12 May 2008

EMOTIF RASIONAL ALA AA GYM


Pizaro

Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa

Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Bimbingan dan Konseling Islam Se Indonesia

Manusia harus sadar bahwa hidup adalah sebagaimana yang mereka alami, tidak ada yang aneh. Kita akan sering menghadapi hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan kita

Keterampilan untuk realistis menghadapi kenyataan harus kita miliki. Kita sebaiknya selalu berusaha mempersiapkan hati agar mampu menerima kenyataan bahwa: “Ini adalah episode yang sekarang harus saya hadapi.”

Rasa cemas, khawatir takut, tegang dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat. Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu perasaan-perasaan ini. Jika anda tidak mau menjadi ahli stress dan ingin menikmati hidup. Maka anda harus mencari jalan keluarnya. Insya Allah uraian yang sederhana dalam buku ini akan memebantu anda.

Tiga kalimat di atas saya temukan di sebuah buku kecil dari seri manajemen qolbu. Namun dari sekedar buku kecil itu saya sadar bahwa hati adalah sumber yang sensitif, peka, dan teramat halus jika terkena sinar kecemasan.

Hati yang cemas membuat kita berpikir teramat jauh, melampaui kapasitas diri dan memaksa manusia jatuh dalam riak rimbun pikiran negatif tentang dirinya. Kita tidak mau menikmati hidup, senang sekali menghujat diri kita, hidup dalam kecemasan, dan mempersilahkan hati yang cemas untuk menyenangkan diri sendiri dalam ketakutan. Namun sadarkah bahwa diri kita semakin lama semakin terperosok, kualitas kita semakin terbenam, dan hal itu pada dasarnya semakin membuat diri kita takut dan jauh dari yang diharapkan.

Saya sudah banyak sekali menghabiskan kitab-kitab eksistensialisme yang mengagumkan, warisan psikoanalisis yang kritis, dan Humanistik yang mencoba mengerti manusia, tapi entah kenapa saya tidak merasakan perubahan berarti dalam diri. Saya masih seperti ini, merasakan hidup tak bermakna, merasa diri tak pantas, merasa hati yang cemas. Ternyata saya baru sadar ketika membaca Emotif Rasional ala Aa Gym, bahwa saya membutuhkan Tuhan. Emotif Rasional ala Aa Gym mengajarkan kita bahwa Tuhan (Allah) menjadi tempat curhat, menumpahkan segala kecemasan kita, stress kita, dan ketakutan-ketakutan yang selama ini menjerumuskan kita. Karena ia yang Maha Pengasih.

Sesederhana itu, benar adanya kata Viktor Frankl, pendiri logoterapi, bahwa hidup bermakna ada di hati, hati yang diisi penghayatan terhadap kehidupan. Lantas saya kembali bertanya, kenapa ketika membaca logoterapi, saya tidak sadar? Tapi kenapa Aa Gym dengan bukunya itu, lebih mampu menumbuhkan hatiku, membius pikiranku, merobohkan segala ego kotor ini? Ah saya hanya bisa teramat haru, ketika Aa mengingatkan dengan ayat Allah

Laa yukallifullaaahu nafsan illaaa wus’ahaa

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

(Qs al-Baqarah: 286)

Aa Gym melanjutkan

Hendaknya kita menghadapinya dengan ridha, tidak panik, tidak didramatisir, tidak dipersulit. Allah yang memilki diri kita sangat Tahu dengan rinci kemampuan hambaNya. Pengetahuan akan hal ini sudah seharusnya membuat kita tenang dalam menghadapi sesuatu.

Saya mengerti sekarang atas pertanyaan yang tadi tidak saya jawab, bahwa emotif rasional Aa Gym menyertakan pendalaman tauhid yang pasti ketimbang Frankl. Itu ternyata membuat saya nyaman secara psikologis. Saya tersentak ketika itu, bagaimana mungkin buku setipis 36 lembar bisa membangunkan saya daripada ribuan lembar buku-buku psikologi yang sudah saya habiskan, mulai dari Frankl, Abraham Maslow, Daniel Goleman, Freud, Rollo May, dan lain-lainnya. Saya sadar diri ini terlalu egois dengan memaksakan logika tanpa hati, menyenangkan psikologis dengan terus menghindar. Kenyataannya, eksistensi akan menenangkan jika dibentangkan dengan pengalaman tauhid.

Emotif rasional ala Aa Gym mengajarkan kita untuk berani menghadapi kenyataan, mau jujur terhadap dunia dan diri sendiri. Benar adanya Kata Allah semakin kita jauh dariNya kita semakin jauh dari kualitas hidup yang kita inginkan. Semakin kita terus bermaksiat, adalah keniscayaan jika qolbu tak akan tenang. Jadi jangan salahkan Tuhan, salah kita sendiri. Mungkin hati saya berkata untuk apa saya terus mencari makna, memaknai diri sendiri, tapi saya melupakan al Quran. Memang benar dengan dekat bersama Allah hati kita menjadi lebih tenang, karena itulah fitrah yang merekah.

Ternyata Aa Gym humanis, ia eksistensialis, ini filosof sekaligus konselor yang saya butuhkan. Ternyata ia ada di Indonseia, bukan Wina, Berlin, dan London. Ternyata bukanlah Mazhab, Behavioristik, Psikodinamik, Humanistik tapi Mahzab yang ia namakan Manajemen Qolbu, saya baru tahu. Ia ajarkan kita “buat apa mengeluh, toh mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah”. Itu saya tangkap ketika mengantar saudara-saudara saya yang masih remaja untuk Diklat di Daruut Tauhid, ada-ada saja syarat nyantrinya: Tidak boleh mengeluh. Mungkin itu tadi yang saya maksud.

Emotif rasional Aa Gym langsung masuk, bahasanya menembus langsung ke hati, tidak mau bersusah payah. Ibarat ada orang tenggelam, ia segera menyeburkan diri dan meraih badan kita. Ia kekalkan ucapan-ucapannya di pikiran dan hati kita. Sekalipun secara kasat, Emotif rasional Aa bermain pada tataran praktis, namun itu memiliki arti berbeda ketimbang yang lainnya. Karena ia mencoba menafsirkan sistem pedoman filosofis psikologi Islami, dan meramunya dengan implementasi sederhana namun vital. Tidak terjebak pada kompromistis penafsiran yang bias, yang akhirnya membuat kita salah tafsir dan salah arah.

Adalah berbeda dari asosiasi bebas Freud, dimana ia suruh kita untuk mengeluh atas setiap pengalaman yang menyakitkan kita, tapi psikoanalisis tidak memberi solusi pada hati yang cemas, yang kalut, yang kotor. Ia malah ajak hati saya untuk jangan terlalu berharap pada Tuhan, karena itu menjerumuskan.

Secara Konseling, emotif rasional Aa Gym menjadikan suatu pemahaman yang berkosentrasi pada Client-Centered namun berkolaborasi ke arah pendekatan direktif. Dalam arti Aa berfokus pada masalah setiap manusia, mencoba memahami dengan bahasa kemanusiaan, tapi tidak mau asyik fokus menjadikan manusia sebagai raja atas hatinya, karena manusia sedang memiliki ketidakberesan hati, dengan begitu butuh orang yang bisa meluruskan secara bijak nan sarat hikmah.

Mungkin anda heran kenapa dari tadi saya melekatkan Emotif rasional kepada Aa Gym. Awalnya begini, ketika saya membaca buku mini Aa Gym, saya teringat Albert Ellis, pengembang terapi rasional emotive (RET). Pendekatan ini mengajarkan bahwa hakikat masalah adalah ketidaklogisan pikiran. Dari situ selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan atau gangguan-gangguan emosional.

Sedikit banyak saya mendapat nuansa RET dalam bait per bait tulisan Aa Gym, emosionalitas ini menggiring saya untuk memperbandingkan keduanya dalam frame ilmiah. Jika Ellis bergerak pada domain pikiran/rasio, Aa Gym lebih menitikberatkan pada ketidakberesan hati sebagai akar masalah. Aa Gym lalu menyeret hati ini sebagai terdakwa yang membius pikiran. Jadi secara istilah saya lebih memilih untuk membaliknya.

Aa Gym mengatakan bahwa masalah jangan dibawa hati letakkan ia sebagai masalah. Letakkan sepatu sebagai sepatu jangan dibawa ke hati, letakkan kedudukkan sebagai kedudukkan, jangan ditaruh di hati. Inilah yang membedakkan keduanya.

Konsep dari Aa Gym ternyata juga memiliki self defense mechanism yang otentik. Kita melihat dengan seksama, bahwa sikap untuk tidak mengeluh adalah pengalihan diri kita agar bersikap tenang dalam menghadapi masalah. Ketenangan adalah usaha yang membawa kita tulus-ikhlash dalam menghadapi cobaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ketenangan itu bisa kita raih? Aa Gym menyitir surat Ar-Ra’d ayat 13

Alaa bidzzikrillahi tathmainnul quluub

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”

Jadi kunci untuk meraih hati yang tenang adalah dengan cara mengingat Allah, menggerakkan hati, pikiran, dan lisan untuk merenungi setiap episode hidup yang membebani. Dengan begitu insya Allah kita terbebas dari belenggu selama ini yang mengikat diri kita.

Aa Gym dengan Emotif rasionalnya telah menjadi mutiara orang-orang yang sudah lelah berfikir mencari tahu jatidiri dan memecahkan problem kehidupan melalui pemberhalaan rasio. Ternyata Aa Gym ingin memberi tahu kita bahwa jangan pernah melupakan hati, dan ajak ia tenang melalui pintu Allah. Begitulah.

Akhirnya sebagai penutup saya berimajinasi ketika Aa Gym dengan kesederhanaan konsepnya memberi salam kepada Viktor Frankl. Danke A!!

No comments: