03 June 2008

Antara Rasio aa Gym, Rasulullah dan Islam: Tanggapan artikel ketua FKM BPI/BKI se-Indonesia sdr. Pizaro

Oleh Ana Lustiyowati

Mahasiswi BPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ketika kita akan membedah sebuah pemikiran seseorang tentunya kita terlebih dahulu memahami profil orang tersebut. Begitu pula ketika kita berbicara atau mengkaji tokoh aa Gym. Bila dilihat dari profil singkat beliau seorang anak dari tentara, seorang pemikir, kuliah di jurusan teknik, program yang diambil saat SMA pun IPA, wajar sepertinya bila beliau dikategorikan orang yang berpikir rasional. Bahkan sepengetahuan penulis saat ini beliau menyelesaikan studinya di jurusan Teknik Industri. Selama kurang lebih dua setengah tahun dididik beliau secara langsung, beliau adalah pribadi yang mengajarkan untuk “pantang mengeluh, mengeluh malu-maluin” buat apa mengeluh pada makhluk percuma siap-siap aja kecewa apalagi kalau disertai berharap kepadanya.

Lantas kenapa tausiyah aa Gym, pemikirannya menembus hati dibanding pemikir-pemikir barat yang jauh lebih populer dari beliau?

Beliau menganut “mazhab” hati hanya bisa disentuh dengan hati, aa adalah sosok yang begitu peka terhadap orang-orang di sekitar beliau termasuk para santrinya, beliau memposisikan diri sebagai guru, bapak, sekaligus teman bagi kami. Tidak jarang beliau sengaja “melawak” saat ada santri yang sedang berduka hatinya hingga membuatnya tertawa…Saat tausiyah keluarga beliau sering mengingatkan kami akan pribadi rasulullah yang sungguh luar biasa. Konseling yang beliau lakukan baik kepada kalangan muslim maupun non muslim beliau hampir selalu menggunakan pendekatan rasional, beliau berangkat dari sebuah hadist Rasulullah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, dimana ia lah yang menentukan baik buruknya perilaku seseorang, segumpal daging itu ialah hati. Belajar Islam dari beliau lebih banyak pendekatan rasional contoh : kenapa kita tidak boleh mengeluh? Ya coba saja kita pikirkan apa yang kita dapat dengan mengeluh? Apakah uang yang hilang akan kembali bila kita mengeluh tidak bukan?

Sebelum belajar Islam secara intensif langsung dari guru-guru besar maupun para sarjana Islam di UIN, penulis lebih dulu mengenal Islam yang sederhana, menyejukkan, syariat Islam begitu indah, justru dari seorang santri kalong, seorang mahasiswa yang waktu itu belum mendapat gelar sarjana apalagi sarjana Islam bernama Abdullah Gymnastiar. Beliau menjelaskan Islam yang aplikatif melalui rumus2 beliau yang begitu akrab di telinga kita semua, sebut saja 3 M, 5 S, 7 T, 2 B 2 L, 3 K, dan sebagainya. Sempat terpikir darimana beliau dapat idenya?

Ternyata seorang aa Gym belajar Islam melalui beberapa gurunya termasuk istrinya Teh Ninih dan bapak mertuanya yang notabene adalah seorang ulama, selama menjadi penjaga perpustakaan pribadi beliau, melihat secara langsung buku-buku bacaan beliau, terjawab bahwa rumus-rumus tersebut berasal dari rangkuman bacaan-bacaan beliau. Mulai dari hadist, tafsir al-Qur’an, Fiqih, Shirah nabawiyah, psikologi nabi, dan sebagainya yang telah dianaliasis serta dikonsultasikan kepada guru-guru beliau. Rumus 3 M beliau ambil dari kisah sukses dakwah Rasulullah yang dimulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, Rasulullah mendakwahkan Islam dimulai dari hal yang terkecil lihat saja bagaimana Rasulullah begitu terkenal dengan gelar al-amin walaupun di kalangan kaum kafir Quraisy sekalipun. Ketika berdagang beliau begitu jujur, wajahnya cerah, selalu tersenyum yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hal sepele, malah ada anggapan bahwa kalau dagang terlalu jujur kapan untungnya? Senyum bisa jadi untuk orang-orang tertentu yang sekiranya “menguntungkan” kita alhasil senyumnya pun tidak tulus. Rasulullah tersenyum pada siapa saja, bahkan meski beliau seorang da’I yang sibuk, menyempatkan diri menengok orang kafir yang selalu melempar kotoran binatang kepada sosok mulia ini, karena hari itu beliau tidak melihatnya, dan karena syariat itulah akhirnya orang kafir tersebut masuk Islam. Mulai saat ini, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah menunda apa yang bisa dan seharusnya beliau lakukan saat itu. Ini adalah salah satu kunci kesuksesan dakwah beliau, coba kita bayangkan kalau saja dulu ketika Allah memerintahkan untuk meyampaikan ajaran Islam, beliau menunda-nunda untuk menyampaikannya karena terlalu banyak pertimbangan, mugkin saja waktu Islam menjadi agama peradaban akan lebih lambat. Pada intinya apa yang bisa kita lakukan sekecil apapun, lakukanlah dan jangan pernah menunda apa yang bisa kita lakukan saat ini karena kesempatan tidak datang dua kali, kalupun ada itu adalah kesempatan yang berbeda. Rumus –rumus yang lain juga hasil dari bacaan-bacaan beliau yang telah disederhanakan. Sebelum menyampaikan sesuatu beliau berlatih untuk mengamalkannya terlebih dahulu, karena beliau memahami betul peringatan Allah dalam QS:Ash-Shaf ayat 3 yang artinya kurang lebih “Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah ketika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”

Sebagai santri beliau, penulis mengakui selama tinggal dan belajar bersama, aa bukanlah sosok manusia yang sempurna. Sebagai manusia tentulah beliau memiliki kekurangan-kekurangan, beliau bukanlah Rasulullah yang oleh Allah telah di ma’sum. Beliau bukanlah seorang kyai yang jago membaca, mengartikan dan menafsirkan kitab kuning seperti para kyai-kyai yang lain, beliau bukanlah seorang filosof muslim sekaliber al-Ghazali, beliau juga bukan seorang dengan gelar Sarjana Sosial Islam. Namun beliau adalah pribadi yang selalu menjadikan perbaiki diri, perbaiki diri, perbaiki diri sebagai prinsip hidupnya. Beliau adalah sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan murid-muridnya. Beliau adalah orang yang terlebih dahulu menuntut dirinya sebelum menuntut orang lain, beliau adalah orang yang berusaha keras mengamalkan setiap ilmu yang diperolehnya dari siapapun, adalah sosok yang begitu menghormati guru-gurunya, adalah sosok yang begitu sederhana di tengah ujian harta yang tidak sedikit, sosok yang begitu piawai mendidik istri pertamanya hingga menjadi wanita yang tegar, dan sangat mencintainya, seorang guru yang ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu membangunkan putra-putri serta santri-santrinya untuk tahajud, seorang konselor muslim yang bisa menjadi jalan hidayah bagi sejmlah orang hingga syari’at Islam dikenal begitu indah di manca Negara. Seorang guru yang tawadhu..yang mau mengakui kekurangannya dan menyarankan santrinya untuk belajar Islam dari guru yang lain yang lebih berkafa’ah dari beliau…bukan seorang yang dididik di pesantren bertahun-tahun, bukan seorang profesor ilmu dakwah, bukan lulusan pedidikan agama, namun sudah begitu banyak berbuat bagi Islam…yah sebuah teguran yang luar biasa bagi penulis pribadi sebagai mahasiswa di PTAI, idealnya kita bisa berbuat lebih dari seorang aa Gym, terlepas pro dan kontra terhadap sosok beliau, metode dakwah, serta materi dakwah yang beliau sampaikan.

Rasulullah sebagai utusan Allah yang mendapatkan bimbingan langsung dari-Nya tentu menjadi acuan utama kita, beliau memadukan logika kemanusiaan serta wahyu Allah dengan begitu indahnya dalam berdakwah, ingat saja kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada beliau meminta ijin untuk berzina, Rasulullah tidak langsung menegur dan melarangnya melainkan beliau mengajak diskusi pemuda tersebut tentunya dengan melibatkan logika pemuda tersebut. Beliau mengajak pemuda tersebut berpikir bagaimana seandainya ibu, saudara perempuan, anak perempuannya di zinahi orang apakah ia ridho? Dengan spontan pemuda tersebut berkata tidak dan mengurungkan niatnya untuk berzina.

Islam bukanlah agama yang tanpa logika tentu kita ingat bagaimana hasil penelitian seorang ilmuwan tentang hikmah sujud yang menjadi jalan hidayah baginya untuk memeluk Islam, tentu kita ingat bagimana kisah seorang da’iyah terkenal mantan biarawati yang melalui logika-logikanya akhirnya menemukan cahaya Islam, dan masih banyak kisah lain yang dapat dijadikan bukti bahwa Islam bukanlah agama tanpa logika. Walaupun kita tahu dan menyadari tidak semua yang ada dalam Islam mampu kita logikan, semata-mata karena keterbatasan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam firman Allah pun disebutkan kurang lebih artinya “Sesungguhnya Ruh itu adalah urusan Tuhanmu dan kamu tidak diberitahu kecuali sedikit”

Sebagai mahasiswa PTAI yang senantiasa dekat dengan kajian filsafat, yang kemudian di cap oleh sebagian masyarakat malah menjadi kampus bebas tuhan, mahasiswanya kalah Islami dengan kampus lain, jarang shalat, kata-katanya kotor, hingga disebut kampus Ingkar Allah Ingkar Nabi, Tidak seharusnya mematahkan semangat kita, sudah saatnya kita evaluasi diri, selama ini kita berdiskusi, berdebat, hingga bertanya-tanya tentang Tuhan dalam diri ini, apa tujuannya? Apakah benar untuk mengenal Allah sebagai tuhan kita ataukah hanya agar dianggap ‘keren’ di mata manusia sebagai mahasiswa yang pintar dan paham tentang ajaran Islam hingga perlu mengkritisinya bukan untuk mencari kebenaran namun untuk menjadikannya dasar pelegalan perilaku yang menurutkan hawa hafsu.naudzu billahi min dzalik..

Jazakallah khair untuk ketua FKM saudara Pizaro atas artikel yang memuat pemikiran salah satu guru saya semoga bermanfaat. Salam dari aa yang selalu menanyakan kabar UIN di setiap kesempatan penulis bertemu dengan beliau dan juga dari teh ninih yang selama ini menjadi teman diskusi membahas problematika muslimah termasuk UIN. Pesan beliau bagi siapapun yang sepakat maupun tidak dengan pemikiran beliau, minta doanya.Semoga bermanfaat dan Allah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Amin

Wallahu a’lam bishawab

1 comment:

Anonymous said...

Website FKM BPI/BKI Se-Indonesia kini telah hadir di www.fkm-bpi.com/site. Kami mengharapkan kontribusinya. Terima kasih.