12 May 2008

DIALEKTIKA MAHASISWA (BPI) UIN JAKARTA


Pizaro
Mantan Presiden BEMJ BPI UIN Syarif Hidayatullah
Periode 2005/2006

Melihat fenomena mahasiswa bimbingan dan penyuluhan Islam (BPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memang menimbulkan tanda tanya dan juga optimisme besar sekaligus haru mendalam. Jika dibandingkan dengan jurusan BPI lainnya di Indonesia, saya mau memberi garansi, bahwa dialektika pemikiran mahasiswa (UIN) Jakarta dalam mengkaji jiwa dan kehidupan manusia paling terdepan dari berbagai daerah lainnya. Bahkan Fakultas Psikologi di UIN sekalipun. Jika jurusan BPI lainnya punya bargaining dengan pemerintah daerah setempat, mahasiswa BPI Jakarta malah melakukan bargaining dengan Erik Eriksson, Alfred Adler, Abraham Maslow, Sigmund Freud, dan Allport, Hal ini saya temukan ketika berbincang dengan berbagai mahasiswa BPI seluruh Indonesia dalam setiap kesempatan ngobrol di FKM BPI.

Jika mahasiswa Bimbingan dan Konseling di suatu kampus kenamaan di Indonesia teramat lugu tentang siapa itu Freud dan bagaimana kajian psikoanalisis? Kenyataannya, psikoanalisis malah sudah basi diteliti oleh mahasiswa BPI. Saya hanya mau katakan Go BPI Jakarta.

Apa pasal? Anda dapat membayangkan bagaimana kajian pemikiran ini mulai diminati dan serius dilancarkan beberapa mahasiswa. Format skripsi selama ini yang sibuk dihiasi penelitian yang berkelit dari substansi yang terpinggirkan, sebuah sukesi justru banyak dibalik ketika kajian pemikiran yang membahas Al-Ghazali, Freud, Hamka, Fromm, Al-Kindi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyah sudah berkembang luas dalam pembahasan, bahkan seorang teman sedang sibuk ngutak-ngatik buku karena ingin mengangkat Carl Rogers dalam skripsi. Saya melihat ini memang menjadi trend di Jakarta dan garis warisan senior-senior periode 2000an yang acapkali “makan” tema-tema filsafat.

Pernah saya diceritakan ada mahasiswa yang ditendang oleh abang kelasnya untuk ikut diskusi seri filsafat barat di suatu lembaga Kajian di Ciputat, hanya karena dia malah asyik ngelamun saja tidak ada kerjaan, dulu itu memang semacam superego bagi setiap mahasiswa. Atau senior saya yang malah lebih banyak berasional emotif dengan mahasiswa Ushuluddin ketimbang temannya di Fakultas Dakwah, semata-mata forum diskusi yang subur menjamur di sana.

Suatu kali saya sempat diskusi dengan dosen yang kebetulan juga sedang mengambil program doktor di suatu kampus kenamaan di Jakarta. Ia mendelegasikan perbedaan orientasi keilmuan pada mahasiswa BPI adalah dimana mahasiswa BPI coba bergerak pada ranah filosofik dari psikologi dan konseling yang menembus sumber terdalam dan meminggirkan semangat pragmatis atau pemberhalaan empiric. Menurutnya, ini tentu tak banyak ditemui pada mahasiswa Fakultas Psikologi, yang terkesan menjadi Comteian dengan simbol-simbol positivistik yang empirik. Karenanya kebanyakan fakultas psikologi terjebak pada paradigma positivistik dengan jargon “Hubungan” dan kemudian mahasiswa BPI malah asyik berasosiasi bebas dengan mendalami Gustave Jung dengan Animanya atau Fromm berbasis modernitas.

Jika beberapa mahasiswa Psikologi sedang ngutak-ngatik area anastasi, pauli, dan kawan-kawannya. Anak BPI karena memang orientasi aksiologis konselinya berbeda, mereka justru terekrut diving di samudera logoterapi Frankl, Humanistik Maslow, Manajemen Qolbu Aa Gym, serta Eksistensialisme May. Saya melihat kajian ini penting untuk mengasah mahasiswa agar lebih mudah memahami tema-tema sentral kualitatif dan filosofik yang sulit dicerna. Selain itu dengan penguatan ini mahasiswa diajak untuk menyelami jatidiri manusia yang berpotensi dan memiliki daya-daya humanis yang itu sulit dijebol hanya berlandaskan studi positivisme Comteian.

Kenyataannya memang benar, suatu saat saya memang semanagt main ke Fakultas Psikologi, mencari forum diskusi. Dan realitasnya entah kenapa yang didapatkan saya agak kesepian mencari “teman” di Fakultas itu untuk sejenak diskusi dengan mereka hal-hal mengenai etik sebuah mazhab, seperti eksitensialisme, psikodinamika, behavioristik dan lainnya. Saya coba tanya satu persatu mahasiswa di sana mengenai ada tidaknya diskusi intensif mengenai itu, hampir dari mereka jawabannya sama, tidak ada. Waduh waktu itu saya sempat bangga diri karena di lain pihak, BPI mempunyai tiga forum diskusi sekaligus tiap minggunya. Forum Studi Konseling, Kajian Psikologi Kepribadian dengan membedah buku Hall dan Lindzey, serta diskusi dengan memakai bahasa Inggris. Jika Fakultas Psikologi sedang merancang bahasa Inggris sebagai pengantar, mahasiswa BPI justru sudah jauh-jauh kali memulainya. Dan diskusi ini tidak main-main, karena bagi mahasiswa yang belum membaca tema yang akan dikaji, diharamkan untuk berbicara, khawatir nanti jadi absurd dan ahistoris..

Fenomena menjamurnya diskusi pemikiran, seperti kajian psikologi kepribadian yang suatu kali ditempa intens di basecamp BPI setiap malam, hingga larut, patut diapresiasi. Namun kendala keseriusan mahasiswa angkatan yang lebih muda menjadi kendala. Jadilah senior2 BPI turut andil untuk kembali menggalakkan itu.

Kita patut bersyukur bahwa kita hidup di Jakarta dengan segenap dinamismenya. Tinggal di Fakultas Dakwah dengan segenap massifnya buku2 impor dan lokal mengenai psikologi. Anda bisa membayangkan untuk mengkaji skripsi berjudul Teori seksualitas Freud tentang Kepribadian: Psikopatologi dan Kritik Psikologi Islami, saya hanya meminjam dua buku Freud di Fakultas Psikologi, selebihnya 85 % saya dapatkan di Fakultas Dakwah dari sekitar 150 daftar pustaka yang saya teliti.

Eit jangan bangga dulu? Sialnya, berbagai buku Impor itu masih teramat minim disentuh oleh mahasiswa BPI. Mahasiswa BPI teramat sulit untuk mengerti apa yang dikaji dari buku-buku luar. Buku-buku itu bak lonceng mati tak berbaterai, karena lelah berdiri tak ada yang meminjam.

Jika saya analisis setidaknya ada beberapa faktor yang menanggalkan itu. Pertama, karena faktor bahasa. Dari berbagai kesempatan membuat makalah yang saya amati, mahasiswa justru lebih senang mengambil buku lokal yang sudah tidak kontemporer lagi, terkadang justru sangat dipaksakan. Padahal kalau kita mau membaca buku-buku impor, kenyatannya buku-buku impor kualitasnya berpuluh-puluh kali lipat lebih baik secara kualitas isi. Mereka memangnya bukan tidak mau, tapi lebih kepada bergerak untuk menjawab pertanyaan, bagaimana membacanya? Suatu kali saya kedapatan melihat mahasiswa yang bingung mencari referensi tentang paranoid. Ironisnya tergeletak buku tebal WW Meissner,. The Paranoid Process. New York: Aronson, 1978 di hadapannya. Seketika itu, saya katakan tentang buku Meissner, ia hanya mengatakan bukunya (baca: bahasanya) terlalu sulit. Syukurlah sekarang UIN memberikan concern khusus mengenai kendala ini, dengan menyaratkan syarat lulus TOEFL dan TOAFL minimal 450.

Faktor yang kedua adalah dosen. Di sini, dosen kurang memotivasi mahasiswa. Jika dosennya tidak mengutip buku-buku seperti AA. Brill atau Geraldine Orton, bagaimana mahasiswanya akan terstimulasi untuk membaca buku itu. Jika dosennya enggan berkutat pada gagasan luar, bagaimana ia mau terbuka untuk berbagai pertanyaan yang sulit dari mahasiswa. Kenyataannya kita mendapati semangat mengkaji buku yang tidak tercipta. Buat apa ada dosen dari UI, UPI Bandung, dan Universitas Al-Azhar Mesir, tapi mereka alpa dalam menghadirkan visi mengembangkan ilmu yang kuat. Ketika diminta menjelaskan perbandingan mekanisme pertahanan diri psikoanalisis dan mekanisme pertahanan diri Nafsiologi malah bingung. Disuruh mengkonsep konten filsafat ilmu dari BPI terlihat pasif. So, yang lebih dibutuhkan adalah dosen berkompetensi yang memiliki sifat semangat mengkaji, keterbukaan untuk diskusi, kuat dalam berdebat, enerjik, biasa menganalisa, kerap menulis di jurnal, menjadi pendidik bukan pengajar.

Ketiga, iklim ilmiah yang belum berkembang secara merata di BPI atau disorientasi mahasiswa. Ada mahasiswa yang sangat menghargai dan mencintai ilmu, tapi di sisi lain ada mahasiswa yang super cuek dengan perkembangan dirinya. Ada mahasiswa yang rela menghabiskan uangnya untuk asap rokok, namun di sisi lain ada mahasiswa lainnya yang rela menyisihkan setengah uang jajannya untuk membeli buku. Tapi secara keseluruhan inilah problem kultural yang perlu dipikirkan setiap elemen Jurusan. Mahasiswa masih sekedar kuliah, belum berani bermimpi menjadi konselor. Belajar sekenanya, toh nanti lulus kerja dipikirin lagi. Merumuskan cita-cita bukan sedari kuliah, tapi ketika memaki toga. Inilah kenyataan yang membuat mahasiswa tidak sejalan dengan visi dan misi jurusan.

Keempat, ketidakseriusan pihak perpustakaan. Di era modern ini, pustakawan sebenarnya bukan dibekali kempuan teknis saja atau orang yang asal comot semata-mata ingin memfungsionalkan dia, tapi bagaimana pustakawan bisa mengerti tentang isi buku, letak buku, sinopsis buku yang itu akan mempermudah mahasiswa. Di luar negeri kita bisa membayangkan, ketika pustakawan menjadi “katalog” jikalau masyarakat kesulitan dalam mencari buku.

Hal yang membuat pedih lagi adalah minimnya penghargaan terhadap buku. Di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang terjadi miris sekali ketika buku-buku elit dunia yang sudah tua justru ditemukan teronggok berdebu di Gudang Perpustakaan. Pernah saya katakan kepada Pudek I, betapa sangat berartinya buku ini. Saya tambahkan, buku seperti Beyond The Pleasure Principle karangan Freud dan Haim G. Ginott, Between Parent and Child. New York: Avon Books, 1971 bisa termat mahal dijual karena langka, tapi ironisnya pihak perpustakaan seperti melecehkan buku-buku hebat ini dengan menyimpannya di tempat yang tidak layak dan kita tidak dapat meminjamnya sama sekali karena tidak memiliki nomor perpustakaannya. Sayangnya, walau sudah ditegur hal itu masih terjadi sampai detik ini.

Ini bisa jadi wajar, karena pustakawan Fakultas Dakwah bukan berasal dari kalangan professional. Mana tahu dia siapa itu Freud, Wolfgang Kohler, analisis transaksional, Rogers, dan lain-lainnya. Jika mereka tahu itu adalah bapak-bapak psikologi, mungkin keadaannya akan berbalik.

Tapi buat apa terus ngedumel, karena saya sudah tidak kuliah lagi, sulit rasanya untuk terjun kembali dengan bahasa baik-baik. Jadilah saya coba amanahkan kepada teman-teman yang masih aktif kuliah untuk menyadari kekurangan dari manajemen Perpustakaan kita. Terimakasih

No comments: