27 May 2008

PERTEMUAN PERTAMA

Ati Mujizati
Mahasiswi BPI IAIN WALI SONGO Semarang

Ketika aku memejamkan mata
Kau tampil dalam sorotan nuraniku
Muncul membawa sebuah kisah
Yang tiada berujung1000 tahun
kau selalu menemuikuMenungguku,
bahkan membuatku tersenyum
Memberikan jawaban
Yang melantun di seluruh jiwaku
Desir suaramu yang memberikan keceriaan
Tatapanmu yang membuatku percaya
Kau selalu ada menantikuNamun,
Kali ini angin mulai berdesir kencang,
Tatapku perlahan pudar
Aku mulai kehilangan ragamu
Melepaskan genggamanku
Dan yang kulihat hanyalah kekecewaan
Hatiku tergetarSemangatku mulai menggelora
Jarak dalam dunia maya
Alam mimpi yang mempertemukan kita
Kuterobos hanya untukmu
Meraih genggaman tanganmu
Yang seolah menyalurkan
Perasaan letihmu menungguku selama ini
Selamanya akan kukenang
Akan kukenang selaluDalam kasihku
Sebagai pertemuan pertama kita
Yang membuat pilu dan tenang
Bercampur aduk menjadi satu
-Pertemuan Pertama-
Ketika aku memejamkan mata
Kau tampil dalam sorotan nuraniku
Muncul membawa sebuah kisah
Yang tiada berujung1000 tahun kau selalu menemuiku
Menungguku, bahkan membuatku tersenyum
Memberikan jawabanYang melantun di seluruh jiwaku
Desir suaramu yang memberikan keceriaan
Tatapanmu yang membuatku percaya.

12 May 2008

EMOTIF RASIONAL ALA AA GYM


Pizaro

Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa

Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Bimbingan dan Konseling Islam Se Indonesia

Manusia harus sadar bahwa hidup adalah sebagaimana yang mereka alami, tidak ada yang aneh. Kita akan sering menghadapi hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan kita

Keterampilan untuk realistis menghadapi kenyataan harus kita miliki. Kita sebaiknya selalu berusaha mempersiapkan hati agar mampu menerima kenyataan bahwa: “Ini adalah episode yang sekarang harus saya hadapi.”

Rasa cemas, khawatir takut, tegang dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat. Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu perasaan-perasaan ini. Jika anda tidak mau menjadi ahli stress dan ingin menikmati hidup. Maka anda harus mencari jalan keluarnya. Insya Allah uraian yang sederhana dalam buku ini akan memebantu anda.

Tiga kalimat di atas saya temukan di sebuah buku kecil dari seri manajemen qolbu. Namun dari sekedar buku kecil itu saya sadar bahwa hati adalah sumber yang sensitif, peka, dan teramat halus jika terkena sinar kecemasan.

Hati yang cemas membuat kita berpikir teramat jauh, melampaui kapasitas diri dan memaksa manusia jatuh dalam riak rimbun pikiran negatif tentang dirinya. Kita tidak mau menikmati hidup, senang sekali menghujat diri kita, hidup dalam kecemasan, dan mempersilahkan hati yang cemas untuk menyenangkan diri sendiri dalam ketakutan. Namun sadarkah bahwa diri kita semakin lama semakin terperosok, kualitas kita semakin terbenam, dan hal itu pada dasarnya semakin membuat diri kita takut dan jauh dari yang diharapkan.

Saya sudah banyak sekali menghabiskan kitab-kitab eksistensialisme yang mengagumkan, warisan psikoanalisis yang kritis, dan Humanistik yang mencoba mengerti manusia, tapi entah kenapa saya tidak merasakan perubahan berarti dalam diri. Saya masih seperti ini, merasakan hidup tak bermakna, merasa diri tak pantas, merasa hati yang cemas. Ternyata saya baru sadar ketika membaca Emotif Rasional ala Aa Gym, bahwa saya membutuhkan Tuhan. Emotif Rasional ala Aa Gym mengajarkan kita bahwa Tuhan (Allah) menjadi tempat curhat, menumpahkan segala kecemasan kita, stress kita, dan ketakutan-ketakutan yang selama ini menjerumuskan kita. Karena ia yang Maha Pengasih.

Sesederhana itu, benar adanya kata Viktor Frankl, pendiri logoterapi, bahwa hidup bermakna ada di hati, hati yang diisi penghayatan terhadap kehidupan. Lantas saya kembali bertanya, kenapa ketika membaca logoterapi, saya tidak sadar? Tapi kenapa Aa Gym dengan bukunya itu, lebih mampu menumbuhkan hatiku, membius pikiranku, merobohkan segala ego kotor ini? Ah saya hanya bisa teramat haru, ketika Aa mengingatkan dengan ayat Allah

Laa yukallifullaaahu nafsan illaaa wus’ahaa

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

(Qs al-Baqarah: 286)

Aa Gym melanjutkan

Hendaknya kita menghadapinya dengan ridha, tidak panik, tidak didramatisir, tidak dipersulit. Allah yang memilki diri kita sangat Tahu dengan rinci kemampuan hambaNya. Pengetahuan akan hal ini sudah seharusnya membuat kita tenang dalam menghadapi sesuatu.

Saya mengerti sekarang atas pertanyaan yang tadi tidak saya jawab, bahwa emotif rasional Aa Gym menyertakan pendalaman tauhid yang pasti ketimbang Frankl. Itu ternyata membuat saya nyaman secara psikologis. Saya tersentak ketika itu, bagaimana mungkin buku setipis 36 lembar bisa membangunkan saya daripada ribuan lembar buku-buku psikologi yang sudah saya habiskan, mulai dari Frankl, Abraham Maslow, Daniel Goleman, Freud, Rollo May, dan lain-lainnya. Saya sadar diri ini terlalu egois dengan memaksakan logika tanpa hati, menyenangkan psikologis dengan terus menghindar. Kenyataannya, eksistensi akan menenangkan jika dibentangkan dengan pengalaman tauhid.

Emotif rasional ala Aa Gym mengajarkan kita untuk berani menghadapi kenyataan, mau jujur terhadap dunia dan diri sendiri. Benar adanya Kata Allah semakin kita jauh dariNya kita semakin jauh dari kualitas hidup yang kita inginkan. Semakin kita terus bermaksiat, adalah keniscayaan jika qolbu tak akan tenang. Jadi jangan salahkan Tuhan, salah kita sendiri. Mungkin hati saya berkata untuk apa saya terus mencari makna, memaknai diri sendiri, tapi saya melupakan al Quran. Memang benar dengan dekat bersama Allah hati kita menjadi lebih tenang, karena itulah fitrah yang merekah.

Ternyata Aa Gym humanis, ia eksistensialis, ini filosof sekaligus konselor yang saya butuhkan. Ternyata ia ada di Indonseia, bukan Wina, Berlin, dan London. Ternyata bukanlah Mazhab, Behavioristik, Psikodinamik, Humanistik tapi Mahzab yang ia namakan Manajemen Qolbu, saya baru tahu. Ia ajarkan kita “buat apa mengeluh, toh mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah”. Itu saya tangkap ketika mengantar saudara-saudara saya yang masih remaja untuk Diklat di Daruut Tauhid, ada-ada saja syarat nyantrinya: Tidak boleh mengeluh. Mungkin itu tadi yang saya maksud.

Emotif rasional Aa Gym langsung masuk, bahasanya menembus langsung ke hati, tidak mau bersusah payah. Ibarat ada orang tenggelam, ia segera menyeburkan diri dan meraih badan kita. Ia kekalkan ucapan-ucapannya di pikiran dan hati kita. Sekalipun secara kasat, Emotif rasional Aa bermain pada tataran praktis, namun itu memiliki arti berbeda ketimbang yang lainnya. Karena ia mencoba menafsirkan sistem pedoman filosofis psikologi Islami, dan meramunya dengan implementasi sederhana namun vital. Tidak terjebak pada kompromistis penafsiran yang bias, yang akhirnya membuat kita salah tafsir dan salah arah.

Adalah berbeda dari asosiasi bebas Freud, dimana ia suruh kita untuk mengeluh atas setiap pengalaman yang menyakitkan kita, tapi psikoanalisis tidak memberi solusi pada hati yang cemas, yang kalut, yang kotor. Ia malah ajak hati saya untuk jangan terlalu berharap pada Tuhan, karena itu menjerumuskan.

Secara Konseling, emotif rasional Aa Gym menjadikan suatu pemahaman yang berkosentrasi pada Client-Centered namun berkolaborasi ke arah pendekatan direktif. Dalam arti Aa berfokus pada masalah setiap manusia, mencoba memahami dengan bahasa kemanusiaan, tapi tidak mau asyik fokus menjadikan manusia sebagai raja atas hatinya, karena manusia sedang memiliki ketidakberesan hati, dengan begitu butuh orang yang bisa meluruskan secara bijak nan sarat hikmah.

Mungkin anda heran kenapa dari tadi saya melekatkan Emotif rasional kepada Aa Gym. Awalnya begini, ketika saya membaca buku mini Aa Gym, saya teringat Albert Ellis, pengembang terapi rasional emotive (RET). Pendekatan ini mengajarkan bahwa hakikat masalah adalah ketidaklogisan pikiran. Dari situ selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan atau gangguan-gangguan emosional.

Sedikit banyak saya mendapat nuansa RET dalam bait per bait tulisan Aa Gym, emosionalitas ini menggiring saya untuk memperbandingkan keduanya dalam frame ilmiah. Jika Ellis bergerak pada domain pikiran/rasio, Aa Gym lebih menitikberatkan pada ketidakberesan hati sebagai akar masalah. Aa Gym lalu menyeret hati ini sebagai terdakwa yang membius pikiran. Jadi secara istilah saya lebih memilih untuk membaliknya.

Aa Gym mengatakan bahwa masalah jangan dibawa hati letakkan ia sebagai masalah. Letakkan sepatu sebagai sepatu jangan dibawa ke hati, letakkan kedudukkan sebagai kedudukkan, jangan ditaruh di hati. Inilah yang membedakkan keduanya.

Konsep dari Aa Gym ternyata juga memiliki self defense mechanism yang otentik. Kita melihat dengan seksama, bahwa sikap untuk tidak mengeluh adalah pengalihan diri kita agar bersikap tenang dalam menghadapi masalah. Ketenangan adalah usaha yang membawa kita tulus-ikhlash dalam menghadapi cobaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ketenangan itu bisa kita raih? Aa Gym menyitir surat Ar-Ra’d ayat 13

Alaa bidzzikrillahi tathmainnul quluub

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”

Jadi kunci untuk meraih hati yang tenang adalah dengan cara mengingat Allah, menggerakkan hati, pikiran, dan lisan untuk merenungi setiap episode hidup yang membebani. Dengan begitu insya Allah kita terbebas dari belenggu selama ini yang mengikat diri kita.

Aa Gym dengan Emotif rasionalnya telah menjadi mutiara orang-orang yang sudah lelah berfikir mencari tahu jatidiri dan memecahkan problem kehidupan melalui pemberhalaan rasio. Ternyata Aa Gym ingin memberi tahu kita bahwa jangan pernah melupakan hati, dan ajak ia tenang melalui pintu Allah. Begitulah.

Akhirnya sebagai penutup saya berimajinasi ketika Aa Gym dengan kesederhanaan konsepnya memberi salam kepada Viktor Frankl. Danke A!!

DIALEKTIKA MAHASISWA (BPI) UIN JAKARTA


Pizaro
Mantan Presiden BEMJ BPI UIN Syarif Hidayatullah
Periode 2005/2006

Melihat fenomena mahasiswa bimbingan dan penyuluhan Islam (BPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memang menimbulkan tanda tanya dan juga optimisme besar sekaligus haru mendalam. Jika dibandingkan dengan jurusan BPI lainnya di Indonesia, saya mau memberi garansi, bahwa dialektika pemikiran mahasiswa (UIN) Jakarta dalam mengkaji jiwa dan kehidupan manusia paling terdepan dari berbagai daerah lainnya. Bahkan Fakultas Psikologi di UIN sekalipun. Jika jurusan BPI lainnya punya bargaining dengan pemerintah daerah setempat, mahasiswa BPI Jakarta malah melakukan bargaining dengan Erik Eriksson, Alfred Adler, Abraham Maslow, Sigmund Freud, dan Allport, Hal ini saya temukan ketika berbincang dengan berbagai mahasiswa BPI seluruh Indonesia dalam setiap kesempatan ngobrol di FKM BPI.

Jika mahasiswa Bimbingan dan Konseling di suatu kampus kenamaan di Indonesia teramat lugu tentang siapa itu Freud dan bagaimana kajian psikoanalisis? Kenyataannya, psikoanalisis malah sudah basi diteliti oleh mahasiswa BPI. Saya hanya mau katakan Go BPI Jakarta.

Apa pasal? Anda dapat membayangkan bagaimana kajian pemikiran ini mulai diminati dan serius dilancarkan beberapa mahasiswa. Format skripsi selama ini yang sibuk dihiasi penelitian yang berkelit dari substansi yang terpinggirkan, sebuah sukesi justru banyak dibalik ketika kajian pemikiran yang membahas Al-Ghazali, Freud, Hamka, Fromm, Al-Kindi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyah sudah berkembang luas dalam pembahasan, bahkan seorang teman sedang sibuk ngutak-ngatik buku karena ingin mengangkat Carl Rogers dalam skripsi. Saya melihat ini memang menjadi trend di Jakarta dan garis warisan senior-senior periode 2000an yang acapkali “makan” tema-tema filsafat.

Pernah saya diceritakan ada mahasiswa yang ditendang oleh abang kelasnya untuk ikut diskusi seri filsafat barat di suatu lembaga Kajian di Ciputat, hanya karena dia malah asyik ngelamun saja tidak ada kerjaan, dulu itu memang semacam superego bagi setiap mahasiswa. Atau senior saya yang malah lebih banyak berasional emotif dengan mahasiswa Ushuluddin ketimbang temannya di Fakultas Dakwah, semata-mata forum diskusi yang subur menjamur di sana.

Suatu kali saya sempat diskusi dengan dosen yang kebetulan juga sedang mengambil program doktor di suatu kampus kenamaan di Jakarta. Ia mendelegasikan perbedaan orientasi keilmuan pada mahasiswa BPI adalah dimana mahasiswa BPI coba bergerak pada ranah filosofik dari psikologi dan konseling yang menembus sumber terdalam dan meminggirkan semangat pragmatis atau pemberhalaan empiric. Menurutnya, ini tentu tak banyak ditemui pada mahasiswa Fakultas Psikologi, yang terkesan menjadi Comteian dengan simbol-simbol positivistik yang empirik. Karenanya kebanyakan fakultas psikologi terjebak pada paradigma positivistik dengan jargon “Hubungan” dan kemudian mahasiswa BPI malah asyik berasosiasi bebas dengan mendalami Gustave Jung dengan Animanya atau Fromm berbasis modernitas.

Jika beberapa mahasiswa Psikologi sedang ngutak-ngatik area anastasi, pauli, dan kawan-kawannya. Anak BPI karena memang orientasi aksiologis konselinya berbeda, mereka justru terekrut diving di samudera logoterapi Frankl, Humanistik Maslow, Manajemen Qolbu Aa Gym, serta Eksistensialisme May. Saya melihat kajian ini penting untuk mengasah mahasiswa agar lebih mudah memahami tema-tema sentral kualitatif dan filosofik yang sulit dicerna. Selain itu dengan penguatan ini mahasiswa diajak untuk menyelami jatidiri manusia yang berpotensi dan memiliki daya-daya humanis yang itu sulit dijebol hanya berlandaskan studi positivisme Comteian.

Kenyataannya memang benar, suatu saat saya memang semanagt main ke Fakultas Psikologi, mencari forum diskusi. Dan realitasnya entah kenapa yang didapatkan saya agak kesepian mencari “teman” di Fakultas itu untuk sejenak diskusi dengan mereka hal-hal mengenai etik sebuah mazhab, seperti eksitensialisme, psikodinamika, behavioristik dan lainnya. Saya coba tanya satu persatu mahasiswa di sana mengenai ada tidaknya diskusi intensif mengenai itu, hampir dari mereka jawabannya sama, tidak ada. Waduh waktu itu saya sempat bangga diri karena di lain pihak, BPI mempunyai tiga forum diskusi sekaligus tiap minggunya. Forum Studi Konseling, Kajian Psikologi Kepribadian dengan membedah buku Hall dan Lindzey, serta diskusi dengan memakai bahasa Inggris. Jika Fakultas Psikologi sedang merancang bahasa Inggris sebagai pengantar, mahasiswa BPI justru sudah jauh-jauh kali memulainya. Dan diskusi ini tidak main-main, karena bagi mahasiswa yang belum membaca tema yang akan dikaji, diharamkan untuk berbicara, khawatir nanti jadi absurd dan ahistoris..

Fenomena menjamurnya diskusi pemikiran, seperti kajian psikologi kepribadian yang suatu kali ditempa intens di basecamp BPI setiap malam, hingga larut, patut diapresiasi. Namun kendala keseriusan mahasiswa angkatan yang lebih muda menjadi kendala. Jadilah senior2 BPI turut andil untuk kembali menggalakkan itu.

Kita patut bersyukur bahwa kita hidup di Jakarta dengan segenap dinamismenya. Tinggal di Fakultas Dakwah dengan segenap massifnya buku2 impor dan lokal mengenai psikologi. Anda bisa membayangkan untuk mengkaji skripsi berjudul Teori seksualitas Freud tentang Kepribadian: Psikopatologi dan Kritik Psikologi Islami, saya hanya meminjam dua buku Freud di Fakultas Psikologi, selebihnya 85 % saya dapatkan di Fakultas Dakwah dari sekitar 150 daftar pustaka yang saya teliti.

Eit jangan bangga dulu? Sialnya, berbagai buku Impor itu masih teramat minim disentuh oleh mahasiswa BPI. Mahasiswa BPI teramat sulit untuk mengerti apa yang dikaji dari buku-buku luar. Buku-buku itu bak lonceng mati tak berbaterai, karena lelah berdiri tak ada yang meminjam.

Jika saya analisis setidaknya ada beberapa faktor yang menanggalkan itu. Pertama, karena faktor bahasa. Dari berbagai kesempatan membuat makalah yang saya amati, mahasiswa justru lebih senang mengambil buku lokal yang sudah tidak kontemporer lagi, terkadang justru sangat dipaksakan. Padahal kalau kita mau membaca buku-buku impor, kenyatannya buku-buku impor kualitasnya berpuluh-puluh kali lipat lebih baik secara kualitas isi. Mereka memangnya bukan tidak mau, tapi lebih kepada bergerak untuk menjawab pertanyaan, bagaimana membacanya? Suatu kali saya kedapatan melihat mahasiswa yang bingung mencari referensi tentang paranoid. Ironisnya tergeletak buku tebal WW Meissner,. The Paranoid Process. New York: Aronson, 1978 di hadapannya. Seketika itu, saya katakan tentang buku Meissner, ia hanya mengatakan bukunya (baca: bahasanya) terlalu sulit. Syukurlah sekarang UIN memberikan concern khusus mengenai kendala ini, dengan menyaratkan syarat lulus TOEFL dan TOAFL minimal 450.

Faktor yang kedua adalah dosen. Di sini, dosen kurang memotivasi mahasiswa. Jika dosennya tidak mengutip buku-buku seperti AA. Brill atau Geraldine Orton, bagaimana mahasiswanya akan terstimulasi untuk membaca buku itu. Jika dosennya enggan berkutat pada gagasan luar, bagaimana ia mau terbuka untuk berbagai pertanyaan yang sulit dari mahasiswa. Kenyataannya kita mendapati semangat mengkaji buku yang tidak tercipta. Buat apa ada dosen dari UI, UPI Bandung, dan Universitas Al-Azhar Mesir, tapi mereka alpa dalam menghadirkan visi mengembangkan ilmu yang kuat. Ketika diminta menjelaskan perbandingan mekanisme pertahanan diri psikoanalisis dan mekanisme pertahanan diri Nafsiologi malah bingung. Disuruh mengkonsep konten filsafat ilmu dari BPI terlihat pasif. So, yang lebih dibutuhkan adalah dosen berkompetensi yang memiliki sifat semangat mengkaji, keterbukaan untuk diskusi, kuat dalam berdebat, enerjik, biasa menganalisa, kerap menulis di jurnal, menjadi pendidik bukan pengajar.

Ketiga, iklim ilmiah yang belum berkembang secara merata di BPI atau disorientasi mahasiswa. Ada mahasiswa yang sangat menghargai dan mencintai ilmu, tapi di sisi lain ada mahasiswa yang super cuek dengan perkembangan dirinya. Ada mahasiswa yang rela menghabiskan uangnya untuk asap rokok, namun di sisi lain ada mahasiswa lainnya yang rela menyisihkan setengah uang jajannya untuk membeli buku. Tapi secara keseluruhan inilah problem kultural yang perlu dipikirkan setiap elemen Jurusan. Mahasiswa masih sekedar kuliah, belum berani bermimpi menjadi konselor. Belajar sekenanya, toh nanti lulus kerja dipikirin lagi. Merumuskan cita-cita bukan sedari kuliah, tapi ketika memaki toga. Inilah kenyataan yang membuat mahasiswa tidak sejalan dengan visi dan misi jurusan.

Keempat, ketidakseriusan pihak perpustakaan. Di era modern ini, pustakawan sebenarnya bukan dibekali kempuan teknis saja atau orang yang asal comot semata-mata ingin memfungsionalkan dia, tapi bagaimana pustakawan bisa mengerti tentang isi buku, letak buku, sinopsis buku yang itu akan mempermudah mahasiswa. Di luar negeri kita bisa membayangkan, ketika pustakawan menjadi “katalog” jikalau masyarakat kesulitan dalam mencari buku.

Hal yang membuat pedih lagi adalah minimnya penghargaan terhadap buku. Di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang terjadi miris sekali ketika buku-buku elit dunia yang sudah tua justru ditemukan teronggok berdebu di Gudang Perpustakaan. Pernah saya katakan kepada Pudek I, betapa sangat berartinya buku ini. Saya tambahkan, buku seperti Beyond The Pleasure Principle karangan Freud dan Haim G. Ginott, Between Parent and Child. New York: Avon Books, 1971 bisa termat mahal dijual karena langka, tapi ironisnya pihak perpustakaan seperti melecehkan buku-buku hebat ini dengan menyimpannya di tempat yang tidak layak dan kita tidak dapat meminjamnya sama sekali karena tidak memiliki nomor perpustakaannya. Sayangnya, walau sudah ditegur hal itu masih terjadi sampai detik ini.

Ini bisa jadi wajar, karena pustakawan Fakultas Dakwah bukan berasal dari kalangan professional. Mana tahu dia siapa itu Freud, Wolfgang Kohler, analisis transaksional, Rogers, dan lain-lainnya. Jika mereka tahu itu adalah bapak-bapak psikologi, mungkin keadaannya akan berbalik.

Tapi buat apa terus ngedumel, karena saya sudah tidak kuliah lagi, sulit rasanya untuk terjun kembali dengan bahasa baik-baik. Jadilah saya coba amanahkan kepada teman-teman yang masih aktif kuliah untuk menyadari kekurangan dari manajemen Perpustakaan kita. Terimakasih