02 November 2007

KONSELING RIWAYATMU KINI

Oleh: Pizaro*

Quo Vadis Konseling? Suatu problema Konseling dewasa Ini

Cukup lama juga kita tidak asing mendengar Bimbingan Konseling mewarnai perjalanan hidup keilmuan yang ada. Sebagian orang telah dengan sengaja untuk terjun di bidang ini. Bergelut, mangkaji, diskusi, memberikan konsep hingga berujung pada suatu temuan ilmiah yakni teori. Hal ini seakan membawa nama BK menjadi harum dan dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu proses ilmiah menangani problema manusia.

Berpuluh tahun kata konseling dijadikan wacana dari pertalian antara dua orang yang saling berbincang untuk menemukan suatu solusi. Sejak puluhan tahun BK telah menjelma menjadi keilmuan mandiri, yang dibuktikan dengan munculnya jurusan-jurusan BK baik di barat, pun di Indonesia. Walaupun pada akhirnya munculnya jurusan itu masih dimonopoli kampus-kampus pendidikan atau kampus yang berorientasi pada wilayah keguruan.

Secara keilmuan, banyak definisi-definisi yang dipelajari di kampus mencoba memberikan pemahaman bagi mahasiswa mengenai makna konseling, mulai dari mengarahkan, membimbing, pendekatan psikologis atau sekedar curahan hati. Dalam konteks yang cukup serius, -seperti yang ditekankan dalam literatur konseling- konseling menemukan jatidirinya dalam asumsi kapada cengkraman etis profesional, komersial dan persepsi-persepsi yang menisbahkan konseling kepada unsur profesi. Hal itu didasarkan kepada buku-buku pengantar Bimbingan dan Konseling dalam tafsirkn BK dengan penjustifikasian wacana-wacana itu tadi.

Banyak kalangan pada akhirnya, terilhami setting pikiran seperti itu tadi yakni interpretasi BK kepada wilayah yang lebih terlihat personal. Ekses dari hal tersebut seakan menjadikan konseling sebagai salah satu kegiatan yang bernuansa soft atau lembut.

Mengapa akhirnya penulis mempunyai pandangan tersebut?Pertanyaan ini berawal ketika penuls menjalani keseharian menjadi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Hal itu dilanjutkan kepada beberapa literatur-literatur konseling yang ada, serta untaian-untaian dosen yang menceritrakan mengenai teknis konseling. Seperti Prof Zakiyah Dradjat yang mencoba menjelaskan tentang metode Non Direktif dengan referensi pengalaman beliau selama menjadi konselor.

Seiring zamanpun banyak beberapa pendekatan konseling yang hadir untuk memberi warna baru dan berorientasi pada pemecahan masalah. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya metode RET, Trait dan Factor, analisis transaksional, Klinikal, dan banyak lagi.

Ada beberapa hal yang mesti didiskusikan mengenai karakter BK saat ini. Cara yang baik ialah dengan melakukan reinterpretasi mengenai makna BK. Setidaknmya ada sekitar 5 masalah yang menjadi “biang keladi” dalam merias wajah BK dewasa ini. Gugatan secara etis layak untuk dimunculkan mengingat sekarang kita sedang bicara mengenai pengembangan BK.

  1. Menangani/Mengobati

Konseling tidak tepat rasanya jika hanya dilakukan untuk mengahadapi masalah. Banayak pihak menilai Konselor bekerja menangani masalah yang ada, dan berkesudahan ketika masalah itu terselesaikan juga ataupun ketika klien tidak lagi mendatangi konselor.

Berangkat dari perdebatan antara wilayah kerja BK dan Psikoterapi. Tidak jarang pakar merangkum distingsi kedua hal tersebut. Seperti dirangkum oleh Latipun mengenai perbedaan keduanya, disebutkan bahwa BK menangani masalah yang situasional sedangkan Psikoterapi menangani emosional yang berat neurosis.[1]

Namun titik tekannya bukan hanya pada kualitas kasus, tetapi pada periodeisasi masalah. Ada baiknya BK tidak hanya disibukkan pada bentul layanan mengobati masalah, tetapi ada bentuk yang dilupakan sebagai ciri khas kesempurnaan serta kemapanan BK yaitu mencegah dan membangun.

  1. Lisan

Dalam era glonbalisasi ini dimana segala hal serba baru dan kreatif, banyak ilmu dipacu untuk mengepakkan sayapnya dalam menangani krirsis manusia modern. Tak terkecuali BK yang patut menyeburkan diri dalam pusaran ini.

Dunia jurnalisme sebagai dunia tulis menulis dapat dijadikan partner untuk mengemas BK melaui tulisan yang termuat dalam media massa. Internet? Rasanya diandalkan dalam mewujudkan visi ini, seperti yang dilakoni e-psikologi dengan konseling via emailnya. Atau lebih menariknya guru BK dapat membuat semacam rubrik BK dengan kemasan menarik untuk memikat siswanya. Hal ini dirasa perlu karena tidak setiap orang dapat mendatangi konselor, selain itupun banyak individu yang canggung berbicara kepada konselor.

  1. Institusi Pendidikan

Permalahan ini cukup urgen, bahwa BK ialah ada di Sekolah, secara tak langsung. Memepersempit ruang kerja BK. Ini tidak lepas dari “monopoli” jurusan BK yang diletakkan di kampus keguruan dan pendidikan. Dan khususnya di Indonesia fenomena ini pun belum dirasa berkembang secara signifikan untuk membentuk BK non pendidikan.

Disudut realita, sebenarnya tidak semua kampus memojokkan BK ke wilayah ekslusifitas pendidikan, toh ada beberapa keguruan yang mencoba untul lepas dalam pergulatan pemikiran dengan tujuan akhir pendidikan. membuka studi konseling karir, lintas budaya atau sosial kemasyarakatan. namun hidupnya jurusan itu di kampus-kampus dengan latar keguruan, akhirnya sulit membenamkan rasa apriori pada 2 wilayah yaitu keilmuan dan ruang kerja.

  1. Individu

Individupun tidak kalah pentingnya dalam menciptakan sebuah nilai atau paradigma. Seperti yang disebut diatas tadi, tentang stigma BK sebagai jurusan yang soft memang tidak bisa dielakkan, ketika BK masih berfokus pada penanganan individu.

Penulis melihat stigma individu nyang ditanamkan kepada BKI, berkenaan dari berbagai teori yang ada. Secara historis wajar jika teori itu berorientasi kepada individu, mengingat teori BK belum lepas dari penciptanya yang berasal dari psikologi atau psikiatri. Sebutlah Carl Rogers, Ivan Pavlov, BF Skinner, Alfred Adler dan sebagainya[2]

BK sebagai event monopoli individu, tentu tidak etis diletakkan pada asumsi yang salah. Akan Tetapi berangkat dari corak suatu budaya dan masyarakat yang juga bangga dengan jatidiri massa, perlu dipertimbangkan. Banyak individu yang merasa nayaman dengan pendekatan BK secara massa. Analogi mudahnya seperti pertandingan sepakbola. Ada orang yang nyaman menonton sendiri, namun banyak juga yang lebih menikmati jalannya pertandingan secara beramai-ramai, atau pula berangkat langsung ke stadion, melihat bintang pujaan. Ini berarti BK pun dapat menarik, jika dikemas dalam bungkus massa, dengan dampak positif para klien dapat terpacu adrenalinnya.

Ada yang perlu yang diingat bagi model intervensi secara massa. BK secara massa harus pula dibingkai yang bersifat dinamis, progresif dan mengikuti pola-pola yang kreatif sesuai tuntutan zaman.

  1. Inisiatif Klien

Perguruan tinggi mempunyai 3 karakter yang dipelihara secara luhur yang populis disebut tridharma. Pengajaran, penelitian serta pengabdian. Secara etis tiga hal itu mesti dipraktikan juga dengan kreatif dan penuh dinamisasi. Konselor sebagai pengabdi masyarakat mesti berperan aktif dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat madani. Konsekuensi logis dari hal ini adalah aktivasi BK digalakkan dalam suatu setting kemasyarakatan. Tidak sepantasnya konselor hanya menuggu inisiatif klien datang, dan berorientasi komersial. Hal ini sebagai tantangan LSM BK yang mempunyai target-target pembinaan masyarakat.

Membuka Tabir substansi Bimbingan dan Konseling.

Perdebatan mengenai bimbingan dan konseling memang jarang mengemuka, namun bukan menjadi suatu pedoman untuk tidak kita meintensitaskannya. Hal ini berguna sebagai titik tolak untuk menuju dinamika bimbingan dan konseling itu sendiri. Akhirnya wilayah ini memang harus disosialisasikan.

Selama ini diskusi yang dilakukan, lebih sering kepada bentuk metode ataupun pengulasan suatu kasus. itu artinya perdebatan konseling selama ini lebih diarahkan kepada bentuk konseling. Padahal selain itu ada satu hal lagi yang jauh lebih penting atau dapat juga disebut kontroversial yaitu substansi. Titik tekan inilah yang penulis akan tembak.

Penulis melihat wilayah ini cukup urgen untuk kita bedah dan urai dalam bentangan keilmuan bimbingan dan konseling. Karena landasan dari wajah BK salah satunya dimainkan oleh peran serta substansi. Ibarat sayuran substansi dapat menjadi sayuran itu sendiri, atau dapat pula menjadi garam.

Satu hal yang terus mengganjal dalam batin yang berkaitan dengan substansi BK ialah tidak berkembangnya -secara signifikan- ilmu bimbingan dan konseling baik di kampus maupun dalam praktiknya. Sekian lama ilmu bimbingan dan konseling dikungkung dalam area pendidikan untuk disalurkan ke sekolah-sekolah baik menengah maupun atas.

Fenomena ikatan perseptif antara BK dan dunia pendidikan, akhirnya melahirkan sebuah permasalahan lain yaitu paradigma. pendidikan yang lekat dalam nuansa BK, disadari atau tidak akhirnya menggiring opini masyarakat tentang peran serta BK. Terlebih anggapan yang mengansumsikan BK sebagai polisi sekolah, toh terus bergulir seperti bola panas. Hal ini sebenarnya tidak jauh dari kegiatan BK itu sendiri yang belum mengepakkan sayap secara lebar. Contoh yang dapat direnungkan adalah kegiatan-kegiatan seperti hanya mengajar di kelas, menangani kasus perkelahian, memberi nasehat kepada siswa yang membolos, memanggil anak yang berpacaran dan lain-lain. Pada bentuk itu kita dapat sepakati bahwa itu wajar. Tetapi secara paradigma tentu melenceng dari komitmen. Apalagi BK terseret pada arus yang memaksanya untuk memakai topeng hitam-putih kasus.

Karenanya bersandar dari anggapan itu. Masyarakat juga keliru dalam meintepretasikan peran BK. Tentunya akan ada konsekuensi logis dari itu semua, mengingat problema-problema yang dihadapi BK di sekolah belum ditanggulangi secara massif. Beberapa point itu menjadi menarik untuk didiskusikan di sela-sela perkuliahan atau sesama oknum BK, jika mau lebih dari itu, caranya dengan masyarakat.
Efektifitas diskusi adalah perlu dalam menjelaskan substansi BK. Dengan syarat setiap pendiskusi haruslah berpikir kreatif, dinamis, ikhlas, serta mempunyai keinginan kuat untuk merubah kondisi yang ada.

Reintepretasi: Memperdebatkan kembali Apa itu substansi BK?

Sebenarnya wilayah substansi BK cukup sulit diterjemahkan bagi penulis. Bagi penulis pribadi, hal ini disebabkan karena beberapa hal. Pertama-tama mungkin selama ini penulis tidak mendapatkan partner yang tepat untuk menjawab telisikan ini. Banyak oknum yang masih canggung-atau bahkan memang belum tersadar- untuk berwacana sekedar menemukan substansi BK. Ada hal lain yang justru menarik, ide substansi BK yang ingin digulirkan oleh beberapa partner sharing, ternyata terlalu jauh untuk dikatakan sebagai substansi yang ilmiah, sebab menjadi melenceng dari etika BK itu sendiri.

Faktor yang kedua ialah sedikitnya buku-buku atau tulisan-tulisan ilmiah yang mencoba menawarkan konsep substansi secara jelas. Fenomena yang banyak terjadi justru berkembang pada wilayah filosofi suatu metode atau pendekatan konseling.

Untunglah situasi diatas hanya menjadi kerikil-kerikil yang membuat penulis bersemangat, untuk mencoba bergelut pada ide ini. Selain itupun, pengalaman dan kondisi yang malah menjadi “teman” atau motivatior bagi keteguhan tekad menjawab keraguan mengenai substansi BK.

Ada dua hal menjadi pertimbangan dalam meracik substansi BK yang pas di era sekarang. Pertama, Kritisisme dalam membangun argumentasi BK. Ini menjadi dasar untuk mendirikan bangunan substansi BK. Lalu yang kedua adalah mengikat konteks BK yang mempunyai pohon psikologi untuk menjadi pegangan.

Pertama membangun Kritisisme. Sebagai mahasiswa yang hidup di jurusan dengan nafas BK. Terkadang kerap dicap sebagai mahasiswa lembut atau soft, bahkan kalem, pendiam, gak neko-neko. karena BK tidak sedialektika ilmu politik, ekonomi, fillsafat, sosiologi dll. Jadi, yang mereka jadikan untuk mengkritik BK, lebih ditekankan pada keilmuan BK yang lebih mengarah kepada wilayah personal.

