04 January 2008

Mencari Tuhan yang hilang (SEBUAH PENDEKATAN NARATIF DALAM BPI)[1]

Oleh: Pizaro (Mhasw BPI UIN Jakarta dan Penggiat Kajian Psikodinamika)

Ini adalah suatu cerita dimana seorang mahasiswi bernama Ana yang cantik nan pandai pujaan banyak orang. Kamu tahu? Ia mengalami suatu ujian berupa neurosis. Benihnya dimulai ketika ia berumur tiga tahun, kamu tahu? ia begitu mencintai sang ayah, selalu didamba orangtua laki-laki ini badanya gagah, tampan dan ia memiliki suatu hal yang begitu menyita perhatian (maaf) yaitu alat kelamin. Pikirannya terbuai dimana rasa cinta itu dilampiaskan dalam bentuk ketertarikan untuk menikahi sang ayah dan menyingkirkan ibu. Pengembaraan dimulai, ia ditekan oleh sang ibu untuk mengeyahkan pikiran kotor itu karena adat timur tidak mengenal cinta sedarah.

Hal ini terbawa hingga kuliah, Ana mempunyai kebiasaan aneh yang kerap mengundang tawa, selagi masuk lobi kampus hatinya seperti dipaksa untuk berjalan seperti kuda dalam papan catur. Hal ini berlanjut ketika memasuki kamar kos berlantai hitam. Belum puas dari cobaan itu, hatinya juga tersayat ketika badannya seperti ditarik untuk kembali masuk ke kamar kos jika ia hendak keluar, sekedar untuk memencet ujung pensil lancip yang terletak ditas meja kamar. Belum usai, Ana wajib menyentuh bagian belakan CPU, hingga ia betul-betul merasakan setrum.

Suatu hari pernah diocobanya untuk mengeyahkan ritus itu. “ah persetan dengan ujung pensil dan kuda catur” gumamnya. Namun apa yang didapat, badannya seperti ditonjok, jantungnya berdegup kencang dag dig dug dag dig dug dag dag dag dug, perutnya merasa mual, kakinya selalu bergoyang-goyang ketika duduk. “Ah, bajingan aku ini” tak terasa ucapan itu terlontar dari mulutnya ketika presentasi makalah, seorang temannya bingung melihat.

Ingat kontsruksi pikiran bahwa Ana mengidap neurosis karena trauma masa kecil hanyalah pikirannya walaupun secara riil itu belum tebukti. Huh dasar gadis pandai dan cantik, penghargaan peneliti muda terbaik se UIN, Juara satu mahasiswa berprestasi tingkat UIN dan analis psikologi sosial terbaik se Jawa dalam problema sosial konflik timur tengah, membuat banyak aktivis kampus ngefans setengah mampus kepada Ana. Entah berapa kali mahasiswa dan dosen yang terang-terangan berkata I am in love kepadanya, namun selalu diacuhkan. Catatan surat cinta dirobek lalu dimasukkan ke dalam WC. Kenapa? Ia tidak mau sang kekasih merasakan penderitaan berat yang selaLu dikuncinya rapat-rapat.

Jangan bilang orang neurosis tidak bisa jatuh cinta, diam-diam perasan dalam hati tertuju pada pria di sana itu, itu yang kemarin sembuh dari sakit. Anaknya baik, pintar, mukanya bersih serta perhatian pula. “Ah senang betul gadis yang akan dipinangnya, hihihi” lirih Ana berkata.

Beberapa bulan beralu, rasa neurosis ini begitu lekang dalam diri, matanya berembun isyarat ada galau dalam hati. Tetesan air mata mencair membAsahi pipi halus. Dia tertunduk menangis di hutan kampus yang sepi, angin-angin landai menjadi teman mencurahkan galau. Kamu tahu? Sepuasnya ditumpahkan kesakitan itu, perih, sedih, sakit, nusuk. Ah, apalagi rasa negatif yang pantas dituangkan oleh dirinya.

“Kenapa kau siksa aku Tuhan? Apa karena aku pintar cantik hebat seperti itukah? Dimana keadilanmu Tuhaaan? Lebih baik aku mati.! Terimakasih Freud kau beritahu aku, aku seorang Oedipus, tapi dimana kamu sekarang, dimana? Aku butuh kamu, kau yang menyatakan aku neurosis. Mana psikonalis Indonesia? Tunjukkan aku Tuhan”

Tak ia sadari seseorang mahasiswa memperhatikan sedari tadi, iya mahasiswa yang ternyata selalu memperhatikan polah gadis manis ini sedari awal kuliah, dan kamu tahu pria tampan ini begitu mencintainya. Tersenyum dihampirinya seorang Ana yang tertunduk di bawah pohon. Kemudian menguntai kata indah sebuah puisi cinta romantis yang selalu ingin diucapkan kepada gadis secantik Ana.

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera Kucinta kau

Aku ke kau ke kau aku

Akulah kauku kaulah ku ke kau

Kita ?

Biarlah antara kita saja

Siapa kau, perempuan tak terbilang Kau

Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang

Orang tak tahu menara gereja menjulang

Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan dengan kedua tanganmu

Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat

Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku cinta kau

Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau

Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku

kau yang padaku

Kita?

Dalam dingin api mari kita bicara

Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?

Sayembara :

Ana Bunga buahku

Merah Ana Bunga

Warna apa aku?

Biru warna rambut kuningmu

Merah warna dalam buah hijaumu

Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari

Kau hewan hijau manis, aku cinta kau

Kau padakau yang milikau yang kau aku

yang milikkau

kau yang ku

Kita ?

Biarkan antara kita saja

pada api perdiangan

Ana Bunga, Ana, A-n-a, aku teteskan namamu

Namamu menetes bagai lembut lilin

Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?

Orang dapat membaca kau dari belakang

Dan kau yang paling agung dari segala

Kau yang dari belakang, yang dari depan

A-N-A

Tetes lilin mengusapusap punggungku

Ana Bunga

Oh hewan meleleh

Aku cinta yang padakau!

“Kamu tahu aku mencintaimu nona? Pantaskah wajah cantik itu kau nodai dengan airmata bisu? Layakkah lesung pipitmu diisi tetesan embun durjana? Kamu, kamu, kamu gadis hebat. Maka aku cinta. Aku ingiN menikahimu” Seloroh mahasiswa itu sambil memperlihatkan cincin putih nan tulus tanda lamaran.

Mekar bunga di pelupuk hujan, bagai matahari muncul diujung timur. Madu cinta semanis hati, cemas bernada kepastian petanda kemenangan hati. Cinta bertajuk rindu dijawab seorang mahasiswa tampan yang diidam-idamkannya. “Ah apalagi yang pantas kukatakan selain aku wanita beruntung di dunia, dia ingin menikahiku. Pria itu oh ternyata ia mencintaiku. Oh Tuhan bersih sekali wajahnya. Aku juga ingin menikahinya.”

Namun setan neurosis kembali megejar, susasana kembali muram, muka kembali murung, mekar kambali layu. “Kau siapa? Kau neurosis, kau tak lebih dari wanita jalang terbelakang mental, apa kamu tidak mengaca Ana, siapa dirimu? Walau kau hebat, tapi kau si wanita kuda catur, wanita tukang setrum, kau akan menyakitinya jika kau mengiyakan lamaran” hatinya berkata. Muka Ana bergelayut sedih.

“Tapi Aku neurosis” ucap Ana

“Tidak Freud yang bilang kamu neurosis” Jawab pria itu yakin

Ana kaget setengah mati, berani betul ia mencap Freud. “Jangan-jangan padaku, aku kompulsif, cari wanita lain yang akan menenangkanmu”

“Tidak Freud yg bilang kamu kompulsif dan kau yang akan menenangkanku”

“Astaga, dia benar-benar mencintaiku”. Seribu cara dilakukan Ana untuk mematahkan rasio. Sampai ia berkata “Aku Psikosis”

“Apa bukti kau Psikosis Ana?” tantang si mahasiswa

“Semua manusia buruk”

“Apa kau mau bilang bahwa ayah dan ibu yang menyayangimu sedari kecil, menyusuimu, memandikan lalu dia memberi bedak dan mengantarmu ke sekolah untuk mengerti apa itu cinta. Mereka itu buruk?”

“Semua manusia buruuuk! Tuhan itu buruk”

“Wajah cantikmu pemberian Tuhan yang baik, pisau tajam analisa otakmu pemberian Tuhan yang maha pengasih. Rambut lurus hitammu yang begitu subur pemberian Tuhan Maha penyayang. Pipi lucumu pemberian Tuhan maha Pecinta hambaNya, kenapa, kenapa Tuhan tidak membunuhnu saja jika dia mencintai keburukan? Kenapa ia tidak menutup pintu akalmu jika Tuhan itu Jelek? Kenapa juga kau sebut-sebut Tuhan tadi? Kau salah menafsirkan Tuhan calon istriku. Mana, mana nilai humanis yang kau banggakan dalam kampus? Kau membohong cinta suci nurani diri. Kau setengah memahami Freud”

“Lancang kau! Huh.. jangan, jangan nikahi aku, kau yang setengah memahami psikoanalisis. Enyahkan Tuhanmu itu, Tuhanmu yang tidak ilmiah, Tuhanmu yang tidak mengerti esensi Agama” Ana balik menuding

“Hhh.. tahukah kau Ana? Teori Freud bahwa agama itu ilusi bulat-bulat mengambil dari Feurbach, apa itu juga ilmiah Ana yang berilmiah dan juara ilmiah se Jawa?”

Mata Ana melotot kaget, menerima buku pemberian sang mahasiswa. Sebuah buku tulisan Freud kepada Oskar Pfitser. Yang berisi perkataan Freud tentang teori agamanya.

“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”

Ana terkejut bukan kepalang, teori yang selama ini diagungkannya bukanlah kajian empirik. Sekejap Ana berdiri menghapus airmatanya, dan memandang tajam pelamarnya itu. “Kenapa kau mencintaiku, mencintai…seorang at...?”

“Mau bilang ateis lagi Annisa? Annisa yang nama surat di Al Qur’an” Sang pelamar melempar senyum.

Dan Ana berlari dengan kencang melewati hutan yang lebat. Keseimbangannya oleng dan jatuh hingga dengkulnya mengeluarkan najis. Hah… hhh.. nafasnya tersengal. Kemudian ia kembali berdiri dan lari sekencang mungkin, dilaluinya rerimbun hutan. Kilauan matahari terus mengejar tubuhnya dibawa kaki. Ditangannya masih digenggam buku psikonalisis yang akan dirobeknya, buku yang selama ini menjadi panduan wajib kepribadiannya. Airmata perlahan menetes membasahi pipi, mahasiswa psikologi smester 5 itu, di hatinya berkata pedih dan sakit: You lie Freud? You lie. I have a potency.

Sampai di tengah hutan, tepat di depannya berdiri sebuah gubuk, gubuk tua nan kokoh yang didalamnya berdiri perpustakaan pribadi. Alunan lagu menyeruak seisi ruangan landai itu. Seketika dipandanginya foto Sigmund Freud dengan cerutunya dan Michel Foucoult dengan topinya dengan mata tajam, airmatanya kini mengalir deras, hingga bibirnya tergetar. Dipenjamkan matanya, dirasakan dalam hati, kini dia berputar dengan tangan terbentang menyerupai sayap mengikuti irama nyanyi.

“Tempatku melihat dibalik awan, aku melihat dibalik hujan tempatku terdiam tempat bertahan aku terdiam dibalik hujan”

Ah, suaranya semakin mendesah, rasa sedih, rasa sakit tak tertangguhkan dibawa nyanyi.

You are so disgusting” bibirnya terus bergetar, rambutnya sedikit terurai keluar dalam balutan jilbab merah jambu. Didorongnya rak buku tinggi itu, dilemparnya buku tebal ke wajah Freud. Braak! suara kaca membeling terjatuh. Kini patung Freud jadi sasaran, ia membantingnya kuat-kuat hingga kepala patung itu patah. Patung yang sengaja dibelinya di Wina, kota kelahiran Freud. Dirobeknya sebuah buku, lalu dilempar ke langit-langit hingga lembaran demi lembaran kertas beterbangan seisi ruangan. “What’s your opinion based on Freud? What an interesting my life”. Kini Ana tergeletak di lantai, dengan keharuan mendalam, nafas sesak membucah di derap dada. Dengan memaksa diri, ia berpuisi.

Sepisaupi

sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri sepisau sepi

sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi.

Freud disini aku mencinta... mencinta Tuhan.. bukan Totem Ilusi.

Diambilnya air wudhu di kendi, ah segar membasahi wajah sembab. Kini mahasiswa yang sempat ateis itu menunaikan sholat, lantunan do’a shalat diucapkan sebisanya. Kemudian ia mengaji, giliran lantunan ayat suci dibaca terbata-bata. Ia membaca surat Annisa. Lalu dilanjutkan Surat ArRad ayat 1.

Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quran). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” Dan gimana nasib Freud? Ana membuka mukena dan berkata “Freud telah mati dan yang membunuhnya ada disini” Ucap Ana sembari menodongkan telunjuk ke kepala. What is your opinion base on AnA?


[1] Psikolog Jerone Bruner berpendapat bahwa terdapat dua cara untuk mengetahui dunia. Apa yang disebutnya pengetahuan paradigmatik yang melibatkan penciptaan model abstrak dengan realitas. Kemudian ada yang disebutnya pengetahuan narasi, yang didasarkan kepada pemahaman terhadap dunia melalui cerita. Lebih jauh dengan pendekatan konseling narasi dapat membaca buku John McLeod. Cerita ini pernah dinarasikan dalam dikusi tentang ke-BPI-an ketika ta’aruf jurusan BPI UIN Jakarta oktober 2007.

No comments: