29 January 2008

SEKSUALITAS Sigmund Freud? So What Gitu Loh: Sebuah Catatan Epistemologis untukmu Mister Freud

PIZARO (MAHASISWA BPI UIN Jakarta)

Epistemologi, atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya.[1]

Namun kita tidak mengetahui sampai di mana potensi akal dalam mengetahui kebenaran? Sekalipun mampu mencapainya, tentu ada konsekuensi batasan. Dalam tradisi Islam, problem epistemologi didamaikan dengan menyertakan aspek transenden sebagai pemilik ilmu. Ikhwan Al Safa, misalnya, menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu ada tiga. Pertama, sudah tentu panca indera, akan tetapi pengetahuan inderawi terbatas pada objek-objek materil. Kedua, akal, tanpa bantuan pancaindera akal tidak dapat berbuat banyak. Karena itu, lanjut Ikhwan Al Safa, ilmu pengetahuan butuh sumber yang membimbing, yakni Allah.[2]

Karena pembahasan filsafati bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak.[3]

1. Spekulasi Teori dan Taklid

Walaupun Sigmund Freud dibilang bapaknya psikologi, namun, kajian beliau turut mendapat kritikan dari ahli-ahli psikologi lain. Satu kritikan tajam ialah di mana Freud selalu mengumpulkan data kajiannya secara spekulatif. Model riset seperti ini dinilai tidak objektif dan bagaimanapun suatu teori tidak boleh digeneralisasikan. Selain itu, pengkaji-pengkaji mendapati rata-rata konsep Freud seperti id, ego, superego, naluri mati, libido dan kerisauan, tidak dapat dibuktikan dengan kaedah eksperimen.

Sekiranya Freud seperti menelan ludah sendiri. Suatu kali Freud mengakui bahwa okultisme atau ilmu gaib dianggap sebagai klenik. Ironisnya, justru Jung menangkap sinyal yang sama dalam teori seksulitas Freud, karena teori Freud seperti hipotesis yang belum terbukti dan pandangan-pandangan spekulatif Freud lainnya. Jung menambahkan bahwa “...Kebenaran ilmiah adalah suatu hipotesis yang mungkin telah cukup untuk masa itu namun tidak perlu dilestarikan sebagai panutan segala zaman...”[4].

Darwin sebagai materialis telah berhasil menyihir Freud untuk mengakui deterministiknya, di sinilah banyak kaum muslim berpandangan bahwa Freud tidak menyaring kembali apa yang dikatakan Darwin. Akhirnya, menurut Purwanto, kaum Freudian menganggap bahwa perilaku manusia layaknya binatang yang diiisi insting-insting.[5] Terlebih materialisme Darwin sudah dianggap miring oleh umat Islam.

Spekulasi teori yang tidak dilandasi oleh dimensi ketuhanan hanya akan membawa kekeliruan fatal. Padahal menurut Al Qaradhawi, Allah memuliakan manusia dengan akal dan kemampuan untuk belajar dan menjadikan ilmu sebagai penunjang kepemimpinan manusia di bumi. Islam datang dengan anjuran agar manusia berpikir, melakukan analisis, dan melarang untuk sekedar ikut-ikutan atau taklid.[6]

2. Kriteria Psikopatologis

Badri memberikan contoh sebuah adat istiadat Sudan yang non Islam. Di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengantin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, seorang psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin memandang pengantin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Pengantin pria itu akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya.[7]

Kriteria psikopatologis Freud juga dibilang absurd ketika menjelaskan motivasi bom bunuh diri dan majelis dzikir dalam tradisi muslim. Jika dikatakan itu adalah bentuk neurosis, namun bisa jadi Freud yang psikopatologis dalam hal ini. Freud dibilang tidak fair jika hanya menjelaskan konsep neurosis dengan mengambil sample “Barat” untuk menjelaskan “Timur”. Dalam Asy Syab, Al Baihaqi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah Saw. bersabda “...Allah berfirman, orang yang menyibukkan diri dengan berdzikir mengingat-Ku, maka Aku akan memberinya anugerah terbaik yang diminta manusia...”[8].

Menurut Mubarok, motif mati syahid berbeda dengan insting mati, karena karakter insting mati itu agresif yang bersifat destruktif. Sementara motif mati syahid, walaupun sama-sama menekankan agresif tetapi tidak destruktif. Ia berlandasakan semangat mulia yang bertujuan menghancurkan kebatilan di dunia yang menginjak harkat martabat manusia. Akan tetapi, insting mati dalam termin Freud, semata-mata dilakukan dengan dasar kebencian.[9] Selain itu, dalam insting mati, individu menjadi sedih akan perbuatannya ketika orang yang dibenci meninggal dunia. Sementara dalam konteks mati syahid atau jihad yang ada adalah kebanggaan.

Kemudian jika dibilang tasawuf adalah bentuk psikopatologis, Freud sulit menyangkal ketika tasawuf efektif sebagai jalan terapi mengobati derita manusia. Seperti terapi tobat terhadap penderita penyakit psikosomatis. Uraian ini bertolak belakang dari pemikiran bahwa sumber psikosomatik dapat disebabkan oleh gangguan yang sifatnya psikis atau dapat juga disebabkan oleh gangguan yang sifatnya organis.[10]

Atau do’a yang dipandang bukti ketidakpercayaandiri manusia, justru dijadikan Charless Shedd sebagai terapi psikologis mengatasi marah untuk meredakan intensitas emotif.[11] Atau Freud yang serius dengan peradaban, mau mengatakan bahwa transaksi zakat, infak, dan sedekah dalam tradisi muslim yang dilandasi kecintaan sesama umat dalam membantu segi kehidupan dapat dicap paranoia atau delusi doktrinal agama, ketika bayangan tentang pahala dari Tuhan memotivasi para muzakki? Yang ada menurut Djarot Sentosa adalah pemberdayaan kecerdasan melalui pendekatan amaliah.[12]

3. Metode Penelitian

Cara dari metode asosiasi bebas Freud juga diragukan. Pertama dari sisi Freud sendiri yang tidak langsung mencatat ucapan-ucapan dari mulut pasien, namun hanya mengingatnya saja, dengan dalih akan mengganggu kosentrasi. Kedua pada ingatan pasien itu sendiri, kita tentu bertanya seberapa kuatkah ingatan pasien tentang memori masa kecilnya. Sekalipun akan mengingat tentu sulit untuk mengidentifikasi apakah yang diingat pasien benar-benar merujuk pada kejadian serupa. Padahal menurut Sumantri, pancaindera kita bukan hanya terbatas, tapi dapat menyesatkan. Karena itu ini tidak hanya menjadi problem Freud an sich, tapi keilmuan secara menyeluruh, di mana imbuh Sumantri kekurangan-kekurangan epistemologi ilmu adalah ketika ingatan kurang bisa dipercaya sebagai cara untuk menemukan kebenaran.[1]

Maka itu Al Ghazali pernah apatis kepada monopoli akal dalam epistemologi. Contohnya ketika bermimpi, orang melihat hal-hal yang sepertinya kebenaran, namun setelah ia bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu ternyata salah.[2] Dan keraguan ini juga sekaligus sebagai kritik kepada tafsir mimpi yang mengabaikan peran serta Zat suci. Berbeda dengan Ibnu Hazm yang tidak dapat menampik akan kekuatan di luar manusia yang membentuk mimpi, yaitu Allah.[3]

Pada sisi yang lain, ilmu memang dibenturkan kepada doktrin selfish sebagai sumber mendapatkan kesimpulan. Ini terjadi pada konsep analisis diri Freud yang dapat menimbulkan dualisme. Di satu sisi Freud meyakini bahwa analisis diri perlu bagi penelitian alam bawah sadar. Namun di sisi lain jika analisis diri dipakai oleh psikolog lain, dan hasilnya berbeda, mana yang harus diyakini sebagai suatu kebenaran? Jika yang dikatakan adalah analisis dirinya Freud, bukankah itu adalah tindak otoritarian atas nama keilmuan? Dan yang lebih penting lagi adalah apa tolak ukurnya? Sekiranya Freud alpa dalam merumuskan ini.

Sutrisno Hadi menilai pengalaman-pengalaman pribadi tidak dapat berdiri sendiri, banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang sifatnya sangat subyektif menyebabkan pengalaman manusia mempunyai sifat-sifat terbatas. Pertama-tama pengalaman yang sangat pribadi tidak ada atau sedikit sekali yang mempunyai derajat generalisasi yang luas. Kedua, keadaan orang yang bersangkutan menentukan corak dan isi pengamatan dan pengalamannya. Sutrisno Hadi kemudian menilai “keunikan” pengalaman umumnya dapat membawa problem serius.

1. Mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat pribadi.

2. Kurang tepat atau kurang cermat dalam mengamati hal-hal yang penting tentang sesuatu persoalan.

3. Menggunakan alat-alat pengukuran yang penilaiannya sangat subyektif.

4. Kurang fakta-fakta sudah menarik kesimpulan.

5. Mengambil suatu kesimpulan yang salah karena telah mempunyai prasangka-prasangka.

6. Peranan faktor-faktor yang tidak disadari. Misalnya dalam apa yang disebut proyeksi, orang merasa mengenal orang lain, tetapi sebenarnya apa yang ia sangka menjadi sifat-sifat orang lain adalah sifatnya.[4]

Dari butir-butir di atas benar adanya dalam teori seksualitas Freud, sekaligus menjadi rumusan penting untuk menyibak pribadi Freud yang selalu bertahan dalam komitmen teorinya. Freud tidak open-minded dalam menerima opini lain yang membuat koleganya menjadi tidak betah. Jangankan dengan kritik dari para pemuka agama, dengan orang yang telah dianggap bak anak sendiri, seperti Jung saja, Freud enggan mendengarkannya. Friksi anatara Jung dengan Freud berawal kepada monopoli seksualitas yang sudah dianggap tuhan oleh Freud. Namun perlawanan gigih Freud kepada Jung juga kuat.[5]

Sekiranya ini pernah terbuktikan ketika Jung benar-benar mengalami ketakutan atas pandangan orisinalnya tentang inses, hingga ia selama dua bulan tidak menyentuh pena. Ia tahu betul Freud tidak mau menerima opininya. Dan apa yang dicemaskan Jung betul adanya, hubungan antara mereka merenggang dan tak lama kemudian terputus.[6]

Ingatan-ingatan dari pengalaman dari abad 19 sebenarnya membawa kita pada suatu pelajaran bahwa kerendahan hati adalah kunci menuju keagungan ilmu. Mekanika klasika, misalnya, mengalami kejayaan hebat yang tidak disangaka para ilmuwan, sayangnya kejadian ini sontak membuat kaum ilmuwan mengeluarkan sikap sombongnya, seolah-olah mereka memegang kunci khazanah seluruh rahasisa alam. Padahal seperti dikatakan Rabonowitch bahwa “...Hal itu merupakan kesan keliru tentang kemegahan, yang segera lenyap...”.[7]

Wilardjo kemudian merinci sejak 1900 tonggak-tonggak keilmuan seperti teori kenisbian, teori kuantum, asas ketidakpastian, dan lainnya, telah mengajarkan ilmuwan untuk bersikap rendah hati, terbuka, kritis, dan toleran. Michael Polanyi malah dengan optimis melihat harapan yang mekar dengan subur karena para ilmuwan belajar saling mempercayai dan mencampakkkan sinisme yang lahir dari kesyakwasangkaan antara satu sama lain.[8]

Wacana klasik menegaskan bahwa analisis diri dapat dijadikan muara keyakinan, sekaligus terapi, tentunya dengan subordinasi ketuhanan dan kerendahan hati. Ibnu Hazm suatu waktu memakai bentuk analisis diri untuk merangkum wacana di atas. Dia menyebutkan pengalaman pribadi yang dialaminya sendiri untuk mengatasi rasa bangga diri (ujub). Dia menyarankannya dengan cara individu harus mau melihat aib sendiri dengan akal sehat, menugaskan diri sendiri untuk menghina kemampuannya secara total, serta memanfaatkan sikap rendah hati sehingga terbebas dari penyakit ujub. Ibnu Hazm melakukan terapi ujub dengan menggunakan lawan ujub, yaitu rendah hati. Di satu sisi, dia mencari dan mengungkapkan aib sendiri, tapi di sisi lain, dia mengharuskan untuk menghina diri sendiri dan bersikap rendah hati yang merupakan kontraproduksi dengan sikap berbangga diri. Model Ibnu Hazm ini berlawanan asas dengan teori seksualitas Freud, ketika yang terjadi pada Ibnu Hazm adalah sikap tidak tinggi hati untuk menggeneralisir analisis dirinya sebagai kebenaran mutlak.[9]



[1] Suriasumanteri, “Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi” h. 17.

[2] Dr Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 80.

[3] Ibnu Hazm yang berbicara tentang mimpi dengan filsafat Islam menjelaskan jenis-jenis mimpi yang terklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama, ada yang berasal dari setan, yaitu sesuatu yang berasal kerancuan dan kebingungan yang tidak sewajarnya. Kedua, ada yang mimpi berasal dari kata jiwa, yaitu mimpi yang menyibukkan seseorang pada saat terjaga sehingga ia melihatnya dalam mimpi, baik karena takut terhadap musuh atau bertemu sang kekasih atau bebas dari ketakutan, atau yang sejenisnya. Ketiga mimpi yang terjadi karena dominasi karakteristik tertentu, semisal mimpi berlumuran darah karena dominasi warna merah. Dan terakhir, mimpi yang langsung datangnya dari Allah yang jiwanya bersih dari noda badan dan bebas pikiran-pikiran yang kotor, sehingga Allah memberikan petunjuk atas berbagai misteri yang belum terjadi. Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Penerjemah Gazi Shaloom S.Psi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 186.

[4] Hadi, Metodologi Research, h. 36.

[5] Jung pernah menceritakan tentang mayat-mayat berlumpur pada suatu makan malam bersama di Bremen. Tentu saja Freud menjadi jijik mendengar itu semua, dan tiba-tiba dia pingsan. Dalam hal ini Freud “seakan-akan” menunjukkan bahwa insting mati memang ada. Selanjutnya, setelah Freud sadar, ia mengatakan kepada Jung bahwa obrolannya tentang mayat-mayat itu., adalah sebentuk harapan kematian kepada Freud. Mendengar hal itu, Jung sangat terkejut pada kuatnya intensitas fantasi Freud pada prinsip seksualitas. Freud memang mempunyai riwayat gangguang pingsan mendadak. Temuan mengutarakan, gangguan ini hampir menghiasi dirinya, selama penyelenggraan Kongres Psikoanalitik di Munich pada tahun 1912. Jung, Memories, h. 215.

[6] Ibid., h. 229-230.

[7] L. Wilardjo, “Ilmu dan Humaniora”, dalam Jujun S. Suriasumanteri, ed., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LEKNAS-LIPI, 1985), Cet. ke-6, h. 240-241.

[8] Ibid., h. 241.

[9] Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 197. Bandingkan juga dengan intensitas paradoksal Frankl. Suatu bentuk terapi yang menertawai diri sendiri untuk memecahkan gangguan jiwa. Koeswara, Logoterapi, h. 129-132.


[1] Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumanteri, ed., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Inodnesia dan LEKNAS-LIPI, 1985), cet ke-VI, h. 9.

[2] C. A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basari (Jakarta: Obor, 2002), h. 60.

[3] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h. 53.

[4] Jung, Memories, Dreams, Reflections, h. 207.

[5] Purwanto, Epistemologi psikologi Islami, h. 82.

[6] Yusuf al-Qaradhawi, Konsep Islam: Solusi utama bagi Umat. Penerjemah M. Wahib Azis, Lc (Jakarta: Senayan Abadi, 2004), h. 31-32,

[7] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h. 54.

[8] Abdul Halim Mahmud, Terapi dengan Zikir: Mengusir Kegelisahan dan Merengkuh Ketenangan Jiwa. Penerjemah Luqman Djunaidi (Jakarta: Misykat, 2004), h. 70. Amin An Najr ketika mengutip Al Muhasibi berpendapat pikiran was-was atau obsesif dalam terminologi modern dapat dipalingkan dengan zikir. Namun jika individu membiarkannya dengan kelalaian, maka ia akan menjadi musuh yang paling membahayakan. Al Muhasibi selanjutnya menegaskan apapun yang diciptakan oleh Allah pasti memiliki antonim dan sinonim. Sebagai contoh, persamaan jiwa adalah setan dan lawan keduanya ruh. Amin An-Najr, Mengobati Gangguan Jiwa. Penerjemah Ija Suntana (Jakarta: Hikmah, 2004), h. 148.

[9] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 191.

[10] Pembahasan terapi tobat bagi penderita penyakit psikosomatis ini diilhami oleh penelitian Ani Andayani dari jurusan Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2002. M. Solihin, Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 123.

[11] Rahmat Mulyono, Terapi Marah: Mengendalikan Amarah dengan Pendekatan Psikoterapi Islami (Jakarta: Studia Press, 2005), h. 85.

[12] Muhammad Djarot Sentosa, Quranic Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan Al Qur’an (Jakarta: Hikmah, 2004), Cet. ke-2, h. 301. Sebelumnya Djarot sentosa mengurai bahwa kecerdasan dapat diberdayakan dalam dua bentuk, yaitu ruhani dan amaliah. Pendekatan melalui ruhani meliputi peningkatan keimanan, bertakwa dengan sebenarnya, berdoa tanpa henti, dan berzikir tanpa batas. Sedangkan pendekatan amaliah meliputi pengkajian terhadap Al Qur’an dan menyampaikan kandungannya, salat, puasa, zakat, infak, sedekah, dan haji. Terakhir melalui tafakur terhadap alam semesta.

No comments: