12 March 2008

Terapi Penyakit Hati dalam Tafsiran Islam

Oleh: Abdul Hasyim
Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta

Hidup pada zaman sekarang telah menuntut manusia selalu waspada. Mulai dari membuka mata sampai menutup mata kembali, karena manusia sering sekali disuguhiolehkemaksiatan dan dosa.
Beruntunglah bagi mereka yang mampu menghindarinya. Celakalah bagi mereka yang terbawa oleh arus dosa dan kemaksiatan. Karena jika manusia terjebak dalam dosa dan kemaksiatan, berarti manusia telah menanamkan pengaruh berbahaya dan buruk bagi hati. Hati menjadi tertutup, gersang, dan terasa gelap. Kegelapan itu benar-benar nyata di dalam hati, maka seseorang akan jatuh dalam perkara-perkara syubhat dan mengikuti syahwat. Akibatnya seseorang akan jatuh dalam perkara-perkara syubhat yang dapat merusak hati dan menghancurkan hatinya tanpa ia sadari.
Kedua penyakit tersebut telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-baqarah, 2: 10).
Menurut Hamdan Bakran Adz-Dzaky, penafsiran ayat diatas ialah, “…Apabila seseorang individu, akal, fikiran, hati, dan seluruh tubuhnya kotor dan penuh dengan karat-karat kedurhakaan dan dosa kepada Allah SWT, maka seseorang akan mengalami kehancuran dalam kehidupannya…”
Dosa juga dapat mengubah hati, dari sehat dan lurus menjadi sakit dan runtuh. Karena dosa, hati seseorang akan tetap sakit dan payah. Makanan yang bergizi untuk santapan hidup tidak bermanfaat bagi manusia. Bekas penyakit di badan dan dosa merupakan penyakit hati. Tiada obat untuk menyembuhkannya selain meninggalkan maksiat.
Menurut Ibnu Qayyim yang didikutip oleh Salim Bazemool dalam bukunya “Terapi Penyakit Hati” mengatakan, bahwa:
“Orang-orang yang telah datang dan pergi menuju Allah SWT, mereka sepakat bahwa hati tidak diberi cita-cita, sampai seseorang itu kembali menuju Allah SWT, dan hati tidak akan sampai kepada tuhannya kecuali seseorang benar, sehat dan bersih. Keadaan sehat, benar, dan bersih tidak akan tercapai bila penyakitnya tidak berbalik. Di sinilah jiwa membutuhkan obat.”
Bagi kehidupan manusia, setiap penyakit yang diderita olehnya baik itu yang bersifat jasmani maupun rohani dapat diantisipasi oleh terapi yang berdasarkan al-Quran dan As-Sunnah. Dewasa ini, sangat banyak sekali terapi-terapi menjamur terutama di Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan kurang responnya pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen kesehatan terhadap praktek-praktek terapi ilegal yang membahayakan fisik dan fsikis manusia. bagaimanapun juga, Setiap penyakit mempunyai dampak yang tidak baik dan dapat merusak diri maupun merusak lingkungan sekitarnya terlebih lagi penyakit hati.
Karena itulah agama Islam memerintahkankan kepada setiap manusia untuk mengobati setiap penyakit yang dideritanya, khususnya penyakit hati yang kronis. Dalam hal penyakit jasmani sudah banyak yang diketahui dan dipraktekan oleh para dokter-dokter spsesialis. Sedangkan bagi penyakit yang bersifat rohani dalam hal ini adalah penyakit hati belum banyak dokter-dokter mendiagnosinya. di sini sangat diperlukan sekali integrasi pengetahuan seorang dokter terhadap pengetahuan agama dan alam.
Sebagaimana Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus,10:57).
Sebagaimana Aba Firdaus Al-Hawani dan Sriharini, mengintepretasikan ayat di atas ialah, ”Bahwa agama itu diturunkan oleh Allah untuk obat bagi penyakit-penyakit hati yang ada di dalam dada manusia. Dengan mengamalkan ajaran-ajaran Allah secara sungguh-sungguh, disertai manfaat yang benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka manusia akan dapat menemukan obat bagi penyakit-penyakit di hatinya.”
Dalam agama Islam semua penyakit merupakan Sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat di ganggu-gugat kepada seluruh ciptaan mahkluk-Nya, baik manusia ataupun hewan. Spesifikasi penyakit pada manusia disamping sebagai musibah di dalamnya pun terdapat suatu hikmah yang sangat besar. oleh karena itu, menurut Ibnu Qayyim yang dikutip oleh Abu Affan, beliau berkata, “jika kita menyebutkan hikmah yang terdapat dalam diri kita, pada ciptaan dan kekuasaan-Nya, maka akan kita temukan lebih dari sepuluh ribu hikmah. akal dan pengetahuan kita sangat terbatas untuk dapat menangkap hikmah yang ada balik penyakit. dengan demikian, manusia akan menyadari betapa lemahnya seorang manusia dihadapan Tuhannya.”
Peranan agama dalam kesehatan jiwa seseorang sangat relevan. Dalam hal ini, menurut Abdurrahman M. Al-Isawi, mengatakan bahwa, ”Islam banyak memiliki hal yang mampu menjaga kesehatan manusia secara fisik, akal dan kejiwaannya. Selain itu, Islam menjamin kehidupan harmonis manusia terutama pada dirinya sendiri, serta hidup harmonis bersama masyarakat di sekitarnya; Islam menjamin keharmonisan hidup antara kebahagian dunia dan akhirat.”
Manusia ditempatkan di alam semesta ini agar ia berusaha untuk mengembangkan kemampuannya dan meluaskan cakrawala pemikirannya dengan memperbanyak pengetahuan, dan menguatkan rohaninya untuk mencapai kesempurnaan. Dengan itu manusia diharapkan mampu untuk memenuhi tugas-tugasnya, yang merupakan kewajiban baginya dalam mengukuhkan kepribadian yang sehat dan jujur, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat semakin keras usaha yang dilakukan manusia dalam menempuh di jalan ini. Tak ada yang lebih mampu memberinya keberanian untuk memasuki gelombang kehidupan yang bergelombang dan penuh problema, kecuali kepribadian yang sehat dan keimanan yang kuat.
Langkah yang pertama kearah perkembangan dan penyempurnaan pribadi adalah mempelajari cara-cara memanfaatkan kekuatan dan kemampuan yang tersembunyi pada diri, dan mempersiapkan diri untuk menyingkirkan segala faktor yang menimbulkan masalah dalam menuju jalan kesempurnaan. Kemudian langkah selanjutnya kata-kata dan tindakan tidak mengandung nilai yang berasal dari kedalaman wujud manusia. Kata-kata mengekspresikan kandungan pikiran, seakan-akan merupakan terjemahan dari rahasia-rahasia yang tersimpan di dalamnya.
“Bila perkataan seseorang bertentangan dengan tindakannya, atau tidak bertentangan akan tetapi ingin mendapat pujian dari orang lain yang mendengarkannya, atau ia melakukan sesuatu bukan merupakan keikhlasan hati, tetapi karena ia ingin dipuji oleh orang yang melihatnya, atau orang syirik kepada orang lain. Maka itu menunjukan kepribadian yang goyah dan mengakibatkan kehancuran dalam kehidupan manusia itu sendiri sehingga ia akan merana dan tersiksa di dunia dan di akhirat.”
Manusia diciptakan dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani berupa tanah pada proses penciptaan Nabi Adam A.S. Dari saripati yang hina pada penciptaan manusia sesudahnya. Sedangkan unsur rohani adalah unsur Ilahiyah yang bersumber langsung dari Allah SWT. Unsur materi yang bersifat keberadaan (materi) mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan, makan, minum, pakaian dan sebagainya. Sedangkan unsur rohani yang bersifat immateri, mendorong manusia untuk taat beribadah, mensucikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua unsur ini selalu tarik menarik dalam kehidupan manusia. Bagi unsur jasmani yang tarikannya lebih kuat, maka ketika itu berada dalam penguasan hawa nafsu yang terlalu mendorong untuk berbuat kejahatan.
Hati, dalam al-Quran teraktualisai dalam kata qalb, fu’ad, dan shard. Tetapi, dibandingkan kata fu’ad dan shadr. Al-Quran lebih sering mengkiaskan hati manusia dengan kata-kata qalb, hal ini dapat dilihat dengan penggunaan term tersebut yang tidak kurang dari 132 kali dan termuat dalam 126 surat baik dalam bentuk tunggal maupun jamak.
Terlepas dari seringnya al-Quran menyebut kata qalb daripada kata fu’ad dan shadr tidak menyebabkan kata itu (baca: fu’ad dan shadr) menjadi tereduksi fungsinya. menurut Adz-Dzaky, mengatakan bahwa:
“Ketiga macam kata yang sering dipergunakan di dalam al-Quran secara umum mempunyai pungsi yang sama, yaitu ia sebagai wadah dan media Allah SWT di dalam menampakan ayat-ayat-Nya berupa gambaran dan pemandangan batin yang mengandung isyarat, pelajaran yang tinggi sangat bermakna dan penuh dengan hikmah-hikmah; ia sebagai wadah terbitnya firasat-firasat berupa suara dan bisikan ketuhanan yang mengandung perintah dan larangan, esensi keimanan dan kefasikan, esensi ketauhidan dan kesyirikan; ia sebagai wadah lahirnya rasa cita dan kerinduan, rasa sedih dan gembira, rasa keinsanan dan ketuhanan.”
Dalam konteks bahasa Indonesia terminologi qalb (kalbu) digunakan untuk menyebut hati, baik dalam pemaknaan secara konkrit (fisik) maupun abstrak (psikologis).
Dengan kata lain, “kalbu” adalah manifestasi dari aspek jasadi-rohani (psikofisik) manusia, hanya saja,”kalbu” lebih memiliki tendensi kepada sesuatu yang bersifat keilahian (teosentris). Melalui ”kalbu” manusia tidak hanya mendapat pesan suci Tuhan, tetapi lebih dari itu manusia dapat membenarkan wahyu yang sifatnya supra rasional, sekalipun rasionalitasnya menolak hal seperti itu, sebagaimana manusia membenarkan pengungkapan ayat-ayat Al-Quran tentang adanya transendensi perkara yang gaib, termasuk membenarkan pengalaman spiritual Nabi Muhammad Saw pada peristiwa Isra’Mi’raj. mengutip pendapat Fazlur Rahman, menurutnya, bahwa“…kesadaran akan hal transenden yang pada hakikatnya merupakan kesadaran Ilahiyah akan menciptakan ruang bagi Mi’raj manusia menuju Allah SWT, serta mengembangkan diri manusia itu sendiri. Tanpa itu, manusia akan terkurung dalam kemandekan dan keterbelahan...”
Kemampuan kalbu yang telah menghantarkan pada pengalaman spiritualitas manusia, religiusitas dan ketuhanan telah menjadikan manusia pada tingkat supra kesadaran yang memungkinkannya untuk mengimani wahyu yang bersifat supra rasional dengan berbagai tendensi yang ada.
Inilah yang menjadi pungsi utama dari kalbu, yaitu sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”(Qs.al-a’raf,7:179)
Kalbu memiliki karakter yang tidak konsisten/ berubah-berubah (munqalib), seperti; yakin (QS. Al-Hujurat, 49: 17) dan ragu-ragu (QS. Al-Baqarah, 2: 10), menerima petunjuk Tuhan (QS. Al-Taghabun, 79: 11) dan buta dari petunjuk Tuhan (QS. Al-Hajj, 22: 46), merasa takut (QS.An-Naazi’at, 78: 8) ataupun keras melebihi batu (QS.Al-Baqarah, 2: 74). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya disebut kalbu karena sifatnya yang berubah-rubah.” (HR.Thabrani dari Ibnu Musa)
