12 March 2008

Inses pada Anak dan Intervensi Psikologisnya

Oleh : Pizaro

Incest ialah hubungan seks antara pria dan wanita saudara sekandung. Secara legal mereka tidak pantas melakukan perbuatan tersebut, namun insting seksual terkadang tidak mengenal relasi sedarah.

Dampak Inses
Kempe (1980) menemukan bahwa para ayah yang melakukan inses, cenderung menjadi pribadi introvert dalam kehidupan sosial. Catatan menarik dikemukakan bahwa seorang anak yang menjadi korban inses, ketika dia menjadi ayah mempunyai kemungkinan untuk menuntaskan “dendam” dengan anaknya lagi.
Goode cenderung satu suara bahwa anak perempuan korban inses memang menimbulkan masalah tertentu dalam kehidupan sosial, karena statusnya yang membingungkan. Di satu sisi dia menjadi ibu, namun di sisi lain ia tetap seorang anak. Lantas bagaimana status anak mereka? Karena kakek si anak juga menjadi ayahnya. Jika dikatakan pernikahan adalah solusi, Goode justru sebaliknya. Kenyataanya, pernikahan tidak akan memecahkan masalah, namun hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk.
O’Brien (1983) seperti disarikan Levine dan Salle menyatakan jika penggunaan anak-anak dalam rangsangan seksual, apakah melalui pornografi, kekerasan, atau inses mengakibatkan jiwa anak berada dalam tujuh hal penting.
1. Psikologis, pengenalan aktivitas seksual yang cepat akan memotong perkembangan masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak tidak mempunyai perasaan emosional yang tegar dalam mengasosiasikan seks.
2. Harga diri yang rendah, kekerasan seksual akan membuat anak menarik diri dari teman-temannya karena aib.
3. Eksploitasi, anak-anak akan menjadi ladang pemuas kebutuhan oleh orang dewasa.
4. Menjadi mudah terancam, karena anak-anak mengandalkan orang-orang dewasa, maka anak-anak mudah terancam. Penggunaan anak secara seksual menciptakan tekanan yang lebih dan kecemasan. Karenanya anak mulai mengintepretasikan ketergantungan sebagai suatu hal yang membahayakan.
5. Pandangan tentang seksualitas terdistorsi, meskipun beberapa anak tidak menyadari aib ini sampai usia dewasa. Kekerasan seksual akan menimbulkan cara pandang anak yang negatif dalam hubungan seksual.
6. Privasi anak, jika polisi atau praktisi anak tidak melakukan perlindungan, anak-anak korban inses sangat rentan untuk diekspos dalam majalah atau film porno.
7. Distorsi perkembangan moral. Perkembangan moral tentang betul dan salah berkembang pada waktu anak menjadi korban kekerasan seksual. Banyak kasus inses yang terjadi dalam keluarga yang saleh, disiplin, teguh menciptakan nuansa munafik dan bingung pada diri korban tentang aturan moral yang sebenarnya.

Intervensi Psikologis
Jan Osborn menilai bahwa agama menjadi coping psikologis yang efektif terhadap korban inses, ditambahkan olehnya bahwa intervensi sosial dapat mempercepat pemulihan psikologis korban Inses.
Kita sering melihat bahwa anak-anak yang mengalami gangguan jiwa seperti inses, sejenak ingin melepaskan tali kekang pikiran negatif dengan suasana riang gembira. Karenanya pendekatan terapi bermain amat diperlukan, namun ada baiknya anak perlu diikutsertakan secara aktif dalam terapi bermain. Seperti permainan dengan memakai media boneka, usahakan anak memainkan suatu peran. Dengan begini diharapkan konselor atau terapis yang enerjik, humoris, hangat terhadap anak, dan mengerti psikologi anak.
Selain itu intervensi psikologis yang juga menarik digulirkan adalah teknik-teknik dramatik seperti psikodrama. Karena menurut Jacob Moreno, pengembang psikodrama, bahwa dengan teknik dramatik, manusia dapat berusaha menciptakan atau menciptakan kembali suasana fisik dan emosional yang dikehendaki. Dan yang mesti dipahami adalah bahwa keaktifan dalam psikodrama tidak juga dimonopoli oleh konselor atau terapis, tapi juga anak. Apakah anak korban inses bisa memainkan peran dalam psikodrama? Oh ya kenapa tidak.

No comments: