04 January 2008

Psikopatologi dalam Psikodinamika: Kepribadian Seimbang, Psikopatologis, dan Psikosis

Oleh: PizarO

Psikodinamika mencerminkan dinamika-dinamika psikis yang menghasilkan gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Dinamika psikis terjadi melalui sinergi dan interaksi-interaksi elemen psikis setiap individu. Seksualitas Freud sebagai sebuah dinamika, menangkap ada bermacam-macam potensi psikopatologi dalam setiap peta id, ego, dan superego.

Ketiga elemen psikis ini mempunyai kekhasan masing-masing, sebab mereka menggambarkan tiap-tiap ide yang saling paradoks. Hanya saja, mereka tidak akan membuat manusia sepenuhnya nyaman, karena manusia tetap saja orang yang sakit.[1]

A. DINAMIKA ID, EGO, DAN SUPEREGO DALAM STUDI PSIKOPATOLOGI

1. Kepribadian Seimbang.

Ibarat pesawat, ketiga elemen ini mempunyai fungsi masing-masing, kita dapat melihat terkadang pesawat anjlok, ketika roda bagian bawah pesawat tidak berfungsi dengan baik. Begitu pula untuk menuju kepribadian seimbang, harmonisasi di antara ketiganya wajib selaras.

Titik tekan dalam membentuk pribadi seimbang diperankan oleh ego. Jika egonya kuat maka kepribadian memiliki peluang besar berkreasi untuk keselarasan pribadi. Taksiran yang tak mengenal batas dari id mesti diimbangi dengan keteguhan ego. Hal ini bukan hanya mencipta suatu kemapanan pribadi, namun dapat melakukan mekanisme yang keratif seperti sublimasi. Jadi semata-mata individu tidak terfokus kepada pemenuhan organisme, namun masterpiece dari para seniman dapat terwujud bila kita mengambil alibi dari hakikat sublimasi.

Ego sebagai simbol selfish berpengaruh dari pengalaman-pengalamn selama ini, baik skala internal maupun eksternal. Kartono pernah mensinyalir gunanya melakukan kontak dengan realitas secara efisien, bukan hanya sebatas kriteria kenormalan individu, namun dengan begitu kita tidak terjerumus kepada fantasi semata.[2]

Identifikasi ala Freud, bisa meneguhkan hal ini. Kecemasan paradoks akibat gesekan rivalitas dengan ayah, menjadi cair oleh rasionalitas sebuah identifikasi. Perilaku ayah yang dapat didefinisikan sebagai benih-benih agama khas psikoanalisis Freud menjadi corong utama kesuksesan pribadi. Dari sini juga anak bisa lebih efektif dan tidak perlu risau mencari figur teladan, karena segalanya di keluarga telah tersedia. Argumen ini diamini oleh Arif, bahwa gesekan dalam kompleks Oedipus yang merupakan kecemasan masa kecil dapat didamaikan lewat skema identifikasi seksual kepada orangtua. [3] Anak laki-laki akan fokus menyadari dan mengembangkan kelaki-lakiannya dari figur ayah, lalu turut mengarahkan orientasi seksualnya kedepan, sebuah kepribadian matang.

Pun dengan anak perempuan, pertengkarannya dengan ibu akibat dugaan tak mendasar pemotongan penis, berekses pada peredaman amarah. Catatannya, ia mau beridentifikasi kepada ibu dan membuang rasa duga jauh itu sejauh mungkin. Orientasi seksual anak perempuan yang kabur, seakan diberi “cahaya” dari ibu, bahwa perempuan adalah perempuan, memiliki vagina bukan penis, serta tidak boleh meniduri ayahnya.

Cinta ekstrim yang dilakukan kedua anak sebenarnya bisa digubah dengan bentuk yang rasional. Setidaknya Erich Fromm (1900-1980), seorang murid Freud dari Jerman, pernah mengajukan pemikirannya tentang hal ini. Apa yang dilakukan Fromm memang unik, karena filosofi cintanya membongkar kultur pop arti cinta yang bias. Seperti dikutip Eko Harianto, Fromm menelisik konsep cinta menjadi 4 unsur:

1. Care. Diperlukan agar dapat memahami kehidupan, perkembangan yang maju atau mundur, baik atau buruk, dan bagaimana kesejahteraan orang yang mencintainya.

2. Responsibility. Tanggung jawab diperlukan atas kemajuan, keberkembangan dan kebahagiaan, dan kesejahteraan orang yang dicintai. Maksudnya bagaimana kesiapan diri untuk menanggapi kebutuhan yang diperlukan dan juga bagaimana kesiapan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang muncul.

3. Respect. Hal ini menekankan pada bagaimana menghargai dan menerima objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati.

4. Knowledge. Pengetahuan diperlukan guna mengetahui seluk beluk objek yang dicintai. Bila objek yang dicintai manusia, maka harus dapat memahami kepribadiannya, latar belakang yang membentuknya, dan kecendrungan dirinya. Dan yang perlu dipahami lagi bahwa kepribadian seseorang itu terus berkembang.[4]

Bagi Fromm, setiap manusia memang didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologi dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Namun orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang sehat secara keratif dan produktif.[5]

Jika demikian, kontribusi kedua orangtua ini adalah substansi superego untuk memberi aturan, dan pedoman dasar sebagai eksistensi yang wajar. Karenanya, orangtua juga mesti lihai memainkan apresiasi superego dalam perspektif anak, tidak menyakiti hingga membuat anak sakit dan dapat mengajarkannya menggapai eksistensi yang “sopan”.

2. Kepribadian yang Psikopatologis

Berbalik dari hal diatas, jika disharmonisasi terjadi dalam interaksi id, ego, dan superego akan mengakibatkan kepribadian yang psikopatologis. Id mendesak ego untuk menuntaskan hasrat, sementara ego belum begitu mapan mencari kreasi menuangkan libido, ditambah kekuatan eksternal superego yang begitu kualitattif. Adanya hal ini terus menurus bertambah buruk, karena kepribadian sudah tidak seimbang menahan gempuran, semakin lama semakin kacau, tidak ada sublimasi atau kreatifitas ala May, dan psikopatologi adalah keniscayaan.

Bisa dibilang teramat terjal jalan yang dilalui individu untuk mendapatkan keinginan yang memuaskan. Sekalipun tetap memaksakan kehendak, akan terjadi variasi gangguan yang tidak diinginkan.

Arif cenderung melihat skema psikopatologi dalam seksualitas Freud berakar dari konflik dan anxiety. Anxiety dapat didefinisikan sebagai pergerakan menjauh dari kondisi equilibrium menuju disequlibirium.[6] Baginya ada dua hal yang dapat semakin meningkatkan anxiety; yaitu seberapa jauh kita meninggalkan kondisi disequlibirium dan seberapa cepat kita dapat bergerak menuju equilibirium. Semakin jauh kita meninggalkan kondisi equlibirium, maka semakin tinggi anxiety yang kita hayati. Sesuatu yang membuat kita jauh sekali meninggalkan kondisi equlibirium disebut trauma. Sementara sesuatu yang membuat kita “lama sekali” bergerak menuju equlibirium, disebut konflik. Trauma akan semakin membesar jika orang yang mengalaminya masih terlampau rentan, seperti anak-anak. Trauma juga memicu kondisi disequlibirium yang semakin parah.[7]

Akibat munculnya konflik, discharge menjadi terhambat, dan seseorang kembali dalam kondisi equilibirium. Kondisi ini disebutnya sebagai damming up. Dalam keadaan damming up, kondisi disequlibirium akan semakin besar dan kecemasan yang dihayati akan semakin tinggi. Ketika itu upaya untuk meredakan ketegangan dilakukan, dengan upaya katarsis atau mekanisme pertahanan diri.[8]

Katarsis ialah upaya meredakan ketegangan dengan aktivitas-aktivitas tertentu, seperti berolahraga, bermusik, berteriak, atau apa saja agar ketegangannya tersalurkan. Ketika katarsis juga tidak efektif untuk meminimalisir tegangan, maka manusia akan terjebak dalam psikopatologi, bahkan terjerumus semakin dalam.

Fahmi melihat dengan detail bahwa cara pendidikan yang diterima anak pada tahun-tahun pertama dari umurnya memiliki kontribusi penting dalam jiwa anak. Jika nuansa takut dan tidak aman pada si kecil dalam berbagai situasi yang berulang-ulang, akibatnya mereka akan mengalami keguncangan jiwa dan terbelakang dalam bermacam segi pertumbuhan yang akan berpengaruh dalam kesehatan jiwa di masa depan.[9] Lebih jelasnya Fahmi mengidentifikasi tujuh hal yang menjadi karakteristik kesalahan dalam mendidik.

a) Tidak mendapatkan pemeliharaan ibu.

b) Anak merasa tidak disayangi atau dibenci.

c) Orang tua terlalu toleran terhadap anak.

d) Terlalu memperhatikan dan menjaga anak.

e) Kekerasan orang tua dan kecendrungan untuk bersikap otoriter terhadap anak.

f) Orang tua terlalu ambisius.

g) Sikap orang tua berlawanan.[10]

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, anak melalui proses pendidikan yang pengaruhnya melebihi pengaruh proses pendidikan di masa apapun. Karena pada umur dua atau tiga tahun unsur perasaan pada anak mulai terbentuk.

Fahmi menambahkan, akibat tidak mendapatkan pemeliharaan ibu yang layak, bisa berdampak pada dua hal. Pertama, terlambatnya pertumbuhan jasmani, rohani, dan sosial. Kedua, terganggunya pertumbuhan jiwa (goncangnya pembinaan ego dan super ego). Ketidaklayakan ibu untuk mengurus anak juga dapat berdasar dari problema kejiawaan suami-isteri, contohnya seperti isteri yang kelaki-lakian, isteri histeris, suami kekanak-kanakan, dan model yang lainnya. Jika pemahaman ini kita giring kembali ke dalam tugas identifikasi anak, tentu saja menjadi sulit termanifeskan. Tampaknya argumen Fahmi tentang “kecelakaan” skema ini belum diurai oleh Freud.[11]

B. Analisa Psikosis

Jika dalam neurosis ego masih berfugsi, tetapi dalam psikosis fungsi ego nyaris punah. Pengecapan realitas menjadi samar untuk dikenali sebagai hal yang ril dan ilusi. Kita dapat melihat dengan jelas pada film Beautiful Mind di mana Profesor John Nash telah menganggap bahwa ia adalah agen Amerika, padahal itu lahir dari delusi. Selain itu, dunia internalnya banyak diisi halusinasi yang seakan nyata.

Koordinasi antara id, ego, dan superego berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing tidak dapat dibendung untuk berkembang menuju penyakit. Identitas yang melekat cenderung sulit dikenali, akhirnya kita sering menyaksikan individu psikosis mengalami kehancruran parah di mana ia tidak mengenali dirinya sendiri. Mekanisme yang dipakai tidak lagi yang matang, tetapi primitif.

1. Skizofrenia

Pandangan psikodinamika menekankan pengalaman masa kanak-kanak dalam keluarga. Walaupun hal ini adalah sesuatu yang lazim, tapi setidaknya orang tua telah menjadi objek peneltian psikologis dalam skizofrenia.[12]

Freud meyakini bahwa orang-orang yang menderita skizofrenia, dan dalam tingkatan tertentu mereka juga menderita hipokondria,[13] mengalami regresi atau mundur, sering kali dalam kaitannya dengan kehilangan, menuju keadaan narsisitik sekunder di mana libido ditarik dari dunia eksternal dan dimasukkan kembali pada diri dan tubuh individu yang bersangkutan.[14]

Namun pertanyaannya mengalami regresi ke tahap seksual apakah Skizofrenia? Menurut Arif, pasien-pasien skzofrenia mengalami regresi ke tahapan awal oral, di mana mereka mengalami ketakutan di fase ini, bukan lagi takut secara (jasmani, tapi terutama mereka merasa mati atau runtuh kepribadiannya, dan kembali mengalami regresi ke kondisi tiada kontak dengan realitas.[15]

Mekanisme yang digunakan seperti splitting yang notabene terjadi pada bayi. Pasien skizofrenia berelasi erat dengan seseorang dalam suatu waktu. Saat tu, ia berpendapat bahwa orang itu sepenuhnya baik, tak ada cela sedikit pun. Di lain waktu, orang tersebut mengecewakannya dalam hal tertentu, dan kini ia memandang sepenuhnya orang itu buruk. Karena splitting pasien skizofrenia tidak dapat menangkap bahwa orang yang hari ini dibencinya adalah sama dengan orang yang kemarin ia sukai.[16]

Karl Abraham, seorang Klenian, memberikan materi klinis atas seorang Skizofrenia dengan riwayat keluarga yang juga skizofrenik.

“Pasien ni digambarkan terlalu asyik dengan dirinya sendiri dalam cara yang sangat narsisitik dalam arti satu angan-angan kecil, permainan kata-kata dan sebagainya, bisa menyita semua perhatiannya. Selama periode yang cukup panjang, sementara kondisi fisiknya sendiri menyita semua perhatiannya lebih dari yang lain. Ditambahkannya sensasi genital dan anal adalah yang paling penting baginya. Kemudian, dia mengalami kecanduan pada masturbasi anal dan genital. Selama masa puber, dia memperoleh kesenangan dari bermain-main dengan kotoran tinja, dan pada periode selanjutnya dia menyibukkan diri. Dengan semua bentuk pengeluaran tubuhnya. Sebagai contoh, dia memperoleh kesenangan dengan menelan air maninya sendiri.

Namun yang paling penting bagi pasien tersebut adalah preokupasi oralnya. Dia kadang terbangun dari mimpi-mimi indah dengan “polusi oral”, dengan air liur yang menggenangi mulutnya. Dia menyukai susu, mengisap cairan dan lidahnya sendiri. Dia sering terbangun di tengah malam dengan

keinginan seksual yang menggebu, namun biasanya bisa diredakan dengan minum susu. Dia merasa keinginannya minum susu merupakan kebutuhannya yang paling dalam dan paling primitif, sementara masturbasi genital, seberapapun menyenangkan, hanya menempati urutan kedua.”[17]

Abraham menggambarkan “lamunan kanibalistik” telah ada semenjak masa awal anak-anak saat dia menghubungkan cinta kepada seseorang dengan memakan sesuatu yang enak. Selain itu Abraham sepakat, ini menjadi suatu relasi dengan gagasan Klein di mana asosiasi-asosiasinya mengarah pada fantasi tentang menggigit payudara.[18]

Banyak peneliti menganalisa bahwa masa remaja memiliki risiko tinggi sebagai awal dari skizofrenia, meskipun masa kanak-kanak juga berpeluang. Dan skizofrenia semakin berkembang pada pertengahan dan akhir masa remaja.[19] Secara umum memang berasal dari biologis, namun efek dari kondisi lingkungan dan faktor kultural mempunyai efek secara mendalam.[20]

Sejalan dengan Freud, Loof melihat ada bagian hipokondriarsis mengikuti skizofrenia di usia sekolah. Loof melihat dalam usia sekolah, gangguan psikotik yang identik dengan skizofrenia, gejalanya terkadang bertahap. Pertama, adanya simtom-simtom neurotik, lalu ada tanda-tanda primitive denial, dan proyeksi, kehilangan asosiasi dalam berpikir, hipokondriarsis, dan perilaku meledak-ledak. Pada perkembangan selanjutnya anak mulai menarik diri dari lngkungan sosial, berfantasi sendiri, bertingkah laku autistik,[21] hingga mencapai kekalutan mental.[22]

Catatan penting ditemukan bahwa skizofrenia berpeluang menjadi perilaku bunuh diri. Tsuang (1978) seperti dikutip Pfeffer mengungkapkan bahwa 10 % pasien skizofrenia dari 525 pasien dewasa di rumah sakit jiwa telah melakukan bunuh diri.[23] Tsuang (1977) juga menilai bahwa hubungan saudara dalam keluarga turut andil dalam hadirnya skizofrenia pada anak-anak.[24]

(susana ketika diskusi Skizofrenia)

Teori Freud akan ikut sertanya insting mati pada pribadi, menjadi tidak terelakkan pada kasus-kasus Skizofrenia. Di mana naluri kematian memutarbalikkan tujuan erotisme yang semula ada.[25] Destruktivtas diri menjadi pemecah masalah pada pasien skizofrenia. Pasien skizofrenia tidak melihat ruang untuk mereka kembali normal. Konflik-konflik keluarga, stigma sosial, dan perawatan yang tak kunjung membaik menemani rangsangan insting mati untuk menjadi riil. Padahal seperti dikatakan Knight, penanganan berdasar komunitas untuk dapat mengembangkan kesadaran dan penerimaan diri amat dibutuhkan.[26]

2. Paranoia.

Sama seperti skizofrenia, paranoia dapat dianggap penyakit yang lahir salah satunya dari regresi pada fiksasi masa oral.[27] Lebih jauh Brill menjelaskan kepada bentuk fiksasi narsistik.[28] Libido kemudian memiliki kontribusi penting pada paranoia, karena delusi grandeur adalah dampak dari inflasi ego terhadap libido yang ditarik dari pengepungan objek, sebuah narsisme sekunder yang terjadi pada masa kanak-kanak awal.[29]

Meissner mengatakan bahwa paranoia bisa menjadi sebuah proses menuju paranoid.[30] Jauh sebelum itu seperti dikutip Storr, Freud dalam kasus Schreber juga mengidentifikasi bahwa delusi grandeur dari paranoia erat berkaitan dengan paranoid.[31] Perkembangan khayalan si pasien akan mengarah kepada bentuk penganiayaan.

“Di sini penderita merasa seolah-olah sedang dikejar-kejar diserang. Diracun atau dilukai oleh satu atau kelompok orang yang bermaksud jahat. Seringkali, perasaannya ini diiringi dengan keyakinan penderita yang sangat teguh mengenai kepentingan dirinya, yang mungkin sebagian disebabkan oleh perasaan-perasaannya, bahwa ia kurang mendapat perhatian. Mungkin dia benar-benar keturunan bangsawan, atau memiliki beberapa rahasia yang sangat penting yang diincar oleh musuh-nusuhnya”[32]

Pada tahun 1907, di usia paruh baya, Schreber dirawat di rumah sakit jiwa tempat ia meninggal pada tanggal 14 April 1911. Sebelumnya, pada sakitnya yang kedua Schreber semakin menunjukkan khayalan ekstrimnya dengan titik tekan seksualitas.[33]

“Schreber merasa tubuhnya sedang dirawat dalam berbagai cara yang memuakkan dan ia merasa bahwa dirinya sedang dianiaya dan terluka, terutama oleh Profesor Flechsig, direktur klinik, tempat pertama kali dia dikurung. Pada suatu ketika gangguan jiwa Schreber yang akut ini reda tapi diganti oleh sistem khayalan yang kronis. Seperti penderita paranoia lainnya, Schreber benar-benar normal kecuali apabila khayalan-khayalan lainnya tadi muncul. Dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit pada tahun 1902, meskipun dia mengaku sistem khayalannya terus-menerus muncul ... Dalam tulisan-tulisannya sendiri Schreber meyakini bahwa dirinya diubah menjadi seorang wanita, dia akan dihamili oleh sinar dewa sehingga akan tercipta ras manusia baru.”[34]

Intepretasi Freud menyimpulkan bahwa penyakit Schreber ada hubungannya dengan ketakutan dan keinginan Schreber untuk melakukan hubungan seksual dengan Flechsig. Freud juga menyatakan jika keinginan homoseksual yang dialami Schreber yang diduga terarah kepada psikiater yang menanganinya itu sebagai transferensi dari perasaan homoseksual yang tidak disadarinya yang mulanya tertuju pada ayahnya. Penggantian berikutnya, dari Dewa yang menghamilinya menjadi Flechsig yang menganiayanya ditelusuri kembali dari sumber yang sama.[35]

Dalam mayoritas kasus, orang-orang yang menganiaya memiliki jenis kelamin sama dengan orang yang dianiaya, tetapi dalam beberapa kasus yang dikaji, terlihat bahwa orang yang berkelamin sama yang sangat dicintai sementara waktu oleh pasien normal, kemudian menjadi penganiaya setelah penyakit muncul.[36]

Dalam penelitian lebih jauh, Freud sampai pada kesimpulan bahwa paranoia penyiksaan adalah cara seseorang berproyeksi terhadap dorongan homoseksual yang begitu kuat.[37] Pertama-tama pasien berkata tidak mencintai Si C, selanjutnya khayalan ini diubah menjadi proyeksi bahwa Si C membenci (menganiaya) saya, sehingga akan ada alasan bagi saya ntuk membenci Si C.

Walaupun Freud menekankan aspek libido pada kasus Schreber, namun Meissner melihat bahwa Freud tidak secara eksplisit mengembangkan garis mengenai agresi. Padahal Freud sadar bahwa agresifitas dan dekstruksifitas merupakan dampak dari delusi paranoid.[38]

Freud mengatakan bahwa khayalan Schreber tentang Tuhan, pada akhirnya berasal dari perasaannya terhadap ayahnya dengan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kebanyakan ayah, orang terkenal seperti ayah Schreber (dokter dan pendidik yang terkenal pada waktu itu) akan lebih membangkitkan perasaan patuh karena hormat, perasaan membangkang karena memberontak, yang menurut Freud adalah karakteristik masa kecil seorang laki-laki terhadap ayahnya.[39]



[1] Tulisan ini sebagian diambil pada skripsi penulis Teori Seksualitas Freud tentang Kepribadian: Psikopatologi dan Kritik Psikologi Islami. Penulis meomohon maaf jika ada bahasa yang terkesan vulgar. Ini semata-mata untuk menghadirkan pemikiran psikodinamika seadanya. Sekaligus titik penting sebagai pemahaman sebelum mengkritik psikodinamika.

[2] Kartono, Psikologi Abnormal, h. 7.

[3] Arif, Dinamika Kepribadian, h. 62-63.

[4] Eko Harianto, Psikologi Cinta Sejati, (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2004), h. 35-36. Persepsi cinta juga ditawarkan J. Sternberg lewat triangular of love. Menurutnya cinta adalah sebuah kisah yang ditulis setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaaan seseorang terhadap suatu hubungan. Konsep cinta menurut Sternberg memiliki tiga unsur, yakni gairah, elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Kedua, keintiman, yang merupakan elemen motivasi, dan di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan untuk membina hubungan. Ketiga, komitmen, yang merupakan elemen kognitif berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan sesuatu kehidupan bersama.

Dari interaksi ketiga unsur tersebut, cinta kemudian dibagi beberapa jenis. Akan tetapi, uraian Sternberg ini sarat krtik, karena ia sulit meletakkan dimana cinta seorang anak kepada ibu atau sebaliknya. Ibid., h. 37-41.

[5] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, cet. 14 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 66. Cinta di sini juga bisa disebut cinta produktif. Baginya cinta produktif bisa menjawab gejolak masyarakat modern, salah satu kareteristiknya adalah keratifitas, khususnya aritistik. Hal ini juga menjadi pemandangan serupa dari konsep sublimasi Freud. Konsep ini setidaknya telah berekspansi ke ranah yang lebih sosiologis, walau Fromm pada mulanya bersifat psikologis dan filosofis.

Gagasanya mengenai orientasi manusia modern sangat fenomenal di kalangan psikolog dan sosiolog. Orientasi itu meliputi, orientasi reseptif, eksploitatif, menimbun, dan pasar. Pikiran-pikiran Fromm tentang masyarakat modern sedikit banyak diulas oleh Khoirul Rosyidi. Lebih jelas lihat Khoirul Rosyadi, Cinta dan Keterasingan., (Yogyakarta: LKiS, 2000). Selain Freud dan Fromm gagasan sosial dari kerangka psikologis, terangkum juga oleh Adler dengan skema hasrat sosialnya. Di mana manusia tergerak oleh dimensi sosial di mana ia hidup. Menariknya mereka semua bagian dari mazhab psikodinamika. Dengan ini kita dapat melihat gambaran pribadi seimbang dalam konteks psikodinamika. Ulasan dimensi sosial Adler bisa lebih jelas lihat dalam Pizaro, “Dinamika Jiwa-jiwa Revolusioner,” artikel diakses pada tanggal 3 Desember 2007 dari http//:www.bpi-forum.blogspot.com/2007/12/dinamika-jiwa-jiwa-revolusioner.html

[6] Kondisi equlibirium bisa dimengerti sebagai kondisi ketiadaan hasrat, seperti kita makan untuk menuju equlibirium berupa kenyang. Sedangkan disequlibirium adalah kondisi yang membuat kita tegang atau tidak seimbang, seperti hasrat seksual. Manuver skema psikopatologi yang dilakukan Arif, terlihat lebih mudah untuk kita pahami, ketimbang beberapa kalangan lainnya. Lihat Arif, Dinamika Kepribadian, h. 9.

[7] Ibid., h. 26-27. Dalam bahasa sederhana konflik juga dapat terjadi ketika individu memiliki dua keinginan atau lebih yang kekuatannya sama, tapi saling bertentangan satu sama lain.

[8] Ibid., 28.

[9] Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat. Penerjemah Zakiah Daradjat (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 80

[10] Ibid., h. 80.

[11] Permasalahan jika sang ibu atau ayah mengidap neurosis, belum disinggung oleh Freud. Freud hanya sekali mengurai “kecelekaan” seperti ini, namun bukan dengan gambaran konsep yang jelas, yaitu pada tataran fase anal, dimana jika ibu bertindak kasar bepengaruh pada sang anak. Namun sekali lagi, bahwa itu hanyalah semacam saran atau catatan yang bukan menyentuh diskusi kita mengenai substansi masalah yang kita singgung.

Jika kita berpedoman oleh gagasan Fahmi, justru menjadi tantangan bagi Freudian, Neo Freudian, atau kalangan anti Freud sekalipun untuk menjawab pertanyaan ini dengan subordinasi wilayah neurosis orangtua dari garis batas psikoanalisis.

[12] W. White and Norman F. Watt, The Abnormal Personality, Fourth Edition (New York: Ronald, 1973), h. 458-459. Dalam analisa Freud, skizofrenia belum sampai luas menjadi klasifikasi seperti sekarang ini, di mana Skizofrenia dibagi menjadi subtipe, di antaranya tipe katatonik, hebefrenik, dan paranoid. Seiring berjalannya waktu hadir dua tipe lagi yaitu tipe undifferentiated dan tipe residual. Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, psi. Pengantar Psikologi Abnormal. (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 146-149.

[13] Hipokondria menyangkut keprihatinan berlebih pada diri sendiri. Semiun, Teori Kepribadian, h. 435.

[14] Jeremy holmes dkk, “Narsisme, Fantasi, dan Libido”, dalam Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 546. Narsisme dapat dibagi dua, pertama narsisme primer dan narsisme sekunder.. Narsisme primer terjadi pada masa awal kelahiran, dimana bayi pada waktu itu mengembangkan narsisme primer atau egosentrik (perhatiannya dipusatkan kepada diri sendiri). Setelah ego berkembang, anak biasanya mengentikan sebagaian narsisme primer-nya dan mengalihkan perhatiannya lebih besar kepada orang lain. Akan tetapi, pada masa pubertas, anak-anak remaja acap kali mengarahkan kembali libido kepada ego dan mulai mengutamakan penempilan diri dan perhatian-perhatian lain terhadap diri sendiri. Ini disebut narsisme sekunder. Semiun, Teori Kepribadian, h. 75.

[15] Arif, Dinamika Kepribadian, h. 51.

[16] Object relation theory Klein juga melihat mekanisme pertahahan berupa projective identification dalam kasus skizofrenia. Untuk memudahkan pemahaman mekanisme ini akan diurai lewat tiga tahap. Tahap pertama seseorang merasakan konflik internal yang berat dalam dunia internalnya. Ada bagian dari kepribadiannya yang dirasa mengancam diri atau sebaliknya terancam oleh bagian kepribadian yang lain. Karenanya, ia memindahkan internal object kepada orang lain. Orang pertama kita sebut proyektor dan orang kedua yang dipaksa menerima kita sebut container, untuk menerima internal object-nya, dan dengan demikian merasakan apa yang dirasakan proyektor.

Pada tahap kedua, sebagai akibat dari identifikasi, container mengalami apa yang dialami proyektor. Mungkin container akan merasakan perasaan-perasaan tertentu yang sangat tidak menyenangkan tanpa mengerti sebabnya, kepribadian container akan bereaksi kepada tekanan dari proyektor ini. Jika container memiliki kepedulian pada proyektor, maka ia mampu menanggung bebannya. Container akan mengintegrasikan “objek asing” tersebut ke dalam kepribadiannya, dan dengan demikian, mengubahnya menjadi lebih baik. Jika kepribadian container tidak matang, maka ia akan sangat terganggu oleh tekanan dari proyektor dan berusaha mengeyahkan tekanan tersebut. Reaksi mana yang dilakukan container, sangat menentukan proses selanjutnya.

Pada tahap ketiga, proyektor akan melihat internal object yang telah mengalami pengolahan oleh container. Bila reaksi container di tahap kedua adalah reaksi positif, maka container telah mengubah internal object proyektor menjadi lebih baik. Proyektor ini dapat menginternalisasikan kembali internal object tersebut ke dalam kepribadiannya. Dalam kasus seperti ini, projective identification memiliki makna terapetik. Bila reaksi container di tahap kedua adalah reaksi yang negatif, internal object proyektor tidak mengalami pengolahan. Proyektor tidak dapat menginternalisasikan kembali internal object tersebut, karena akan menimbulkan konflik. Arif, Dinamika Kepribadian, h. 39-41.

[17] Holmes dkk, “Narsisme, Fantasi, dan Libido”, h. 673.

[18] Ibid., h. 673

[19] Philip S. Holzman and Roy R. Grinker, “ Schizoprenia In Adolesence”, dalam Sherman C. Feinstein, ed., Adolescent Psychiatry, vol V (New York: Aronson Inc, 1977), h. 276. Jeffrey Nevid dkk, Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid 2. Penerjemah Tim Fakutas Psikologi UI (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 108.

[20] Mark A. Mattaini, Clinical Intervention With Families, (Wahington DC: 1999), h. 41.

[21] Autisme diidentifikasikan sebagai skizofrenia masa anak oleh White dan Watt. White and Watt, The Abnormal Personality, h. 454. Namun kini autisme tidak lagi dikelompokkan sebagai psikosis seperti dahulu. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) dalam DSM IV dan sejak 1987 World Health Organization (WHO) dalam International Classification of Disease-10 (ICD-10) memasukkan autisme ke dalam gangguan perkembangan pervasif. Theo Peeters, Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autis, (Jakarta: Dian Rakyat, 2004), h. 1-3.

[22] David H. Loof, Getting to Know the Troubled Child, (Tennessee: The University of Tennessee Press, 1978), h. 142-143.

[23] Cynthia R. Pfeffer, The Suicidal Child, (New York: The Guilford Press, 1986), h. 60.

[24] Pfeffer, The Suicidal Child, h. 132.

[25] Freud, Peradaban dan Kekecewaannya, h. 112.

[26] Bob Knight, Psychoteraphy With The Older Adult, (Newbury Park: Sage Publications, 1986), h. 90.

[27] Pada awal abad 20, Freud melihat ketidakpastian paranoia dalam klasifikasi psikiatri yang dibuat dewasa itu. Padahal menurutnya paranoia juga berhubungan erat dengan dementia praecox (skizofrenia). Karenanya, Freud menyarankan bahwa keduanya dimasukkan dalam satu nama yaitu petrafenia. Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 486.

[28] A.A Brill. Freud’s Contribution To Psychiatry, (New York: W.W Norton & Company. Inc., 1962), h. 106.

[29] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 487.

[30] W.W. Meissner, S.J., M.D., The Paranoid Process, (New York: Aronson, 1978), h. 519.

[31] Brill, seorang Freudian dan teman kerja Freud, juga menemukan kondisi paranoid pada pasien yang ditanganinya. Lebih jauh Brill mengetengahkan bahwa pengembangan karakter, delusi persekusi, erotemnia, dan delusi grandeur menghasilkan gambaran dari tipikal sebuah kondisi paranoid. Brill, Freud’s Contribution To Psychiatry, h. 109

[32] Storr, Freud, h. 91.

[33] Schreber mengalami gangguan jiwa pertama pada bulan oktober 1884 sampai juni 1885. Hal ini cukup mengejutkan, karena biasanya penyakit psikosis cenderung bersifat menahun dan kambuhan, namun Schreber sembuh secara meyakinkan dalam waktu relatif singkat. Kemudian ia kembali ke profesinya sebagai hakim, dan tetap sehat sampai tahun 1893. Pada usia 51 tahun, tidak lama setelah naik jabatan, dia mengalami lagi gangguan jiwa yang akut hingga harus dirawat di rumah sakit sampai bulan desember 1902. Kenangan tentang dirinya diterbitkan setahun setelah dia dipecat. Sakitnya yang kedua ini tidak pernah sembuh secara sempurna. Storr, Freud, h. 91.

[34] Storr, Freud, h. 92.

[35] Ibid., h. 93.

[36] Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, h. 489.

[37] Storr, Freud, h. 93.

[38] Meissner, The Paranoid Process, h. 643.

[39] Freud telah menganalisa skema keluarga ini berkaitan dengan paranoia Schreber. Ayah Schreber adalah Dr. Daniel Gotlob Morits Schreber, Schreber juga mempunyai seorang saudara laki-laki. Namun Freud tidak sampai jauh meneliti masa kanak-kanak Schreber, atau tabiat ayahnya pada waktu Schreber kecil. Sedangkan naas, saudara laki-laki Schreber menembak kepalanya sendiri pada usia 38 tahun.

Ayah Schreber sangat otoriter, ia memaksa anak-anaknya sesuai keinginannya. Seperti menjaga tubuh anaknya agar benar-benar tegap dengan berbagai alat yang membatasi gerak, mencegah pengeluaran air mani pada malam hari dan hal-hal yang mengerikan lainnya dengan suntikan pada dubur. Cerita-cerita ini diungkap oleh Morton Schatzman dalam bukunya Soul Murder di tahun 1973. Storr, Freud, h. 95.

No comments: