banyak mendapatkan pahala dengan motivasi ilusi surgawi.

Satu hal, Aku lebih senang jika kamu memakai logika Descartes dalam menjelasan Ghazali, ketimbang mencari benang terlalu jauh ke Abad 14 (baca: Hadis). Ini karena kita sekedar berbicara konsep falsafati, bukan worldview ajeg yang justru menjadi senjatamu.

Aku pikir dalam suatu diskusi epistemologi, adalah bijak jika masing-masing kita mengeksplor dulu pemikiran masing-masing, bukan kemudian kamu telanjangi aku dengan pembelaan-pembelaan “transendemtal”. Wow gua cewek.. “malu” dong.

Jangan lupa Freud juga menjdi mazhab di tengah cercaan-nya. Dan sepenuhnya orang-orang kayak kamu gak peralu risih. Pak Nasaruddin Umar (Kalau kamu pake senjata pak Hadi, aku pakai Pak Nasarruddin yang dari UIN, Hehehe... UIN 1-UGM 1) mengambil langkah bijak ketika para feminis menyerang Freud. Lo tahu dia bilang bahwa apa yang dikatakan Freud, justru harus menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk membuktikan perkataan Freud tidak benar dengan serentetan penelitian. Nah aku tidak mendapat kepuasan dari sisi ini, pada orang-orang sepertimu yang mengkritik Freud.

Jika Islam menghargai pengetahuan, buktikan dong.. Yang terjadi sekarang kan kebalik, malah kaum Barat yang melakukan penelitian untuk membantah Freud. Frankl, ya kan? Kamu pasti tahu, kamu Franklian kan?

Aku tidak mendengar ada ekspos dari Ilmuwan Muslim yang melakukn penelitian ilmiah untuk membuktikan Qur’an dalam konten psikologis (bukannya kayak kaum alim UGM, yang skripsinya kurang kerjaan, neliti sholat sama kecemasan-lah, zikir dengan motivasi lah. Jelas dong hasilnya lebih memihak kepada mereka. Kesannya psikologi Islam itu kerjaannya Sholat, Zikir, Zakat doang Apa?). Apalagi ada kata-kata Islam anti postivistik, wah bahaya tuh. Lo tahu gak? Dosen gua banyak yang terkesan begitu tuh. Semoga Kak Pizaro gak kaya gitu yah. Iya lah UIN Man!!!

Kamu nggak Fair, hanya memakai nama-nama aman (Goleman and Badri) untuk mengulas Freud. Kenapa kamu gak sebut Brill yang sebelumnya kamu kupas di tulisanmu. Kenapa kamu gak sebut Melanie Klein untuk mendefenesikan Freud sebagai sebuah peradaban. Kenapa kamu gak sebut Karl Abraham dengan temuannya. Why? Apa karena mereka menjadi penggemar Freud dan mesti diakui membawa peubahan mindset Psikodinamika setelah Freud. Kamu gak fair kak Pizaro.

Sok monggo kamu baca tanggapan dari ku ini. Jangan bosan-bosan yuach... sama aku. Oya nomor lo rapa sih, gua kontak gak nyambung.

20 February 2008

Sastra Islami sebagai Dakwah


Oleh : Muhammad Taher Soleh

Alumnus BPI UIN Jakarta

Awal tahun dua ribu enam lalu dunia sastra didera shock therapy dengan hadirnya buku-buku prosa baik itu novel dan cerpen yang ditulis penulis-penulis muslim, di antara mereka yang mendapat sambutan hangat dari pembacanya ialah buku Ayat-Ayat Cinta dan Di Atas Sajadah Cinta karangan Habiburrahman el-Shirazy, kemudian muncul pelbagai judul novel “berbau” cinta, dari mulai Zikir-Zikir Cinta karangan Anam Khoirul Anam, Kasidah Cinta karya Muhammad Muhyidin, Musafir Cinta karya Taufiqurahman Al Aziz (trilogy) hingga karya terbaru juga dari Habiburrahman E-Shirazy yang kembali menjadi best seller, Ketika Cinta Bertasbih.

Pada cerpen pun mengalami peningkatan dengan munculnya cerpenis-cerpenis muda jauh sebelum “sastra tema cinta” di atas lahir. Nama-nama seperti, Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, Muhammad Yulius, dan Dian Yasmina Fajri telah akrab di telinga para penikmat sastra di Indonesia. Tentunya tema yang diangkat dalam cerpen-cerpen mereka tidak lepas dari muatan dakwah, kental dengan nuansa Islam. Tema-tema cinta, pergaulan, dan seks yang demikian “liar” dan penuh dengan derajat nafsu antara laki-laki dan perempuan disajikan sedemikian halus, indah, penuh spiritualitas. Agama mereka ungkapkan secara sengaja dalam sastra tetapi estetis tidak menabrak demarkasi antara nilai sastra itu sendiri dengan agama, bedakan tatkala kita membaca buku agama yang benar-benar nyata nuansa rabbaninya.

Dengan mainstream seperti ini maka banyak pengamat sastra melihat bahwasanya telah muncul genre sastra baru yang mampu menghadirkan suasana baru dalam dunia sastra dan semakin memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Dengan beragam istilah genre ini dimunculkan : Sastra Pencerahan (Danarto), Sastra Profetik (Kuntowijoyo), Sastra Sufistik (Abdul Hadi), Sastra Dzikir (Taufik Ismail), sastra Transenden (Sutardzi Calzoem Bachri),[1] hingga Sastra Islam. Substansinya dimaknai sebagai sastra yang berlandaskan kepada ahklak Islam, dari segi cerita, kecantikan diksi (pemilihan kata), sampai penokohan yang benar-benar menghadirkan tauladan bagi pembaca. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan tema-tema sastra yang diusung oleh Ayu Utami (Saman dan Larung) dan Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet) yang lebih “vulgar”, berani dan “terbuka”[2], maka genre sastra ini lebih halus dengan pemaknaan terhadap sastra yang demikian religius.

Dengan perkembangan yang sangat cepat, kehadiran novel dan cerpen yang bernafaskan Islam ini--selanjutnya penulis menggunakan istilah sastra islam--tak pernah berhenti dilahirkan oleh para penulis muda muslim.[3] Karya sastra islam seperti air yang mengalir deras, ribuan orang berjejal memborong buku-buku Islam di pameran. Semakin banyak sastra islam dihasilkan menandakan bahwasanya masa ini adalah masa kejayaan sastra islam, apalagi jika melihat segmen pasar di Indonesia yang mayoritas muslim memungkinkan masa keemasan ini akan lama bertahan.

Dengan melihat kondisi di atas dunia tulis menulis (sastra) tentunya bisa dijadikan sarana dakwah dengan berbagai kelebihannya yakni menjangkau audiens yang lebih luas dalam masa yang lebih panjang.[4] Dengan aksentuasi (titik berat) seimbangnya pemahaman akan agama dan pengetahuan mendalam tentang sastra harus dimiliki oleh para penulis. Peran ini pun telah dilakukan dan masih diperjuangkan oleh para pejuang tinta senior dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja Taufik Ismail dan Emha Ainun Najib.[5] Peran novel dan cerpen islam kini bukanlah menjadi bacaan semata melainkan sudah menjadi metode penyejuk hati.

Di dalam sastra genre ini terkandung message bimbingan rohani, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, dan pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan.yang mampu membantu individu (pembacanya) melihat persoalan kehidupan, lika-liku pergaulan yang kemudian diatasi secara islami oleh sang pengarang.[6] Bentuk dakwah--dalam hal ini cenderung pada metode Mau’idzah al-hasanah, tutur kata yang lembut sehingga akan terkesan di hati.[7]-- ini begitu pesat perkembangannya sehingga banyak bermunculan penulis-penulis muda potensial yang karyanya tidak dapat dianggap murahan atau tak berkualitas tetapi karya yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya, prilaku, dan tulisannya. Sehingga segalanya menjadi nilai ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Al-Karim Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Ahzaab (33: 70-71)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (70). Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (71)”.[8]

Dengan hadirnya sastra genre ini diharapkan mampu menjadi penyaring sajian-sajian tak mendidik dan merusak moral di media cetak dan media elektronik. Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama merumuskan beberapa cara menghadapi bahayanya moral diantaranya perlu adanya saringan atau seleksi terhadap kebudayaan selain itu pendidikan agama harus diintensifkan baik itu melalui pendidikan agama di rumah, sekolah atau pun lingkungan setempat melalui pengajaran atau buku-buku yang Islami.[9]

Seperti kita ketahui bersama bahwa kondisi moral bangsa sudah mengalami pergeseran, masyarakat sudah demikian patologis, kriminalitas di mana-mana, seks bebas menjalar, narkoba sudah menjadi kebiasaan muda-mudi, ditambah lagi budaya ketimuran yang mulai habis dikikis peradaban barat, menawarkan hedonisme dan konsumerisme. Tentunya persoalan ini banyak dialami oleh kaum muda yang demikian permissive akan sesuatu dan ini sangat berbahaya jika dakwah yang selama ini berkutat pada satu ragam wilayah harus diubah sesuai dengan minat dan kecendrungan remaja atas dasar kekinian.

Referensi bacaan yang selama ini menjadi konsumsi masyarakat tentunya jauh dari nilai-nilai religius—kecuali buku-buku agama dan motivasi. Sangat baik sekali apabila sastra menjadi salah satu “senjata” ampuh dalam deretan “senjata dakwah” lainnya.



[1] Budi P Hatees, “Sastra Religius dan Rimba Materialisme”, artikel diakses pada 3 April 2007 dari http://www.cybersastra.com

[2] Penulis-penulis generasi muda dijuluki Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) atau Fiksi Alat Kelamin (FAK) oleh sastrawan Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya. Reiny Dwinanda, “Kebebasan Berekspresi, Polemik Tanpa Akhir”, Republika, 22 Juli 2007, h.B10

[3] Ahmadun Yosi Herfanda menulis bahwa pada awalnya fenomena fiksi (sastra) islami terutama memang lahir dari upaya membangun ruang alternatif bagi penulis muslim yang meyakini bahwa menulis adalah bagian dari upaya penyebaran nilai-nilai Islam, namun selanjutnya bisnis fiksi islami ini dicium oleh kapitalis penerbitan. Lihat “Kapitalisasi Sistem Produksi Sastra Kota,” Majalah Sastra Horison, No.9 (September 2004): h 21-26

[4] Dian Yasmina Fajri, dkk., Buku Sakti Menulis Fiksi, (Jakarta: PT.Kimus Bina Tadzkia, 2004), h.III

[5] Dalam sajak-sajak Taufik, latar belakang agama menjadi sikap dalam menghadapi masalah. Kendatipun kebanyakan pengarang kita beragama Islam, namun mereka yang secara sadar menggali keyakinan agama Islam-nya sebagai permasalahan dalam karya-karya sastranya tidaklah banyak. Lihat Ajip Rosidi, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Cet.ke-2, h.57

[6] Menurut WS Rendra, sastra dan kesenian harus memberi arti kepada masyarakatnya. Penyair, seniman mempunyai fungsi “membimbing” atau memimpin perubahan masyarakat. Lihat Sutan Takdir Alisjahbana, Seni dan Sastera di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), Cet.Ke-1, h.119

[7] Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), h.122

[8] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI, penerbit PT.Syaamil Cipta Media, h.427

[9] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan-Bintang, 2005), Cet.Ke-17, h.155

DASAR PEMIKIRAN


Punya Piza

Dewasa ini berbagai kejadian sering menimpa Indonesia, mulai dari bencana alam, kecelakaan transportasi, hingga hilangnya jiwa manusia karena endemi flu burung. Di bidang ekonomi, tampaknya setali tiga uang. Walaupun pemerintah menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia beranjak naik. Namun pada sisi realita, terjadi pemutar balikan fakta. Ini ditandai dengan harga bahan pokok yang terus merangkak tinggi, pengangguran yang bertambah besar, harga minyak yang berjalan kencang menuju ketidak wajaran, serta banyak lagi yang berujung kepada daya beli masyarakat yang rendah dan pendapatan perkapita yang jauh dari kelayakan.

Pemandangan itu ternyata bukan monopoli dari carut marutnya kehidupan ini. Ternyata ada banyak kasus-kasus lain yang beredar. Secara khusus Kasus-kasus bernuansa psikologis, dengan gejala akhir-akhir ini yang makin variatif saja bentuknya. Kita ambil bukti dengan banyaknya kekerasan dalam rumah tangga yang berkorelasi positif kepada perceraian. Selain itu, benang merahnya dapat disambungkan kepada tingkah laku sang anak yang menjadi suram. Kelanjutan dalam hal ini ialah keinginan melepas tegangan di keluarga dengan mencoba bentuk pengalaman baru yang meleset dari koridor normatif.

Atribut baru yang semakin menjamur lagi ialah fenomena menganggap hal kecil menjadi besar. Kini, kejadian tawuran bukan lagi semata menjadi posesifitas kaum remaja. Antar wargapun seakan memperkuat tesis tersebut. Penyebabnya beragam, dari sekedar saling ejek, memperebutkan gadis desa hingga permasalahan perbatasan. Hal ini diperparah dengan wakil rakyat kita yang ternyata tidak memberikan contoh bijak dalam menyelesaikan perdebatan. Tidak sungkan mereka menarikan tarian perkelahian di karpet agung gedung dewan. Dua instansi keamanan terbesar di negeri inipun juga enggan untuk melakukan resolusi konflik dengan cara yang populis. Ini bisa menjadi salah satu sebab yang merakit lumpur hitam kekerasan fisik di negeri ini yang kental dengan budaya meniru atasan.

Kereta laju teknologi pantas untuk nimbrung dari pusaran globalisasi ini. Wacana teknologi yang membuat kenyamanan di bumi, menyebabkan berbagai cara dilakukan untuk menyeimbangkan kekuatan psikis yang dimiliki setiap insan. Demi mengejar kesempurnaan tubuh, banyak dari kita mengisi ruang-ruang impian dengan mengorbankan relung-relung sendi vital, seperti harta, norma, kepentingan publik dan lainnya. Model lain, dengan teknologi “memotivasi diri” agar percaya diri untuk menjadi kesatuan dari permissive society. Sensitive showing record kitapun halal di ekspos ke media yang kemudian dimakan oleh anak-anak kita.

Anak? Rasanya ikut bermain disini. Si cabe rawit juga manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan. Anak memiliki kecenderungan meniru sesuatu yang dianggapnya menarik. Ironisnya anak belum fasih untuk menentukan hitam putih moral terhadap apa yang dialaminya. Gejala banyaknya kasus bunuh diri di kalangan anak atau remaja adalah gambaran dari labilnya mental dalam menghadapi suatu tekanan

Sedari dinipun mereka lebih senang mempunyai teman bernama TV dengan dukungan orang tua mereka yang memperkenalkan temannya tersebut. Dengan pola pikir serta fisik yang sudah terserap di aktivitasnya sehari-hari, akhirnya orang tua mengambil jalan pintas dengan menaruh ”teman baru” tersebut di kamar buah hati.

Anak-anak yang menginjak remaja juga diseret agar mementaskan dagelan kebudayaan. Dagelan yang memakai nama seremoni bangsa seperti gelaran 17 Agustusan. Yang berkapasitas nilai-nilai hedonistik seperti berjoget, memasukkan ini ke situ, menangkap ini, yang terkesan tidak sarat dengan unsur filofofis atau berorientasi kognitif. Jauh tentu, kalau kita sandingkan dengan Jepang atau China, yang menyelenggarakan lomba merakit komputer, membuat tulisan serta membetulkan sepeda. Selain itupun sekolah juga sulit menjawab pertanyaan quo vadis secara visioner. Teringatkah kita saat sekolah ada suatu pertanyaan unik yang sering menjadi kenangan, misalkan adik mau jadi apa kalau sudah besar? dengan polos kita menjawab ingin jadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Padahal jawaban itu justru mengajarkan untuk mengimpikan hal yang tidak konkret. Esksesnya dapat dirasakan ketika mereka menghadapi pendiidikan lanjutan, seperti di Perguruan tinggi. Mereka tidak memiliki strategi menuju impiannya dan kalah bersaing dengan teman-temannya.

Kambing hitam dari banyaknya permasalahan ini memang banyak kalau dicari, politik, ekonomi, pendidikan atau segalanya bisa menjadi pijakan. Pun dengan peran dari salah seorang. Namun kita berkeyakinan ada lingkup yang kebih dalam untuk memahami rangkuman itu. Bahwa manusia menggunakan segenap potensi dirinya untuk menanggapi stimulus yang ada. Dalam arti ranah afeksi, kognisi, psikomotorik dan konasi berperan besar dalam kasus ini. Akan tetapi secara spesifik kita menggunakan pendekatan Bimbingan dan Konseling (BK).

Hal ini sekaligus untuk melakukan pengembangan kepada Bimbingan dan Konseling Itu sendiri. Berpuluh tahun kata konseling dijadikan wacana dari pertalian antara dua orang yang saling berbincang untuk menemukan suatu solusi. Sejak puluhan itu pula BK telah menjadi keilmuan mandiri, yang dibuktikan dengan munculnya jurusan-jurusan yang BK baik di barat, pun di Indonesia. Akan tetapi sbenarnya persepsi ini keliru. Ini disebabkan pada orisinalitas BK yang sebenarnya berlingkup luas bukan terbatas pada dua individu. Selain itu termin agama justru harus didekati bukan diasingkan dalam derasan alirannya yang kini menyirami keindahan dunia. ketika peradaban global gagal mencerahkan kehidupan substansif manusia, Bimbingan dan Konseling Islami justru menjadi wilayah yang diharapkan karena ia mengambil peran psikologis yang menjadi penghangat emosional di antara sesama manusia dengan latar belakang yang berbeda.

Dalam perkembangannya juga, Danah Zohar pernah mengagetkan publik, dengan memasukkan unsur spiritual sebagai satu unsur kecerdasan manusia. Hal itu ternyata lebih dahulu dilakukan PBB dengan masuknya kriteria spiritual oleh WHO dalam melihat standar sehat bagi manusia. Klausul ini berelevansi kepada apa yang dirasakan selama ini. kita mungkin tak mengira jika pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya, karena hanya semata-mata meninggalkan Tuhan.

Kita juga tidak mengira jika Lynn Wilcox, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi, justru tidak sepaham jika Agama dilihat dari sisi keras yang pernah dilakoni pendahulu kita, karena beliau menganggap cerita dalam kitab-kitab suci memiliki makna lebih dari sekadar sejarah dan peperangan. Baginya, setiap cerita memiliki makna pribadi, yang harus ditemukan di dalam hati melalui pengungkapan. Kitab-kitab suci tersebut merupakan isi cerita tentang kehidupan kita sendiri.

Spiritualitas dalam hal ini wilayah keagamaan, sebenarnya mempunyai sisi terang yang memberi awan manis dalam kegelapan peradaban saat ini. Adapaun terjadi pemojokkan negasi dari agama, karena manusia telah hilang arah dalam mengerti esensi agama.kita alpa dalam menafsirkan world view Islam yang telah memajukan bangsa-bangsa.

Dari hasil diskusi dengan beberapa tokoh bangsa dan pemerintah. Akhirnya kami mempunyai keinginan yang tepat untuk mendirikan suatu lembaga yang dapat berperan dalam peningkatan kualitas bangsa. Lembaga ini kami beri nama The Humanity Truth. Sebab kami yakin bahwa manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik, karena pada dasarnya setiap kita telah diberikan fitrah dari keagungan Allah SWT. Akan tetapi, kita tidak menyadarinya.

Dengan berbekal para profesional muda yang terus mencari pengalaman. Kita mencoba memberikan ruang untuk fokus mencegah, menangani dan membangun bangsa ini. Dengan terbukanya kesempatan, kita harapkan untuk dapat berperan positif dengan suatu intervensi tepat sasaran.

18 February 2008

Jawaban terhadap tulisan Seksualitas Sigmund Freud: Meragukan Epistemologi Pizaro oleh Alika Baldan dari UGM


Oleh: Pizaro

Mahasiwa BPI UIN Jakarta

Pertama saya ucapkan terimakasih atas tanggapan anda terhadap tulisan saya yang beberapa waktu lalu dimuat. Dan saya minta maaf karena baru dibalas saat ini, karena ada kesibukan satu dan lain hal. Menurut saya, anda tidak perlu memakai nama sang adik untuk mengkritik, It’s OK santai saja.

Pertama yang harus diketahui adalah antara dikotomisasi epistemologi yang dilakukan ulama klasik dengan Freud. Di satu sisi kritik anda dalam hal ini bisa jadi benar, jika keduanya dilakukan pada tataran subyektif. Namun yang menjadi pembeda adalah ketika psikologi Islami dan ulama klasik yang concern terhadap psikologi tidak semata-mata disandarkan atas pendapat pribadi, namun dilandaskan prinsip keislaman. Secara spesisfik ialah dikembalikan kepada Allah. Tentu ini beda dengan Freud, yang menyisihkan konten transendental. Ini dinamakan problem epistemologis.

Kedua, tampaknya banyak persepsi keliru ketika unsur ketuhanan atau subyektif dibilang tidak ilmiah. Perlu digarisbwahi bahwa pendapat ini juga tidak didasari oleh pendapat obyektif. Namun saya tidak mau berdebat panjang lebar dalam hal ini, karena akan keluar dari konten yang sekarang didiskusikan. Saya hanya ingin anda melihat pendapat Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London pada tahun 1983 di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:


”Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi. Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”[1]

Nah saya hanya ingin menyatakan, apakah ucapan Alexander ini subyektif atau objektif? Menurut Kartanagara, unsur subyektifitas akan selalu berkait dalam penjelasan sebuah teori ilmiah. Sebagai contohnya, bahwa tidak mungkin dapat mengukur kecepatan sebuah kelereng yang menggelinding di atas laju kereta, tanpa menentukan posisi si subjek dari mana kecepatan kelereng tersebut harus diukur. Akan tetapi, jika kita mengukurnya di ruang angkasa, kita pasti harus memperhitungkan kecepatan rotasi bumi, selain kecepatan kelereng dan laju kereta, dan seterusnya.[2]

Dalam sebuah kesempatan sahabat Abu Dzar a-Ghifffari r.a pernah bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama dengan Rasulullah S.a.w. Di antara isi percakapan tersebut adalah wasiat beliau kepadanya. Berikut petikannya ;

Aku berkata kepada Nabi S.a.w, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan." "Ya Rasulullah, tambahkanlah." pintaku.

"Hendaklah engkau senantiasa membaca al-Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan simpananmu dilangit."
"Ya Rasulullah, tambahkanlah." kataku.
"Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah."
"Lagi ya Rasulullah."
"Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku."
"Lagi ya Rasulullah."
"Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka."
"Tambahilah lagi."
"Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya."
"Tambahlah lagi untukku."
"Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)."

Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya."

Menurut hemat saya, spirit seperti hadis di ataslah yang hadir dalam psikologi Islami, dan ini membawa manfaat kepada bagi kaum Muslim. di amna peran akal akhirnya kembali kepada worldview Islam

Ketiga, masalah aksiologis. Di manapun peradaban Islam tidak membawa keburukan bagi kaum lainnya dan kaum Muslim sendiri. Ini berbeda bagi Freud yang malah membawa mudharat bagi kaum Muslim dan orang barat sendiri.

“Masih banyak saran dan intepretasi yang lebih serius, beberapa di antaranya secara seksual tidak bermoral, yang diberikan pada pasien-pasien yang telah dewasa oleh beberapa psikoterapis muslim. Hal ini diberikan melalui pengaruh teori Freud, seperti tentang kekuatan dan energi seksual yang tidak disadari, kompleks-kompleks yang tidak terselesaikan, represi dan istilah-istilah lain yang senada. Para terapis ini memperbesar rasa bersalah dan penderitaan pasien-pasiennya dengan cara meningkatkan keraguan-keraguan pasien akan kebenaran Islam sebagai alat memecahkan masalah. Jika Islam melarang berzina, dan seorang dokter yang mengetahui ilmu Eropa, kemudian mengatakan bahwa jika tidak melakukan itu seseorang akan mengalami gangguan psikologis, maka salah satu dari itu ada yang salah.” [3]

Selanjutnya, Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times dan penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban barat, dan baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis ketimbang model-model alternatif yang dikembangkan para psikolog di luar universitas (dalam hal ini adalah pandangan psikologi transpersonal).[4]

Elmira menulis bahwa eksplanasi Freud tentang bentuk psikopatologis perilaku manusia yang bersumber dari kekuatan libido, menunjukkan penjelasan yang dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah positif, tetapi malah mengarahkan penyimpangan perilaku dalam upaya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan seksual. Manusia dalam ketidakberdayaan melawan libido yang digambarkan Freud, menjadi wujud makhluk yang begitu pesimis bahwa ia dapat keluar dari belenggu impulsnya. Seolah-olah tidak ada potensi, misalnya, berupa akal, kata hati, nurani, dan keyakinan akan dukungan supranatural berupa iman dan takwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan han yang instingtif.[5]

Ketiga, masalah batasan kritik terhadap psikoanalisis. Sutrisno Hadi menulis dalam postulat reliabilitas pemikiran bahwa orang-orang yang paling cerdaspun tidak pernah selamanya kebal dari kesalahan-kesalahan menganalisa dan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Pertama-tama mungkin dia menggunakan premis-premis yang salah. Selanjutnya mungkin dia tidak mengikuti secara tertib dasar-dasar logika formal, atau juga terlalu dipengaruhi keinginannya.[6] Adalah konyol jika batasan kritis yang ditentukan justru dalam sudut bentuk, bukan substansi. Bahkan dalam dunia memasak, kritikus yang hanya bermodalkan lidah saja akan diakui jika kritiknya konstruktif.

Pertanyaannya justru harus diarahkan, bagaimana membuat sebuah kritik yang ilmiah? Saya teringat ucapan Gunar Myrdal bahwa keterbukaan adalah kata kunci dalam sebuah diskusi kritis.

Keempat, menurut hemat saya, permasalahannya bukan pada seberapa kuatkah usaha yang dilakukan Freud. Karena jika worldview-nya telah keliru, maka akan keliru pula pengejewantahan dari worldview yang dipakainya, seberapapun ia kuat dan menghabiskan banyak waktu. Karena kita berdiskusi tentang epistemologi.

Dalam psikologi Islami, worldview yang dipakai konsep Islam, dalam artian adalah Al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan Freud lebih menitikberatkan pada kosnep materialisme Darwin, yang itupun ternyata mendapat blacklist dari kaum muslim dengan tema besarnya survival for the fittest. Akhrinya kita bisa meihat bahwa filsafat materialisme itu melahirkan apa yang disebut prinsip kesenangan sebagai jatidiri manusia dalam psikoanalisis.



[1] Chandra, “Surat Untuk Atheis,” artikel diakses tanggal 9 Januari 2008 dari http://swaramuslim.net/more.php?id=A437_0_1_0_M.

[2] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 158.

[3] Malik Badri, Dilema Psikolog Muslim. Penerjemah Siti Zaenab (Jakarta: IKAPI, 1986), h. 38. Buku ini menjadi semacam inspirasi bagi para psikolog muslim di Indonesia, seperti Hana Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, dan lain-lain.

[4] Chandra, “Surat Untuk Atheis”

[5] Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami: Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 107-108.

[6] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1982) Cet. ke-12, h. 36.

16 February 2008

BILA SEORANG WANITA JATUH CINTA

Oleh: Ana Lustiyowati
Mahasiwa BPI UIN SGD Bandung
Dept. Jaringan Luar FKM BPI/BKI Se Indonesia

Wanita...
Itulah sebutan bagi kami
An-Nisa...
Begitulah Alloh menyebut kami di surat cinta-Nya
Ya...kami adalah wanita...
Kami diciptakan sebagai mitra kaum pria
Untuk dicinta bukan untuk dihina
Untuk dihargai bukan untuk dicaci
Untuk dimengerti bukan untuk disakiti
Itulah kami...
Bila kami jatuh cinta...
Cinta kami seperti gelombang
Tak seorangpun bisa menerka dengan pasti ukuran sebuah gelombang
Gelombang seolah tak berbatas
Kadang ia rendah, terjaga, begitu indah
Tapi terkadang ia juga tinggi, tinggi sekali seperti tsunami
Yang apapun siap diterjangnya
Itulah cinta kami
Seperti gelombang
Cinta kami berbeda dengan cinta kaum pria
Cinta pria seperti karet gelang
Ia nampak panjang tak bertepi
Tapi siapapun tahu regangan karet bisa diketahui batasannya
Pada umumnya cinta pria dipenuhi logika
Sedangkan wanita terkadang hampir minim logika
Perasaan sering mendominasinya
Bila kami jatuh cinta...
Tak ada seorangpun yang bisa menerka seberapa ukurannya
Bahkan diri kami sendiri
Ada yang mengatakan kami tercipta dari tulang rusuk pria
Ia bengkok dan rapuh
Dekat ke tangan untuk dilindungi, dekat di hati untuk disayangi
Bila kami salah bantulah kami dengan meluruskan dari hati
Bila kami berusaha menjaga diri bantulah kami dengan Menghormati

Tulisan ini diilhami dari buku John Gray yg berjudul Men are from Mars, Women are from Venus dan diskusi penulis bersama aktivis perempuan...
Ditujukan untuk wanita yg ingin lebih jauh mengenal dirinya saat jatuh cinta, dan pria yang ingin belajar memahami karakter mitranya...semoga bermanfaat.


11 February 2008

SPIRITUALITAS CINTA MANUSIA

Oleh: Pizaro

Karena cinta, duri menjadi mawar

Karena cinta, cuka menjadi anggur segar.

Karena cinta, pentungan menjadi mahkota penawar.

Karena cinta, kemalangan menjelma keberuntungan.

Karena cinta, rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar.

Karena cinta, tumpukan debu tampak sebagai taman.

Karena cinta, api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan.

Karena cinta, setan berubah menjadi bidadari.

Karena cinta, batu yang keras menjadi lembut bagai mentega.

Karena cinta, duka menjadi riang gembira.

Karena cinta, hantu berubah menjadi malaikat.

Karena cinta, singa tak menakutkan seperti tikus.

Karena cinta, sakit jadi sehat.

Karena cinta, amarah berubah menjadi keramahtamahan.

(Jalaluddin Rumi)

Oh Rumi tunjukkan padaku, cinta apa itu?

Ternyata cinta tidak hanya terbelit pada dinamika sesama manusia. Cinta tidak melulu dinisbahkan pada pertalian pop antara pria dan wanita. Keagungan cinta mencoba menghadirkan pandangan baru memandang keagungan seisi alam. Karena cinta adalah beyond of love. Cinta itu melampui makna cinta itu sendiri. Namun cinta apakah yang seperti itu?

Bagi Gede Pramana, ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah makna cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan (power). Mari kita renungi perjalanan cinta kita masing-masing. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya. Seolah-olah disuruh memindahkan gunung-pun rasanya bisa. Menempuh jarak Padang-Jakarta pun it’s OK dikerjakan. Hampir tidak ada penugasan dari lawan jenis yang kita cintai yang tidak bisa diselesaikan. Mulut ini seperti dengan cepatnya berteriak : bisa ! Demi si dia? So what gitu lho?

Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love seperti disitir Gede Pramana, menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.[1]

Kaum agamawan nan bijaksana menggunakan kekuatan terakhir sebagai sarana untuk bertemu Tuhan. Usahawan yang berhasil menggunakan tenaga maha besar ini untuk menekuni seluruh pekerjaannya. Ibu yang mencintai keluarganya mengabdikan seluruh tenaganya untuk mencintai anak dan suaminya. Pekerja yang menyadari kekuatan ini menggunakannya untuk bekerja mencari harta di jalan-jalan cinta. Seorang mahasiswa yang sangat menyayangi ilmunya hingga berapapun uang ia habiskan sekedar membeli buku. Banyak orang yang dijemput keajaiban karena kemampuan untuk membangkitkan tenaga maha dahsyat ini.

Kita bisa bayangkan, tentara Inggris yang demikian perkasa harus pergi dari India karena kekuatan cinta Mahatma Gandhi beserta pejuang lainnya. Negeri ini dideklarasikan secara amat gagah berani melalui duet cinta Sukarno-Hatta. Demokrasi Amerika berutang amat banyak pada cinta George Washington. Raksasa elektronika Matsushita Electric dibangun di atas tiang-tiang cinta Konosuke Matsushita. Microsoft sampai sekarang masih dipangku oleh kecintaan manusia luar biasa yang bernama Bill Gates. Sulit membayangkan bagaimana seorang Jenderal besar Sudirman bisa memimpin pasukan melawan Belanda dengan badan yang sakit-sakitan, kalau tanpa modal cinta yang mengagumkan. Wanita perkasa dengan nama Kartini mengambil resiko yang demikian tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya, apa lagi yang ada di baliknya kalau bukan kekuatan-kekuatan cinta.

Boleh saja Anda menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi Gede Pramana setuju dengan Deepak Chopra yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis, “…merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality…”. Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.[2] Aduh kayak Muhammad Iqbal saja, ketika mengatakan Ego Tertinggi adalah Tuhan yang menghasilkan keindahan estetik.[3] Kita melihat Indah karena memang Objek yang kita pandang itu indah. Karena indah bukan lahir dari penghayatan subjektif, tapi realita objektif.

Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan Diri yang sejati. Ada yang menyebut Diri sejati terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika Anda menemukannya, kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya: ahhhhh ! Serupa dengan pengalaman jatuh cinta para mahasiwa saat ini, di mana semua unsur kognisi, afeksi, konasi, dan psikomotorik sedemikian kuat dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta sebagai kejadian spiritual. Ia mendamaikan, menggembirakan, mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan, bawahan. Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang menyentuh kalbu. Anda tertarik ?


Cinta di Psikologi Islami

Cinta adalah bahasa fitrah manusia. Namun apa jadinya jika kesucian cinta dipasrahkan kepada libido yang mengikat kepada kotoran yang berat? Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa spiritualitas yang ditekan oleh cinta hanya memperosok manusia jauh ke jurang yang lebih dalam. Oleh karenanya cinta dan syirik adalah dua hal yang inheren. Al-Jauzi kemudian teringat bahwa Allah Swt. mengisahkan cinta orang-orang musyrik pada kaum Nabi Luth, dan permaisuri Mesir yang ketika itu masih berstatus musyrik. Semakin besar kesyirikan seseorang, maka ia diuji dengan cinta gambar-gambar dan sebaliknya semakin kuat tauhid seseorang, maka ia dipalingkan dari kenistaan kelam tersebut. Selanjutnya al-Jauzi menyatakan bahwa zina dan homoseksual akan mengeliminir hati manusia, walaupun orang itu pada dasarnya baik-baik saja.[4]

Abdul Mujib menyayangkan jika manusia hanya membelit ekslusif cinta dalam koridor birahi. Dalam psikokogi Islami, seperti dikatakan Mujib, cinta merupakan aktivitas kalbu manusia yang naturnya cenderung kepada rohani (suci, baik, dan positif). Cinta merupakan manifestasi dari sifat Al-Rahman, Al-Rahim, Al-Wadud Allah Swt.[5] Jika skema kalbu menjadi kuat dan energi nafsu melemah, cinta yang seksis itu berubah menjadi cinta ilahiah, satu cinta universal dan tidak banyak menuntut karena disinari oleh ruh ketuhanan. Aktualisasinya adalah pesaudaraan (ukhuwah), saling menyayangi (tarahum), saling tolong menolong (ta’awun), saling toleransi (tasamuh), saling menanggung (takaful), yang semuanya didorong oleh perintah illahi.[6]



[1] Gede Pramana, “Cinta sebagai kejadian spiritual,” dalam Muslim Iqro Club Multimedia, Materi Kajian Islam 2.

[2] Ibid.

[3] A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 303-304.

[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Keajaiban Hati. Penerjemah Fadhli Bahri, Lc (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h. 103.

[5] Abdul Mujib, Risalah Cinta: Meletakkan Puja pada Puji (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), Cet. ke-2, h. 68.

[6] Ibid., 68-69.

EVERYTHING ABOUT LOVE[1].

Oleh: Pizaro

Apa itu Cinta?

Suatu kali dalam launching film Love, Irwansyah mengatakan bahwa cinta adalah pengorbanan. Bahkan kemudian Laudya Chinta Bella yang juga berakting dalam film itu, mendefenisikan cinta sebagai ketulusan. Wah mereka berdua suruh belajar psikologi dulu deh. Kenapa yah arti cinta selalu dianalogikan, bukan diuraikan. Apa benar kata Vinny Alvionita jika ungkapan klise mereka seperti itu karena cinta adalah misteri yang sulit didefinisikan? Kayaknya enggak juga deh.

Dalam psikologi kita mengenal beberapa elemen psikis seperi konasi (kemauan), kognisi (pikiran), psikomotorik (fisik), dan emosi (perasaan). Dalam perkembangannya emosi dinyatakan salahsatunya dalam bentuk cinta. Ashley Montagu memandang cinta sebagai sebuah perasaan memperhatikan, menyayangi, dan menyukai secara mendalam yang biasanya disertai dengan rasa rindu dan hasrat terhadap objek.

Sedangkan Abraham Maslow melihat cinta sebagai proses aktualisasi diri yang bsia membuat orang melahirkan tindakan--tindakan produktif dan kreatif. Dengan cinta seseorang menyadari bahwa dirinya akan mendapatkan kebahagiaan bila mampu membahagiakan orang yang dicintainya.

Psikologi Cinta

Untuk lebih jelasnya, Erich Fromm, psikolog dari Jerman (1900-1980), pernah mengajukan pemikirannya tentang cinta. Seperti dikutip Eko Harianto, Fromm menelisik konsep cinta yang sejati menjadi 4 unsur:

1. Care. Diperlukan agar dapat memahami kehidupan, perkembangan yang maju atau mundur, baik atau buruk, dan bagaimana kesejahteraan orang yang mencintainya.

2. Responsibility. Tanggung jawab diperlukan atas kemajuan, keberkembangan dan kebahagiaan, dan kesejahteraan orang yang dicintai. Maksudnya bagaimana kesiapan diri untuk menanggapi kebutuhan yang diperlukan dan juga bagaimana kesiapan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang muncul.

3. Respect. Hal ini menekankan pada bagaimana menghargai dan menerima objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati.

4. Knowledge. Pengetahuan diperlukan guna mengetahui seluk beluk objek yang dicintai. Bila objek yang dicintai manusia, maka harus dapat memahami kepribadiannya, latar belakang yang membentuknya, dan kecendrungan dirinya. Dan yang perlu dipahami lagi bahwa kepribadian seseorang itu terus berkembang.[2]

Bagi Fromm, setiap manusia memang didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologi dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Namun orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang sehat secara kreatif dan produktif.[3]

Persepsi cinta juga ditawarkan J. Sternberg lewat triangular of love. Menurutnya cinta adalah sebuah kisah yang ditulis setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaaan seseorang terhadap suatu hubungan.

Konsep cinta menurut Sternberg memiliki tiga unsur:

1. Yakni gairah, elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual.

2. Kedua, keintiman, yang merupakan elemen motivasi, dan di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan untuk membina hubungan.

3. Ketiga, komitmen yang merupakan elemen kognitif berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan sesuatu kehidupan bersama.

Sternberg menyimpulakn bahwa kadar cinta dalam setiap individu sangat berbeda. Ada yang hanya kuat di gairah, tapi sungkan dalam berkomitmen. Atau ketika keintiman meninggi, namun tidak mempunyai lemen kegairahan, just as friend. Karenanya Strenberg mengurai komponen-komponen itu agar kita dapat melihat seperti apa karakter percintaan umat manusia.

Tipe

Komponen yang hadir

Deskripsi

Non Love

Ketiga Komponen tidak ada

Terjadi pada hubungan antar pribadi yang semata-mata hanyalah pertemanan biasa.

Liking

Hanya Keintiman

Ada rasa kedekatan, saling Pengertian, dukungan emosional. Ini terjadi pada hubungan persahabatan.

Infatuation

Hanya Gairah

Layaknya cinta pd pandangan pertama. Hanya tertarik pd fisik semata. Biasanya mudah hilang.

Empty Love

Hanya Komitmen

Terjadi pd pasangan yg telah menikah dalam waktu panjang. Mereka sudah kehilangan gairah fisik dan emosional

Romantic Love

Keintiman dan gairah

Relasi yg melibatkan gairah fisik maupun emosi yg kuat, tanpa ada komitmen. Contohnya pacaran atau HTS.

Companionate Love

Keintiman dan Komitmen

Hubungan jangka panjang yg tidak melibatkan unsur seksual, termasuk persahabatan. Contohnya perkumpulan orang-orang tua.

Fatous Love

Gairah dan Komitmen

Hubungan dengan perjanjian tertentu atas dasar gairah saja. Seperti kawin kontrak.

Consummate Love

Semua Komponen

Cinta yg sempurna dan ideal.

Candu akan Cinta: What’s wrong about Love?

Dalam sudut psikologis adalah wajar bagi manusia mengembangkan rasa cintanya. Namun yang menjadi mengkhawatirkan ialah bagaimana setiap individu mengalami gejolak rasa cemas, gelisah, khawatir hanya karena cinta. Dan bahkan selalu menyisihkan waktunya everything about love. Tanda-tandanya mungkin sebagai berikut.

· Adanya pikiran obsesif misalkan terus menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus menerus takut ditinggalkan, sehingga kemanapun selalu mengikuti.

· Selalu meminta diperhatikan dalam setiap waktu.

· Manipulatif, menghalalkan berbagai cara agar pasangan mengikuti kehendaknya.

· Selalu bergantung pada pasangan dalam segala hal, seperti pendapat, mengambil keputusan dan lainnya.

· Menuntut waktu, perhatian, dan pengabdian yang total dari pasangan /kekasih. Menjadi semakin egosentris.

· Menggunakan seks sebagai alat untuk mengendalikan psangan.

· Menganggap seks adalah bagian dari cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta.

· Tidak bisa memutuskan hubungan walaupun sangat tersiksa, karena selalu diiming-imingi janji-janji surga kekasih.

· Kehilangan hal terpenting dalam hidup, seperti mengekspresikan jatidiri sendiri, tersendat dalam pendidikan, diskusi jadi sulit, pekerjaan terbengkalai etc.

Refleksi Cinta

Seseorang yg menjadi candu akan cinta, memperlihatkan ketidakmatangan secara psikologis. Secara spesifik ini terlihat belum mampunya individu menyelesaikan konflik internal dalam diri yang seharusnya dapat diselesaikan bila ingin meraih kesempurnaan cinta ala Sternberg. Karena itu penting yang disebut sense of our identity, di mana semaksimal mungkin kita tahu pertanyaan-pertanyaan dari:

Siapakah aku?

Punya apakah aku?

Dan Apa yang aku bisa?[4].

Setelah itu kita dapat, adalah keharusan untuk mengembangkan self of our awareness (Rasa Kesadaran) dengan berprinsip mandiri dahulu untuk menghadapi masalah.

Bagaimana pada dasarnya hubungan cinta yg telah dilaksanakan mempunyai kewajiban untuk dapat memajukan kualitas masing-masing dalam berbagai segi positif. Kita tentu akan heran ketika gaya cinta yg selalu menekankan pada faedah gairah selalu dinomorsatukan. Adalah baik jika hubungan pasangan berlalu dengan senantiasa membantu agar si objek cinta mengerti akan arti kehidupan yang lebih agung lagi. Karenanya, kita juga akan “aneh” bukan? Bila ada pasangan berbarengan duduk manis dalam seminar, yang satu jadi moderator dan yang pasangannya sibuk memfoto, bersama-sama menangani proyek sosial, saling bertukar karya-karya sastra, “debat” tak kunjung usai tentang keilmuan masing-masing.

Selain itu, kita semestinya berhati besar untuk menafsirkan cinta dalam sudut pandang yang luas. Alfred Adler pernah mendelegasikan bahwa dalam setiap individu mempunyai diri keratif, yang cenderung hanya ada pada orang tersebut. Seorang aktivis mungkin menafsirkan cintanya kepada berbagai hal untuk mengembangkan organisasinya. Seorang Frankl menafsirkan Cinta lewat 10 perintah Tuhan. Seorang bookworms menganggap buku adalah pacar sejatinya. Sedangkan, musisi lebih suka melampiaskan “keintimannya” pada sebuah gitar. Apakah juga kita harus menafsirkan cinta layaknya Fromm? yang menganggap Cinta adalah sisi produktifitas yang akan melahirkan keratifitas. Hanya diri kreatif kita yang bisa menjawab.



[1] Diskusi Kamisan FKM BPI/BKI Se-Indonesia bekerja sama dengan mahasiswa angakatan 2007 BPI UIN Jakarta.

[2] Eko Harianto, Psikologi Cinta Sejati (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2004), h. 35-36.

[3] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, cet. 14 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 66. Cinta di sini juga bisa disebut cinta produktif. Baginya cinta produktif bisa menjawab gejolak masyarakat modern, salah satu kareteristiknya adalah kreatifitas, khususnya aritistik. Hal ini juga menjadi pemandangan serupa dari konsep sublimasi Freud. Konsep ini setidaknya telah berekspansi ke ranah yang lebih sosiologis, walau Fromm pada mulanya bersifat psikologis dan filosofis.

Pikiran-pikiran Fromm tentang masyarakat modern sedikit banyak diulas oleh Khoirul Rosyidi. Lebih jelas lihat Khoirul Rosyadi, Cinta dan Keterasingan (Yogyakarta: LKiS, 2000). Selain Freud dan Fromm gagasan sosial dari kerangka psikologis, terangkum juga oleh Adler dengan skema hasrat sosialnya. Di mana manusia tergerak oleh dimensi sosial di mana ia hidup. Menariknya mereka semua bagian dari mazhab psikodinamika. Dengan ini kita dapat melihat gambaran pribadi seimbang dalam konteks psikodinamika. Ulasan dimensi sosial Adler dalam Pizaro, “Dinamika Jiwa-jiwa Revolusioner,” artikel diakses pada tanggal 3 Desember 2007 dari http//:www.bpi-forum.blogspot.com/2007/12/dinamika-jiwa-jiwa-revolusioner.html

[4] Lihat pembahasan Resiliensi pada Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 227-232.