Lebih lanjut, karakter “kalbu” yang tidak konsisten memungkinkan manusia untuk bisa terkena konflik batin. maka dari itu menarik untuk dikutip ungkapan Ahmad Mubarok beliau mengatakan:
“Interaksi yang terjadi antara pemenuhan fungsi memahami realita dan nilai-nilai (positif) dengan tarikan potensi negatif yang berasal dari kandungan hatinya, melahirkan suatu keadaan psikoligis yang menggambarkan kualitas, tipe dan kondisi dari qalb itu.”
Proses interaksi psikologis itulah yang mengantarkan hati pada kondisi dan kualitas hati yang sebenarnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dari Nu’man Ibnu Basyir)
Dewasa ini, banyak terjadi perkembangan dalam pelbagai keilmuan. terutama dalam bidang psikologi terus berkembang. dalam hal ini seorang intelektual Muslim Indonesia menjelaskan tentang psikologi, menurutnya, bahwa:
“Psikologi modern telah menemukan berbagai macam ketidaknormalan jiwa seseorang yang mempengaruhi perasaan, pikiran, kelakuan dan kesehatan fisik. Kondisi perasaan yang tidak menyenangkan seperti frustasi (perasaan tertekan), konflik jiwa (pertentangan batin), cemas/ anxiety (semacam ketakutan yang amat sangat, tidak jelas sebabnya dan tidak mudah mengatasinya). Disamping itu dikenal pula gangguan kejiwaan (psycho neurosis) dan penyakit kejiwaan (psikosis).”
Dalam Psikoterapi Islam, semua kelainan tersebut dikatakan dengan satu istilah saja, yaitu ”penyakit hati,” namun tidak diuraikan kedalam kelompok-kelompok penyakit, seperti dipopulerkan oleh pakar Psikiolgi Abnormal belakangan ini.
Memang sebagaimana halnya badan atau lahiriah yang setiap saat bisa diserang penyakit-penyakit fisik, begitupun dengan hati yang tidak tertutup kemungkinan dapat terjangkit penyakit yang secara zahir keberadaannya tidak terlihat oleh mata telanjang, namun hati tetap merasakan penderitaan akibat penyakit tersebut.
Sebagaimana Sayyid Abbad Nuruddin yang dikutip oleh Rudhi Suharto dalam bukunya “Menerbitkan Cahaya Diri”menyebutkan, bahwa “ada empat tingkatan penyakit yang harus dikenali dan diobati. Pertama; penyakit yang menyerang pada bagian fisik. Kedua; penyakit yang berupa khayalan kotor. Ketiga; penyakit yang berada pada akal manusia yang selalu berhubungan dengan hal-hal yang tidak benar. Keempat; penyakit hati.”
Dalam hal ini ada dua tokoh sufi besar yang kedua-duanya sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kaum muslimin timur tengah maupun di Indonesia yang beraliran tasawuf sunni. Mereka adalah Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah yang merupakan tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam terutama dalam membahas atau megkaji lebih detail tentang terapi penyakit hati dalam karya-karyanya yang monumental, yaitu kitab Ihya Ulum al-Diin dan Amradh al-Qulub wa Syif’uha. Di samping itu juga mereka dikenal sebagai Intelektual dan Ulama yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam mendidik dan melahirkan generasi pemikir Muslim yang tersebar di seluruh dunia.
Walaupun keduanya berbeda mazhab tetapi mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu mengintegrasikan antara Ulama dan Umara. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa seseorang yang terindikasi gejala penyakit hati lebih ditekankan pada aspek kelezatan duniawi saja dan menyampingkan sisi-sisi ke ukhrawian. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah seseorang yang cendrung perbuatanya kepada perkara syubhat dan syahwat.

1 comment:

Pandi said...

salam kenal

wah boleh buat referensi nih :D