16 July 2008

CINTAKU TERTINGGAL DI MASJID SALMAN (lANJUTAN)

(Pizaro, Ketua FKM BPI/BKI Se Indonesia)

Skizofrenia adalah psikopatologi yang menggambarkan disintegrasi kepribadian. Sulit membedakan mana yang nyata dan ilusi. Perasaannya kerap linglung dan merasakan gangguan intelektual yang berat. Eksesnya ialah ia kerap berbicara sendiri layaknya orang mengobrol dengan ilusi yang tercipta dalam pikiran.
Banyak peneliti menganalisa bahwa masa remaja memiliki risiko tinggi sebagai awal dari skizofrenia, meskipun masa kanak-kanak juga berpeluang. Dan skizofrenia semakin berkembang pada pertengahan dan akhir masa remaja. Secara umum memang berasal dari biologis, namun kondisi lingkungan dan faktor kultural mempunyai efek secara mendalam.
***
Hari ini aku harus ke perpustakaan, ada seorang mahasiswi UGM ingin bertemu, namanya Sisy Adzzania Al, nama yang unik, entah mengapa ia tertarik menelitiku. Dari sebulan lalu ia mendengar kabar mengenai personalitiku dari seorang mahasiswa UIN Jakarta itu. Sebenarnya aku masih enggan, namun apa daya temanku terus mendesak.
Baru sekali ini ia ke Bandung, Mahasiswi yang bercita-cita menjadi muslimah intelektual ini berjalan rindang dengan kopernya melalui jalan raya Ganesha, dekat kampus ITB. Jilbab dan roknya coklat, tubuhnya tertutup balutan batik khas Jogja. Amat anggun dan semampai. Sisy berhasil menyabet mahasiswa terbaik Fakultas Psikologi UGM tahun ini, hebatnya kesempatan beasiswa telah diraih dari University of Edinburgh, Skotlandia untuk jenjang Master Psikologi Klinis. Ia tergolong jenius, mirip mahasiswa Kedokteran UGM dari Ciracas, Jakarta, yang diterima menjadi mahasiswa walau berumur 14 tahun. Begitupula Sisy, lulusan MAN 2 Jakarta ini umurnya baru 19 tahun, tapi sebentar lagi menyandang gelar sarjana. Benar, urusan ke Bandung berhubung dengan penelitian skripsi yang sedang digarapnya.
Melintas Sisy melintas hingga tiba tepat di depan perpustakaan ITB. Ia keluarkan HP diselingi kicauan burung gereja dari arah selatan. Matanya menyingsing mahasiswi enerjik yang kuat membopong tiga buku tebal itu, tatapannya tajam tergerus angin sejuk berbau melati melepas Profesor Jeni, Guru Besar penerbangan yang baru mangkat.
Belum saja telepon itu diangkat, Keira bertampang idealis hadir dari arah tajam hendak menegur sang kawan dari Jogja itu. Dan dua gadis cantik itu beradu muka.
“Oh maaf, kamu Keira ya?”
“Right” jawabnya masih dengan tiga buku tebal.
“Kenalkan aku Sisy dari Gajah Mada.“ sodor tangan Si Manis.
Keira terdiam, tak terpikir menyambut niat bersalaman Sisy. Ia hanya menatapnya dari kaki samapai ujung kepala, lekas berkata curiga, “Mau apa kamu menemuiku?”
Sisy berkata tenang, “Oh tenanglah aku hanya ingin menjadi temanmu.” Penting untuk mencairkan suasana, “Bandung indah ya?”
Keira masih diam.
“Oh ya Keira kamu dapat salam dari Rara, katanya ia salut dengan caramu mengerjakan soal. Kamu masih ingat?”
Keira menutupinya, “Siapa?”
“Dia lawan tandingmu saat cerdas cermat di Jatinangor, ia dari SMA 3” pasti Sisy.
“Maaf aku tidak ingat” buang muka sipit Keira.
Sisy mengelus dada, “O..oke, baiklah”
“Aku hanya mahasiswi baru”
Sisy balik terdiam. Dia paham betul Keira bukan mahasiswa main-main. Dari raut muka tertancap jelas ketidaksukaannya kepada kawan barunya itu.
“Kamu cantik ya, enak ya jadi orang cantik tapi tidak skizofren” singgung Keira.
“Tunggu, tampang chinnesemu juga fresh. Masalah skizofren dan kepentinganku, kita letakkan dahulu di belakang. Bagaimana?”
Obrolan hangat menjadi pembuka cerita-cerita mengenai kampus, aktivitas, hingga sedikit mengulik mengenai alam Bandung yang dirasa Sisy cerah. Untuk sementara Keira mempersilahkan Sisy untuk tinggal di kosnya.
***
Hingga maghrib tiba, akhirnya Sisy pamit hendak ke Universitas Parahyangan (UNPAR) sekedar meneliti instrumen yang akan dipakai. Biasanya perpustakaan UNPAR lebih welcome, beda dengan Universitas Padjadajaran, yang keributan sekecil saja bisa diteriaki, “Sssssstt......” oleh penjaga perpus. Selain itu bahan-bahannya lebih komplit, begitulah rasionalisasi Sisy.
Namun sapanyana, di balik kunjungannya itu, Sisy diam-diam fokus bertemu Rara bertanya perihal dokumen-dokumen mengenai Keira. Sisy dan Rara berteman hangat ketika sama-sama merajut santri tsanawiyah di Pesantren Putri, Gontor, Mantingan. Ia janjian di rumah Rara, dekat Jalan Abdurrahman Saleh beberapa KM dari IEC Cab. Bandung. Tentu saja, Rara kenal baik dengan Keira, karena sama-sama menjalani kursus kimia bersama untuk persiapan olimpiade beberapa bulan silam. Namun urusan melepas memori ditunda sejenak.
“Sis kamu jangan macam-macam dengannya” Muka Rara diselimuti kecemasan besar.
“Maksudmu?”
“Astaga Keira itu berbahaya Sis, penyakitnya sulit disembuhkan, apalagi dia amat ketus dengan orang asing yang mau mendekatinya. Sekarang dimana kamu tinggal?”
“Aku tinggal bersamanya di kos?”
“Tidak bisa, lebih baik kamu menginap saja di rumahku”
“Ah tapi, Ra..”
“Pokokya harus, aku khawatir dengan keselamatanmu.”
“Enggak bisa Ra, aku harus bersamanya ini sangat penting bagi observasiku. Tenanglah Ra, kamu percayakan padaku, aku bisa jaga diri. Aku tidak bisa suudzon dengannya”
“Astaga Sis, kamu sok tahu sekali”
“Tapi maaf Ra, aku tidak bisa.”
“Uhh...”
Rara mulai memberikan dokumen tentang Keira. Subhanallah Sisy tersentak, bahwa prestasi Keira melorot sampai bawah. Sisy benar-benar kaget, ia tidak menyangka mahasiswi skizofren itu membalikkan opininya bahwa Keira adalah peraih juara Olimpiade Internasional Kimia, penghargaan instrumen Matematika terkreatif dari Muenchen University, dan peneliti muda terbaik se-Asia. Seharusnya ia diterima di Tokyo University dan Harvard, namun skizofrenia menggagalkannya. Ia dinilai belum siap beradu tinggal di Jepang dan Amerika dengan kondisi psikologisnya yang seperti itu. Pantas jikalau ITB berani merekrutnya dengan penuh.
Sisy beralih ke dokumen lain, jiwa sastra Keira patut diacungi jempol, ternyata ia novelis dan penyair, kemarin baru pulang dari Goethe Award di Jerman. Kini melakukan modifikasi ulung pada bambu Angklung.
Dokumen itu didapat, ini menjadi bukti baru bahwa tipikal orang skizofren di Indonesia tidak semuanya tergolong bodoh. Namun itu belum usai, Rara mulai membuka dokumen lain, kali ini mulai terbuka sedikit demi sedikit gangguan serius yang dialami Keira. Ini yang penting, beberapa hari silam, pihak kampus kaget dengan ucapan yang dilontarkannya.
Mata Sisy melebar, “Astaghfirullah”
(bERSAMBUNG)

26 June 2008

CINTAKU TERTINGGAL DI MASJID SALMAN (PART I)

Oleh: Pizaro
Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa BPI/BKI Se Indonesia
Alumnus UIN Jakarta


Dia mengangkat tangan, jarinya lentik. Mukanya serius menatap teman-teman barunya kini. Dosen berbaju putih bergaris memanggilnya lurus. Ini absensi pertamaku dalam kuliah. Hidup dengan idealisme Bandung yang sudah tertanam sebelumnya di SMA 5, kampus biru.

Memori mengembalikanku ketika Bang Imaduddin berorasi di kampus sekolah tinggi teknik, ya kampus Bung Karno itu. Atau Hatta Rajasa yang terlihat sibuk ketika menjadi aktivis jamaah masjid salman periode silam. Ya itu aku ingat, sekalipun aku skizofrenia. Pak Hatta sedang sibuk karena angkatan 78 akan reuni akhir-akhir ini. Entahlah aku tak mengerti. Lebih baik aku menuju kos yang tak jauh dari Masjid Salman, terganggu ketika adzan berkumandang lekas hadir menyapa pintu kos hitamku.

Masih terngiang, aku tidak bisa mendengar jelas perkataan pak Abu tadi, karena teman disamping bangkuku terus membisik. Konsentrasi natrium instraseluler dpertahankan sekitar 10 mE4/1 dan ekstraseluler 10 mE4/1, namun teman disampingku memperjelas antara 10,5 mE4,5/1, mana yang benar? Padahal Natrium sangat penting untuk mengaktifkan enzim intraseluler. Bisa gawat kalau salah karena terdapat perbedaan konsentrasi natrium yang nyata dalam cairan ludah, lambung, ileum, sekum, pankreas, empedu, lumbal, dan keringat.Jadilah, kimia kedokteran benar-benar membuat empeduku berkeringat.

Berjalan kuberjalan selepas kuliah. bertahan menjadi mahasiswa skizofren satu-satunya di Institut Teknologi Bandung (ITB), tapi mungkin juga salah, karena pernah ada cerita mahasiswa gantung diri di arsitektur, menurut omongan dari mulut ke mulut ia juga skizofrenia. Skripsinya Mimpi dan Arsitektur dalam kajian psikoanalisis Freud, skripsi itu yang kuburu, karena pesanan seorang mahasiswa UIN di Jakarta. Aku penasaran.

Aku lupa mengenalkan bahwa namaku Keira, aku Chinese muslimah, ibu menamakanku dari ramalan suhu Yo dari gedung Tua dekat Harco Mangga Dua, Jakarta, katanya agar aku tidak mengidap autis. Tapi apa yang didapat, aku malah terjebak menjadi skizofrenia.

Aku memang muslimah, tapi aku masih belum merasa kuasa Tuhan untuk membedakan mana yang ilusi mana yang nyata. Telah lama tak mengaji, meniduri kesejukan ayat- Qur’an. Sebentar, sejuk? Itu bagi mereka yang mempunyai personaliti normal. Bagiku yang mewakili tipikal gadis Bandung secara penampilan, itu hanya sebuah dogma yang tak menyejukkan di udara dingin kota Lembang, sekalipun.

Temannya tadi mengagetkan dari balik punggung sang Chinesse, “Hai Kiera, hamsiong nih gua.”

“Ups..” kuterus berjalan.

Ia terus memburu, “Hey kamu tahu bahwa teman dekatku di Nangyang (NTU, Singapore) mengatakan suatu hal yang indah sekali. Bahwa dia akan mengantarkan siapa saja mahasiswa untuk mengikuti kursus di Massachusetts Institute of Technology (MIT)”

Kiera berhenti, “Wow bagus dong?”

Sodornya, “Lihatlah jurnal NTU sekarang. Dia katakan padaku bahwa risetnya tentang natrium menghasilkan kejadian luar biasa?” ungkapnya dengan membuka tangannya lebar-lebar.

Kiera mengangguk “Iya?” matanya menyelami profil sang mahasiswa teladan di Singapore sana.

Bisiknya pelan sambil memperhatikan ke sekeliling kampus, “Percayalah ia menggunakan skema yang kupresentasikan tadi di kampus bahwa konsentrasi natrium instraseluler dipertahankan sekitar 10,5 mE4,5/1. dan kamu tahu MIT menghargainya dengan sejumlah beasiswa besar, karena ini adalah jalan untuk mencegah kebuntuan akan pemecahan kasus HIV, lady

Wait, apa hubungannya natrium dengan HIV AIDS? Aku sadar. Baru ingin kutanyakan, ia hilang begitu saja., hendak kemana gerangan sang mahasiswa itu? Cepat sekali. Namun ada topi, warnanya putih, tertulis MIT dan tanda tangan Sayeed Muhammed Hossein Nasr. Aku membungkuk untuk mengambilnya, bagus sekali topi ini.

Tiba-tiba dia muncul, seraya mentapa Kiera yang masih mebungkuk, “Karena penambahan 0,5”

“Astaga”. Kaget Keira sejadi-jadinya melihat kepala itu langsung menohok tajam.

“Ingat ada sebuah bahan campuran lainnya. Namun aku tidak bisa membocorkan rahasia ini. Karena penelitian rahasia, itu kesepakatan dengan MIT. Aku percaya sama kamu”

(Bersambung)

03 June 2008

Antara Rasio aa Gym, Rasulullah dan Islam: Tanggapan artikel ketua FKM BPI/BKI se-Indonesia sdr. Pizaro

Oleh Ana Lustiyowati

Mahasiswi BPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ketika kita akan membedah sebuah pemikiran seseorang tentunya kita terlebih dahulu memahami profil orang tersebut. Begitu pula ketika kita berbicara atau mengkaji tokoh aa Gym. Bila dilihat dari profil singkat beliau seorang anak dari tentara, seorang pemikir, kuliah di jurusan teknik, program yang diambil saat SMA pun IPA, wajar sepertinya bila beliau dikategorikan orang yang berpikir rasional. Bahkan sepengetahuan penulis saat ini beliau menyelesaikan studinya di jurusan Teknik Industri. Selama kurang lebih dua setengah tahun dididik beliau secara langsung, beliau adalah pribadi yang mengajarkan untuk “pantang mengeluh, mengeluh malu-maluin” buat apa mengeluh pada makhluk percuma siap-siap aja kecewa apalagi kalau disertai berharap kepadanya.

Lantas kenapa tausiyah aa Gym, pemikirannya menembus hati dibanding pemikir-pemikir barat yang jauh lebih populer dari beliau?

Beliau menganut “mazhab” hati hanya bisa disentuh dengan hati, aa adalah sosok yang begitu peka terhadap orang-orang di sekitar beliau termasuk para santrinya, beliau memposisikan diri sebagai guru, bapak, sekaligus teman bagi kami. Tidak jarang beliau sengaja “melawak” saat ada santri yang sedang berduka hatinya hingga membuatnya tertawa…Saat tausiyah keluarga beliau sering mengingatkan kami akan pribadi rasulullah yang sungguh luar biasa. Konseling yang beliau lakukan baik kepada kalangan muslim maupun non muslim beliau hampir selalu menggunakan pendekatan rasional, beliau berangkat dari sebuah hadist Rasulullah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, dimana ia lah yang menentukan baik buruknya perilaku seseorang, segumpal daging itu ialah hati. Belajar Islam dari beliau lebih banyak pendekatan rasional contoh : kenapa kita tidak boleh mengeluh? Ya coba saja kita pikirkan apa yang kita dapat dengan mengeluh? Apakah uang yang hilang akan kembali bila kita mengeluh tidak bukan?

Sebelum belajar Islam secara intensif langsung dari guru-guru besar maupun para sarjana Islam di UIN, penulis lebih dulu mengenal Islam yang sederhana, menyejukkan, syariat Islam begitu indah, justru dari seorang santri kalong, seorang mahasiswa yang waktu itu belum mendapat gelar sarjana apalagi sarjana Islam bernama Abdullah Gymnastiar. Beliau menjelaskan Islam yang aplikatif melalui rumus2 beliau yang begitu akrab di telinga kita semua, sebut saja 3 M, 5 S, 7 T, 2 B 2 L, 3 K, dan sebagainya. Sempat terpikir darimana beliau dapat idenya?

Ternyata seorang aa Gym belajar Islam melalui beberapa gurunya termasuk istrinya Teh Ninih dan bapak mertuanya yang notabene adalah seorang ulama, selama menjadi penjaga perpustakaan pribadi beliau, melihat secara langsung buku-buku bacaan beliau, terjawab bahwa rumus-rumus tersebut berasal dari rangkuman bacaan-bacaan beliau. Mulai dari hadist, tafsir al-Qur’an, Fiqih, Shirah nabawiyah, psikologi nabi, dan sebagainya yang telah dianaliasis serta dikonsultasikan kepada guru-guru beliau. Rumus 3 M beliau ambil dari kisah sukses dakwah Rasulullah yang dimulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, Rasulullah mendakwahkan Islam dimulai dari hal yang terkecil lihat saja bagaimana Rasulullah begitu terkenal dengan gelar al-amin walaupun di kalangan kaum kafir Quraisy sekalipun. Ketika berdagang beliau begitu jujur, wajahnya cerah, selalu tersenyum yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hal sepele, malah ada anggapan bahwa kalau dagang terlalu jujur kapan untungnya? Senyum bisa jadi untuk orang-orang tertentu yang sekiranya “menguntungkan” kita alhasil senyumnya pun tidak tulus. Rasulullah tersenyum pada siapa saja, bahkan meski beliau seorang da’I yang sibuk, menyempatkan diri menengok orang kafir yang selalu melempar kotoran binatang kepada sosok mulia ini, karena hari itu beliau tidak melihatnya, dan karena syariat itulah akhirnya orang kafir tersebut masuk Islam. Mulai saat ini, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah menunda apa yang bisa dan seharusnya beliau lakukan saat itu. Ini adalah salah satu kunci kesuksesan dakwah beliau, coba kita bayangkan kalau saja dulu ketika Allah memerintahkan untuk meyampaikan ajaran Islam, beliau menunda-nunda untuk menyampaikannya karena terlalu banyak pertimbangan, mugkin saja waktu Islam menjadi agama peradaban akan lebih lambat. Pada intinya apa yang bisa kita lakukan sekecil apapun, lakukanlah dan jangan pernah menunda apa yang bisa kita lakukan saat ini karena kesempatan tidak datang dua kali, kalupun ada itu adalah kesempatan yang berbeda. Rumus –rumus yang lain juga hasil dari bacaan-bacaan beliau yang telah disederhanakan. Sebelum menyampaikan sesuatu beliau berlatih untuk mengamalkannya terlebih dahulu, karena beliau memahami betul peringatan Allah dalam QS:Ash-Shaf ayat 3 yang artinya kurang lebih “Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”

Sebagai santri beliau, penulis mengakui selama tinggal dan belajar bersama, aa bukanlah sosok manusia yang sempurna. Sebagai manusia tentulah beliau memiliki kekurangan-kekurangan, beliau bukanlah Rasulullah yang oleh Allah telah di ma’sum. Beliau bukanlah seorang kyai yang jago membaca, mengartikan dan menafsirkan kitab kuning seperti para kyai-kyai yang lain, beliau bukanlah seorang filosof muslim sekaliber al-Ghazali, beliau juga bukan seorang dengan gelar Sarjana Sosial Islam. Namun beliau adalah pribadi yang selalu menjadikan perbaiki diri, perbaiki diri, perbaiki diri sebagai prinsip hidupnya. Beliau adalah sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan murid-muridnya. Beliau adalah orang yang terlebih dahulu menuntut dirinya sebelum menuntut orang lain, beliau adalah orang yang berusaha keras mengamalkan setiap ilmu yang diperolehnya dari siapapun, adalah sosok yang begitu menghormati guru-gurunya, adalah sosok yang begitu sederhana di tengah ujian harta yang tidak sedikit, sosok yang begitu piawai mendidik istri pertamanya hingga menjadi wanita yang tegar, dan sangat mencintainya, seorang guru yang ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu membangunkan putra-putri serta santri-santrinya untuk tahajud, seorang konselor muslim yang bisa menjadi jalan hidayah bagi sejmlah orang hingga syari’at Islam dikenal begitu indah di manca Negara. Seorang guru yang tawadhu..yang mau mengakui kekurangannya dan menyarankan santrinya untuk belajar Islam dari guru yang lain yang lebih berkafa’ah dari beliau…bukan seorang yang dididik di pesantren bertahun-tahun, bukan seorang profesor ilmu dakwah, bukan lulusan pedidikan agama, namun sudah begitu banyak berbuat bagi Islam…yah sebuah teguran yang luar biasa bagi penulis pribadi sebagai mahasiswa di PTAI, idealnya kita bisa berbuat lebih dari seorang aa Gym, terlepas pro dan kontra terhadap sosok beliau, metode dakwah, serta materi dakwah yang beliau sampaikan.

Rasulullah sebagai utusan Allah yang mendapatkan bimbingan langsung dari-Nya tentu menjadi acuan utama kita, beliau memadukan logika kemanusiaan serta wahyu Allah dengan begitu indahnya dalam berdakwah, ingat saja kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada beliau meminta ijin untuk berzina, Rasulullah tidak langsung menegur dan melarangnya melainkan beliau mengajak diskusi pemuda tersebut tentunya dengan melibatkan logika pemuda tersebut. Beliau mengajak pemuda tersebut berpikir bagaimana seandainya ibu, saudara perempuan, anak perempuannya di zinahi orang apakah ia ridho? Dengan spontan pemuda tersebut berkata tidak dan mengurungkan niatnya untuk berzina.

Islam bukanlah agama yang tanpa logika tentu kita ingat bagaimana hasil penelitian seorang ilmuwan tentang hikmah sujud yang menjadi jalan hidayah baginya untuk memeluk Islam, tentu kita ingat bagimana kisah seorang da’iyah terkenal mantan biarawati yang melalui logika-logikanya akhirnya menemukan cahaya Islam, dan masih banyak kisah lain yang dapat dijadikan bukti bahwa Islam bukanlah agama tanpa logika. Walaupun kita tahu dan menyadari tidak semua yang ada dalam Islam mampu kita logikan, semata-mata karena keterbatasan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam firman Allah pun disebutkan kurang lebih artinya “Sesungguhnya Ruh itu adalah urusan Tuhanmu dan kamu tidak diberitahu kecuali sedikit”

Sebagai mahasiswa PTAI yang senantiasa dekat dengan kajian filsafat, yang kemudian di cap oleh sebagian masyarakat malah menjadi kampus bebas tuhan, mahasiswanya kalah Islami dengan kampus lain, jarang shalat, kata-katanya kotor, hingga disebut kampus Ingkar Allah Ingkar Nabi, Tidak seharusnya mematahkan semangat kita, sudah saatnya kita evaluasi diri, selama ini kita berdiskusi, berdebat, hingga bertanya-tanya tentang Tuhan dalam diri ini, apa tujuannya? Apakah benar untuk mengenal Allah sebagai tuhan kita ataukah hanya agar dianggap ‘keren’ di mata manusia sebagai mahasiswa yang pintar dan paham tentang ajaran Islam hingga perlu mengkritisinya bukan untuk mencari kebenaran namun untuk menjadikannya dasar pelegalan perilaku yang menurutkan hawa hafsu.naudzu billahi min dzalik..

Jazakallah khair untuk ketua FKM saudara Pizaro atas artikel yang memuat pemikiran salah satu guru saya semoga bermanfaat. Salam dari aa yang selalu menanyakan kabar UIN di setiap kesempatan penulis bertemu dengan beliau dan juga dari teh ninih yang selama ini menjadi teman diskusi membahas problematika muslimah termasuk UIN. Pesan beliau bagi siapapun yang sepakat maupun tidak dengan pemikiran beliau, minta doanya.Semoga bermanfaat dan Allah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amin

Wallahu a’lam bishawab