Perlu dicatat tak ada ilmu dimanapun juga, dapat berkembang dengan menyisihkan unsur kritisisme di dalamnya. Karena bagian dari menifestasi ilmu itu ya kritis itu sendiri. Kita ambil contoh yaitu filsafat. Sebagai ibu ilmu, filsafat banyak berkembang menjadi ilmu-ilmu baru berkat semangat kritis para punggawanya. Di lingkup psikologipun mengambil cara kritis dalam kepakkan sayapnya. Psikoanalisis klasik yang menjadi luar biasa di era pada waktu itu, lama-kelamaan menghilang karena nafas para kritikusnya, seperti C.G Jung, yang ialah seorang Freudian sebelumnya. Atau kritikus psikoanalisis lainnya seperti Alfred Adler, yang endingnya menelurkan bentuk psikologi individu.

Maka itu kita harus yakin terhadap kritisisme sebagai salah satu tonggak melahirkan substansi BK. Kritisisme pun harus dilakukan dengan visi yang konstruktif dan relevan agar target tercapai.

Kedua, mengikat konteks BK dengan pohon psikologi. Ada kisah menarik ketika salah seorang dosen dari Bandung yang ditugaskan untuk mengakreditasi jurusan penulis. Ketika selesai melakukan dialog dengan pihak fakultas, Sang dosenpun-yang juga assesor bagi akreditasi jurusan penuls- melihat ruangan praktik BK yang bertempat di Lt.7. ketika sampai, sang dosenpun kaget melihat ruangan BK bertuliskan “ruang konsultasi”.

Kadang terjadi ambiguitas masalah yang penting ini[3]. Di satu sisi secara makna tidak ada perbedaan. Tetapi pada realitanya seharusnya kedua hal itu dipakai dalam konteks yang berbeda. Perlu diperhatikan dengan jelas. Konseling tidak terfokus pada suatu ruang saja dan mempunyai sentuhan psikologis, sedangkan konsultasi digunakan pada satu ruang dan terlepas dengan ranah psikis. Seperti halnya konsultasi bisnis, konsultasi hukum, konsultasi kecantikan, konsultasi keuangan. Atau konsultasi agama. Walaupun ada beberapa yang tidak jelas pemakaiannya, contoh konsultasi perkawinan. Konsultasi perkawinan sebenarnya dapat mewakili keduanya, tergantung ranah atau ruang mana yang dominan.

Orang yang bergerak dalam bidang akademik BKpun sebenarnya tidak luput dalam kekeliruan dua kata ini. Hal itu terjadi pada Lembaga Bimbingan dan Konseling (LBK) UPI Bandung. Dalam situsnya LBK UPI menampilkan kata konsultasi pada salah satu bentuk layanannya. Tetapi ternyata ketika dibuka justru yang keluar adalah kata konseling[4].

Kenapa hal ini kita perdebatkan dalam substansi. Jawabanya mengarah kepada etika keilmuan yang menodong kita untuk memisahkan sebuah ilmu agar tidak tumpang tindih. Atau dalam konteks filsafat ilmu, popular dengan sebutan ontology.

Dengan kaitannya dengan ontology, Psikologi sebagai akar haruslah tercermin dalam BK. Baik secara teoritis maupun praktis. Kesalahpahaman dalam menafsirkan BK yang telah lama bergeming di paradigma masyarakat, harus juga diarahkan dalam wajah asli BK. Disinilah peran anggota akademik yang lumrah bertanggung jawab, dengan memperjelas wajah asli tersebut, via permainan peran di kampus maupun di masyarakat.

Sekarang kita akan coba mengarahkan tema saat ini mengenai substansi BK. Dalam menemukan substansi BK, ada beberapa gagasan yang dapat kita tarik melalui definisi ahli dengan melihatnya di beberapa buku pengantar. Donald G. Mortenson dan Alan M.Schmuller dalam bukunya Guidance in Today’s Schools seperti dikutip Dewa Kertut Sukardi, konseling dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan dengan seseorang, dimana seseorang dibantu oleh orang lainnya untuk meningkatkan pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya.[5]

Definisi senada juga dicetuskan oleh Pepinsky and Pepinsky yang mengatakan konseling adalah suatu proses interaksi yang terjadi antara dua orang individu yang disebut konselor dan klien, terjadi dalam situasi yang bersifat pribadi diciptakan dan dibina sebagai suatu cara untuk memudahkan terjadinya perubahan-perubahan tingkah laku klien, serhingga memperoleh keputusan yang memuaskan kebutuhannya.[6]

Definisi yang lebih komperhensif dan berkarakter ditawarkan oleh C.H Pattersson. Seperti yang dicatat oleh Dewa Ketut Sukardi. Pattersson mengemukakan karakteristik yang terkandung dalam batasan konseling sebagai berikut[7]:

  1. Konseling ialah berhubungan dengan usaha, untuk mempengaruhi perubahan sebagian besar dari tingkah laku klien secara sukarela.
  2. Maksud dari konseling ialah menyajikan kondisi yang dapat memperlancar dan mempermudah perubahan sukarela itu.
  3. Klien atau konseli mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling secara khusus ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada waktu permulaan proses konseling itu.
  4. Konidisi yang memperlancar perubahan tingkah laku itu diselenggarakan melalui wawancara.
  5. Suasana mendengarkan terjadi dalam konseling, tetapi tidak semua proses konseling itu terdiri dari mendengarkan itu saja.
  6. Konselor memahami klien.
  7. Konseling diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan hasilnya dirahasiakan.
  8. Klien mempunyai masalah-masalah psikologis dan konselor memiliki keterampilan atau keahlian di dalam membantu memecahkan masalah-masalah psikologis yang dihadapi klien.

Dari ketiga definisi diatas tersirat konseling diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan dua individual, antara konselor dan klien. Suasananyapun bersifat pribadi dan penekanannya pada perubahan tingkah laku dalam menghadapi masalah. Sedangkan dalam konteks ikatan emosinal yang dibentuk, dicoba digiring untuk memahami serta mengerti permasalahan serta klien.

Pengertian tadi juga mencerminkan nilai vital dari jatidiri BK selama ini. Dampak dari hal tersebut akhirnya bergumul dengan tujuan akhir membentuk paradigma BK saat ini. Karenanya arti-arti tersebut memanglah belum lepas dari pandangan BK klasik yang dimana BK masih dinisbahkan terhadap pertemuan dua individu dalam mencapai tujuan. Tiga buah definisi tersebut juga tidak boleh sembarangan digeneralisir terhadap arti BK itu sendiri. Rasanya itu yang muncul bila kita coba memunculkan definisi konseling yang disusun oleh mereka yang ahli di bidang tersebut. Dalam bukunya Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, John McLeod, mengutip definisi konseling yang dikeluarkan oleh British Association of Counselling[8]:

Kata Konseling mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah. Tugas konseling adalah memberikan kesempatan terhadap klien untuk mengeksplorasi, menemukan dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu.

Ada dua hal penting yang dapat dipetik ialah bahwasanya konseling tidak mutklak dilakukan dengan setting dua individu, serta konseling tidak melulu menghadapi sebuah permasalahan, karena pengembangan diripun menjadi menarik untuk di intervensi. Definisi dari BAC ini sejalan dengan wacana reformasi paradigma BK. Maka itu rumusan mengenai substansi BK menjadi penting sebagai titik pijakan kegiatan BK kedepan. Dan dengan melihat arti dari BAC tadi bukankah ada yang salah dengan substansi dan paradigma BimbIngan dan Konseling saat ini?

* Mahasiswa BPI UIN Jakarta Semester Akhir

[1] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM) 2003 h. 15

[2] Psikiatri sering disebut ilmu kedokteran jiwa, tetapi penulis bukan pada wacana yang memastikan bahwa psikiter pasti menangani individu, tetapi lebih kepada cara mereka menemukan bentuk terapi atau teori dengan pengalaman individu-individu yang bermasalah.

[3] Penulis tidak meneyepelekan masalah ini, karena konsultasi dan konseling memang suatu istilah yang sudah menmpunyai corak praktiknya masing-masing. Selain itu pula istilah konsultasi tidak dipakai dalam buku-buku mengenai konseling. Bahkan kampus-kampus di luar negeri tidak jarang menggunakan kata counseling yang mengisyaratkan konsultasi administrasi mahasiswa, jauh dari substansi yangf sekarang kita tuju.

[4] Lebih jelasnya dapat dilihat di situs www.lbk-upi.edu.id

[5] Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Teori Konseling, 1984, hal. 12.

[6] Ibid. h. 14.

[7] Ibid 16-17

[8] John Mc Leod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, Jakarta (Kencana: 2006) h. 5

No comments: