Oleh: PizaRO
Jika tragedi dan pergolakan itu adalah sejarah
Tetap kenapa Sejarah itu tidak menjawabnya?
Apa karena Sejarah itu di jelaskan oleh jiwa?
Kita harus berpikir mencari tabir itu, kawan!
PROLOG
Ketika bersekolah dahulu mungkin tidak luntur daya memori kita untuk mengingat pelajaran sejarah dengan segudang kisah di sana, tepatnya perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari tahun peperangan, nama pahlawan, tempat bersejarah, organisasi tempo dulu, sampai rapat-rapat atau pertemuan–pertemuan yang pernah dilakoni oleh mereka. Dari yang di akhiri kata sepakat atau tidak, dengan endingnya suatu kekisruhan dengan mengambil tempat di medan pertempuran. Akan tetapi mendengar nada suram manusia itu banyak dari kita mengimajinasi rasa ngeri, takut, cemas atau kebingungan. Pun ada sebuah rasa nyaman untuk tidak memikirkan hal-hal aneh, karena bagaimanapun juga cerita telah menjadi bubur bernama sejarah dan kita sendiri tidak terlibat dalam pusaran itu.
Anggapan di atas tampaknya bukanlah suatu standar monopoli emosi manusia atas nama penafsiran sejarah, karena di pihak lain, ketika mendengar cerita perjuangan pahlawan kita terdahulu yang gigih melawan pejajahan, justru seolah-olah kita terserat untuk menghayati, meresapi, merenungkan, berempati pada suasana heroik-krusial dengan segenap idealismenya di sana. Mulai dari penindasan, penyanderaan, pergerakan, pemberontakan, perang dan dengan cantik di bumbui kobaran semangat yang tersimbul dalam yel-yel simple, namun sarat makna: Hidup atau Mati!
Pada akhirnya, skenario panjang nan melelehkan itu berjuang manis dengan "bayaran" proklamasi kemrdekaan. Dan kita tidak boleh lupa bahwa ada orang -orang itu (baca: pejuang) dengan jiwa yang masih menyala walau jasadnya telah di padamkan
Peristiwa penjajahan bangsa Indonesia hanyalah salah satu kisah yang mencoba menggiring kita untuk melihat fenomena sama dengan setting ruang, waktu, aktor, substansi masalah dan kompleksitas berbeda. Namun ada bebrapa peristiwa yang secara kualitas mungkin sulit di samakan dengan peristiwa penjajahan bangsa Indonesia namun bisa menjadi contoh kecil dengan proporsi yang sesuai. Dalam sudut ini kamuflase dapat di letakkan dalam kasus – kasus gerakan politik, dinamika buruh, gerakan mahasiswa, reformasi, revolusi ala prancis atau revolusi Iran yang mengagumkan
PSIKOLOGI "VIS A VIS" GERAKAN SOSIAL POLITIK
Gerakan sosial-politik itu akan terus ada sepanjang ada ketidakadilan di sana, anehnya ini menjadi bahan kajian serius dalam lingkup akademis. Pertanyaan besarnya adalah apa yang menyebabkan begitu banyak gerakan sosial politik itu pada kenyataannya harus diletupkan--dan memang harus--walau nyawa jadi taruhan. Gayung bersambut para pakarpun mencoba mengayuh untuk menemukan jawaban itu, mulai dari sejarawan, sosiolog, politikus atau semacamnya. Namun skema tafsir itu masih berkutat pada wilayah gerakan sosial-politik an sich[2] dan perlu mainstream yang berbeda agar dinamika tafsiran itu menciptakan simbiosis mutualisme.
Dalam perkembangannya psikologi bisa menjawab itu.[3] Karena psikologi tidak hanya menjelaskan tentang struktur dan dinamika individu saja, lalu terjebak pada rutinitas normal-abnormalitas subyek, thus mengembang menjadi individu sentris, tetapi juga secara prosesif bermain dalam medan sosial, gerakan, tragedi, chaos, yang semua itu dalam catatan bernama sosial politik!
Kultur inilah yang mencoba kita perluas-bahas, tanpa mengurangi suatu norma standar yang menjadi kewajiban psikologi dalam tafsiran jiwa revolusioner, yaitu tarikan antara subyek-obyek dalam sebuah fenomena. Secara sederhana, penulis ingin menggring pada suatu hipotesa awal mengenai struktur gerakan tersebut. Pertama manusia digerakan olah kondisi sosio-politik dan kedua individu dengan segenap potensi dan dinamikanya yang menjalankan situasi eksternal.
Pada intinya, kita dapat meletakkan dengan nyaman nuansa sosial ketika perspektif psikologi mengadirkan aksi gerakan secara massif. Selain itu pula kita diberi alternatif ketika jalan individu centris mengalami kebuntuan berpikir untuk menjawab fenomena yang menag tidak dapat dijawab dengan standar.
JIWA REVOLUSIONER DAN DIMENSI SOSIAL PSIKODINAMIKA ALFERD ADLER
Alfred Adler lahir di Wina pada tahun 1870 dikenal sebagai seorang dokter dengan memfokuskan diri dalam bidang psikiatri. Ia pernah menjadi presiden masyarakat psikoanalisis Wina. Pada perkembangannya, perbedaan substansial menjadi “biang keladi” cerainya psikiater yang peduli kepada anak-anak ini dengan psikoanalisis khas Freud. Alibinya sangat cerdas, ketidaksepahaman mengenai paradigma kaku ahumanis determinasi historis Freud.
Adler mengemukakan teorinya yang sederhana mengenai dorongan yang membentuk kepribadian individu yang berbasis sosial. Teorinya itu kemudian diberi nama dengan psikologi individu.
Pokok-pokok Teori Adler
1. Finalisme fiktif
Adler sangat dipengaruhi oleh filsafatnya Hans Vaihinger yang menyatakan bahwa manusia hidup dengan gagasan–gagasan aneh namun memikat bahwa manusia hidup dengan cita-cita yang semata-mata bersifat fiktif, yang tidak ada padanannya dengan kenyataan, riilitas, konteksis dsb. Gampangnya seperti ini: semua manusia di ciptakan sama atau kejujuran adalah politik yang paling baik. Atau perkataan Hitler “…bangsa Jerman adalah bangsa terbaik di dunia…” Aku paling hebat dalam matematika di Jakarta. Indonesia pasti bisa merajai Asia. Apakah kita tidak berpikir bahwa semua itu hanya idealisme semu ketika dibenturkan pada kenyataan.
Tujuan yang ingin dikejar itu mungkin suatu fiksi atau cita-cita yang tak mungkin terealisasikan, walau begitu ini menjadi pelacut bagi usaha manusia untuk mewujudkan impposibelity itu tadi.
2. Perjuangan ke arah superioritas
Tujuan utama yang diperjuangkan manusia adalah ’hasrat kekuasaan’. Adler mengidentifikasikan kekuasaan dengan sifat maskulin dan kelemahan dengan sifat feminim.
Uniknya, kemudiaan Adler menggantikan idenya tentang hasrat akan kekuasaan dengan ”perjuangan ke arah suprerioritas” ditegaskan bahwa perjuangan ke arah superioritas bukan pengkotakkan sosial seperti menjadi pemimpin, kedudukan yang tinggi atau berkuasa, lebih dari itu perjuangan ke arah kesempurnaan merupakan ’dorongan kuat ke atas’ menuju arah yang sempurna. Orang-orang komunis berjuang ke arah kesempurnaan dengan sistemnya sama rasa-sama rata.
3. Perasaan inferioritas dan kompensasi
Manusia juga didorong karena perasaan inferioritas dalam dirinya, dalam arti kelemahan yang melekat dalam diri, baik kelemahan fisik, kelemahan sosial, psikologis, martabat dll. Dan berusaha dikompensasikan dengan sebutan ”protes maskulin”, seperti kisah Napoleon Bonaparte yang menjadi penakluk. Adler mengklaim bahwa cara pikir Bonaparte menuju jiwa penakluk, karena dimotivasi oleh badan kecilnya. Amien Rais yang membongkar dana non-budgeter DKP, karena tertekan pada infeoritas martabatnya yang di gembor-gemborkan banyak media. Jamil Azzaini menjadi motivator ulung karena pernah diludahi sewaktu kecil. Sugiharto menjadi pengusaha, karena Ia tergolong keluarga miskin.
4. Minat kemasyarakatan
Sebagai penyokong keadilan sosial dan penunjang demokrasi sosial. Adler mulai memperluas konsepnya tentang minat sosial, menurut artinya yang mendalam, minat sosial berupa jiwa yang tertanam dan terasah dalam diri individu untuk membantu masyarakat dengan tujuan terciptanya masyarakat yang sempurna. Seperti minat menjadi ketua BEM karena ingn mncerdaskan teman-teman mahasiswa.
5. Gaya hidup
Semua orang mempunyai tujuan yang sama yakni superioritas, namun cara untuk mengajar tujuan ini tak terhingga jumlahnya, setiap orang cenderung berbeda. Gaya hidup cendekiawan akan berbeda dengan olah ragawan, cendekiawan membaca, belajar dan berfikir, sedang olah ragawan mengerahkan segenap usahanya untuk mencapai kesempurnaan otot dan seorang Prodem mempunyai gaya hidup studi dan aksi.
6. Diri Kreatif
Konsep ini merupakan puncak prestasi Adler. Namun konsep diri kreatif cenderung sulit dilukiskan, karena terlalu abstraktif. Singkatnya, dapat dilihat dengan jelas pada pengaruhnya, atau ekses dalam diri seseorang. Secara substantif pendapat tentang diri kreatif itu menyatakan bahwa manusia membentuk kepribadiannya sendiri. Diri kreatif berfungsi mengelola fakta-fakta dunia yang diperoleh dalam pengalaman man keseharian dan mentransformasikan fakta-fakta ini diartikulasikan menjadi kepribadian yang subyektif, dinamis dan unik via intelektulitas diri, emosi diri, konasi atau spiritual. Kesemuanya itu sangat subyektif! Ekslusif!
MAKNA
Jiwa revolusioner sebagai penggerak manifestasi gerakan sosial politik mencoba diurai dengan sederhana via skema finalisme fiktif Adler, bahwa Revolusi adalah tujuan yang bisa jadi semu untuk di lakukan saat ini, bisa jadi iya! Dan bagaimanapun, keinginan kadang tidak sesuai dengan keadaan. Akan tetapi semangat merubah dan visi itu harus tetap ada. Denagn ini, Kita menangkap pesan moral dari platform berpikir Adler bahwa keberaniaan untuk bermimpi menjadi terlestarikan, karena itulah senter penerangan pada malam hari yang mengiringi kita untuk mmenemukan jalan kebahagian.
Tanggal 12 agustus 2007 yang lalu, ada sebuah perhelatan besar berjudul Konferensi Khilafah Internasional yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gelora Bung Karno--secara kebetulan penulis hadir, karena tertarik menghayati problema Muslim dunia--. Dalam batin, penulis terus bertanya nakal “ngapain HTI terus meneriakkan yel-yel Khilafah, padahal itu bisa jadi utopis untuk saat ini, bayangkan syariat Islam saja sulit ditegakkan di Indonesia, apalagi wacana Negara Islam Internasional.
Dalam lingkup gerakan kita mengenal sebuah komunikasi politik bernama propaganda. Nah bentuk strategi ini sebenarnya hanya efek domino dari sebuah bentuk perjuangan yang ingin dicapai. Begitu pula dengan HTI, negara Khilafah dengan topangan keniscayaan--dalam pandangan HTI dengan merujuk ke Al-Qur’an—membentuk rasa percaya diri untuk terus bergerak dengan segenap idealisme di belakangnya. Secara riil mereka tak perlu risau dengan umpatan-umpatan mengenai eksistensi Khilafah, karena bagaimanapun opini ke masyarakat terus digalakkan sebagai sebuah strategi, yang akhirnya masyarakat luas mengerti apa yang ingin dituju.
Selain itu, kontruksi penyadaran bahwa kita sedang mengalami kelemahan secara sosial politik dengan praktik tidak berjalanya keadilan sosial memaksa manusia untuk berbuat menuju arah superioritas dengan cara – cara yang terbaik tapi meminimalisasikan ego diri[4] Adapun selanjutnya superioritas itu tetap berjalan pada level yang ideal dan menghindarkan konfromi politik dengan janji-janji. Dan para pahlawan kita telah banyak memberi referensi untuk meredusir tekanan eksternal, karena jihad yang utama ialah jihad melawan penguasa yang dzolim[5]
Hal lain adalah masing-masing relung jiwa revolusioner mestilah mengkualitaskan diri agar jiwa itu tidak padam dan mempunyai rasionalisasi tepat, tidak asal bicara dan tidak mudah dipatahkan, eksistensi itu memang sesuai kadar subyek manusia, namun dimodifikasi menjadi subyek yang tersosialkan melalui jalan penyamaan visi yang sebelumnya.
Gaya hiduppun melakukan intruksi agar kehidupan sehari-hari menunjang untuk membuat suatu jiwa yang diinginkan. Selangkah lebih maju bahwa jiwa revolusioner mengambil tempat di masyarakat, karena notabene tujuan itu adalah masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Tanpa melibatkan unsur masyarakat, jiwa itu mungkin akan jatuh di lubang yang sama pada kasus-kasus terdahulu. Karena sejatinya jiwa revolusi itu berangkat dari kondisi masyarakat, bahkan kebutuhan masyarakat an sich.
Apapun kompleksitas jalan terjal dalam setiap perjuangan pasti akan ada manfaatnya, sekalipun penghusung perubahan itu telah mati. Voltaire (Francois Marie Aroet) dan Revolusi Perancisnya telah menunjukan keniscayaan, tepat 13 tahun setelah Voltaire meninggal di tahun 1778. Voltaire mungkin tidak merasakan Revolusi Perancis itu. Tetapi berkat gagasan politik dan agamaya yang menantang setiap kekuasaan berdasarkan garis keturunan, mempunyai kontribusi positif dalam terciptanya revolusi pada tahun 1789. begitupula dengan Ali Syariati, dalam masa antara kematiannya dengan Revolusi Iran 1979, ide-ide Syari’ati memegang peran sangat penting dalam mendorong perlawanan rezim Pahlevi.[6]
Maka daripada itu penting apa yang disebut falsafah hidup ala GW Allport, bahwa falsafah hidup (bisa dibaca prinsip hidup) penting untuk menggandeng kita agar tidak terpeleset dalam objektifitas semu dengan mengabaikan prinsip dalam hidup. Prinsip menjadi sandaran dan fondasi agar segala yang mendasari perilaku kita memberi arti dan tujuan.
[1] Konteks Sosial Politik.
[2] Dan adalah wajar jika mereka menafsirkan pada wilayah pengalaman mereka (baca: background keilmuan) ditambah lagi ilmu politik dan sosial banyak bersentuhan secara langsung dengan fenomena tersebut. Tokoh-tokoh ini biasa diwakili oleh kaum kampus. Dari UI ada Eep Saefullah Fatah, Ikrar Nusa Bhakti, KusnantoAngoro dan lain-lain. Dari UGM ada Sejarawan Anhar Gongong, Kuntowijoyo dll, dari UIN ada Azyumardi Azra, Bahtiar Effendi, Syaiful Mujani dll.
[3] Pada awalnya psikoanalisis di pengaruhi oleh pandangan positivisme Fisika dan biologi abad ke 19 seperti seksualitas Sigmund freud. Selain itu pula pada akhir abad 19 juga terdapat arah pikran lain yang terutama dipengaruhi oleh sosiologi antropologi. Menurut ilmu-ilmu sosial manusia adalah terlebih hasil masyarakat dimana dia itu hidup. Sedikit demi sedikit pandangan ini meresap ke psikologi dan mendewasakan psikologi untuk lepas bergelut dengan individu sentris. Endingnya telah lahir dari rahim psikologi umum dengan sebutan psikologi sosial.
[4] Termin ke alpaan ideologis yang terjadi pasca 98 salah satunya ialah membiarkan fragmentasi terjadi di dalam diri penghusung reformasi. Kejadiannya biasanya ialah ikatan emosional mahasiswa dengan status quois—ingat juga angkatan 66-- Ini juga di sebabkan karena setiap mahasiswa tidak mau bergeming mempertahankan ego subyektifnya, masing-masing merasa paling benar.
[5] Selain itu termin kealpaan mahasiswa pada era presiden Megawati salah satunya tidak mensetting reformasi sebagai sebuah tujuan jangka panjang. Jika mengambil intisari superioritas, bahwasanya gerakan sosial politik dengan cikal revolusioner mencoba menelusuri gagasan idealisme yang terbaik, bukan parsial dan cenderung bersifat sesaat.
[6] Sebagai catatan Ali Syari’ati meninggal secara aneh di Inggris tahun 1977. Kita perlu takjub dengan dominasi pikiran-pikiran Ali Syari’ati kepada masyarakat Iran, slogan-slogannya diletakkan dengan tradisi Syi’ah “setiap hari dalah Asyura’, setiap bulan adalah Muharram, setiap tempat adalh Karbala” dan itu diteriakkan di sepanjang jalan oleh beratus-ratus ribu manusia. Selain itu pula peran penting lainnya dari Ali ialah dimana ia bisa terbilang sukses untuk memaksukkan termin agama dalam revolusi. Dan kita ketahui secara tidak langsung ini menyanggah dan melalukan counter opini terhadap Karl Marx yang menyangsikan turut serta agama dalam wilayah revolusi: Sebuah Antitesa!
Iran pasca Revolusi, banyak kalangan ulama menyorot Ali sebagai kontributor utama dalam Revolusi Iran dan sukses dalam merubah masyarakat. Lebih lengkap lih. Eko Supriyadi, Sosialisme Islam, Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003 atau Ralf Dahendorf , Refleksi atas Revolusi di Eropa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
No comments:
Post a Comment