03 March 2008

SURAT BALASAN UNTUK UKHTINA ALICIA B. PUTRI DARI UGM: DISKUSI KEDUA

Oleh: Pizaro
Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam

Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta

Suatu hari seorang ilmuwan melakukan penelitian di Perpustakaan Rene Descartes di Paris, Perancis. Ketika ia mulai meneliti dengan membongkar sejumlah buku, alangkah kagetnya ia ketika menemukan buku al-Ghazali di sana. Ia lalu membalik halaman dari buku al-Ghazali tersebut. Dan suatu hal yang aneh tidak ia kira, kenyataannya tesa Ghazali bahwa "Keragu-raguan adalah awal keyakinan" diberi tanda jelas oleh pena Descartes. Akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa Filsafat Rasionalisme ala Descartes sudah ulung dibahas al-Ghazali. Maka itu, adalah mungkin Descartes juga banyak belajar

dari al Ghazali"

Alaikum salam wr.wb ya Ukhti….

Quo Vadis Tanggapan Ukhti?: Mencari Kontruksifitas

Salam kenal kembali. Dan titip Salam dari FKM untuk teman-teman civitas akademika Gajah Mada Universiteit. Saya ucapkan terimakasih untuk perhatian anda selama ini. Pertama-tama saya bisa katakan jika anda dalam hal ini cukup kritis. Akan tetapi ada beberapa catatan yang penting untuk karir ilmiah mu nanti.

Intermezo Ghazali dengan Descartes, sekedar perkenalan Dalam surat ini, terlebih ukhti minta memakai Logika Descartes adalam Rasionalitas Ghazali. Pertama, Entahlah tampaknya ada persepsi berbeda mengenai diskusi, karena aduh baru kali ini diskusi itu diatur, maaf sekali lagi. Kita harus sepakat bahwa definisi diskusi adalah eksplorasi wawasan masing-masing dalam mengkaji fenomena yang ada. Saya agak risih jika ada pemaksaan metode yang saya kira tidak tepat. Jika anda katakan bahwa adalah bijak jika setiap kita mengutarakan pemikiran masing-masing, bukankah itu menelan ludah ukhti sendiri? Dan bukankah selama ini justru kebanyakan saya deh yang mengeksplorasi pemikiran. Sedangkan ukhti, tampaknya saya belum lihat tulisanmu untuk membahas (bukan menanggapi hehe) Freud? Hehe.. Jangankan Brill, Klein dan Abraham, lebih dari itu saya ada. Bisa lihat yah di Blogku.

Kedua, ukhtina terlalu mendramatisir. Jika Alicia heran, saya apalagi. Sejak kapan saya memakai masakan sebagai wajah yang sama untuk disandingkan dengan psikoanalisis. It’s just Analogy. Kemudian berlanjut pada materialisme. Tentu kita bisa mendikotomisasi antara materialisme dan materialistic. Tentu itu Beda. Materialistic dapat dibahas dari berbagai pemikiran, termasuk Islam. Sedangkan materialisme adalah dogma yang mengagungkan materi.

Ketiga, justru untuk mengkaji pembahasan kritik, bukankah sepatutnya kita harus memakai pisau analisis yang kritis dengan Freud, betul? Jika saya memakai argument Freudian, tentu kritik yang dihasilkan tidak optimal. Terlebih saya sudah banyak mengupas Freud dalam mainstream Freudian atau neo Freudian. Saya khawatir jika worldview psikodinamik yang msh dipakai, kajian kritik tidak akan berkembang. Dalam sejarah psikologi, anda bisa melihat bahwa psikoanalisis secara tidak langsung menyumbang peradaban psikologi lewat mazhab yang mengkritiknya. Itu mustahil terjadi jika yang dipakai untuk “menghabisi” Freud hanya psikodinamik. Tentu kita tidak akan melihat Behavioristik Pavlov, kita buta untuk memahami Humanistik Maslow or Rogers. Kita tersudut karena hanya bermimpi melihat Trait Theory dari Allport. Kita terilusikan Kreativitas Rollo May, tanpa Fakta. Kita tidak mengenal spirit Logoterapi, jika Frankl berpatokan pada dogma Psikodinamik. Dan say Goodbye untuk psikologi Islami jika begitu. Kenyataannya pembahasan mestilah integratif dan toleran dengan metode berbeda. Kalau ukhti masih keukeuh pada pemahaman otoristik itu, saya khawatir itu akan memojokkan ukhti dalam jurang bernama Stagnasi Ilmu pengetahuan.

Selain itu, Freud terlalu mengagungkan determinasi sejarah sebagai takdir matinya kebebasan humanitas manusia. Tentu menjadi ambivalensi dengan nama mazhab yang melekat dengan psikologi “esek-esek” Freud yaitu psikodinamika yang menitiberatkan terhadap konstelasi jiwa manusia.


Temuan Ilmiah: The Facts!

Ukhti jangan kaget, bahwa kajian Freud sudah lebih dahulu dikaji At-Tirmidzi. Itu Islam lho. Yaitu jika Freud dikenal sebagai peletak teori cinta-kebencian dan kematian-kehidupan, sementara itu at-Tirmidzi, pada abad ke-9 telah mengemukakan dualitas yang ditemukan jauh sebelum Freud lahir. Dalam buku Al Masail Al Makmunah, at-Tirmidzi berkata:

“Berbagai kecenderungan hati mengarah kepada cinta dan kehidupan sedangkan berbagai syahwat naluri mengarah kepada kematian dan kekuasaan. Hati adalah tempat diletakannya cinta. Sesungguhnya kehidupan timbul dari cinta. Adalah pengetahuan, ia tempat disimpannya cinta. Dengan demikian, hati akan hidup oleh pengetahuan yang selanjutnya ia menjadi ringan. Ketika hati telah ringan, ia akan cepat kepada ketaatan.”[1]

At-Tirmidzi berpandangan bahwa kehidupan dan cinta adalah selalu berdampingan. Adapun sumber berbagai naluri dan syahwat adalah sesuatu yang diletakkan di dalam diri manusia, yaitu kematian dan kekuatan. Kematian dan kekuatan selalu berdampingan. Sedangkan cinta dan kehidupan, keduanya selalu dibarengi dengan keringanan, kebahagiaan, kecongkakan, dan kasih sayang. Adapun kematian dan kekuatan, keduanya selalu dibarengi dengan keterbebanan, kesedihan, ketidakmenentuan, dan kekerasan.[2] Hebat kan?

Menurut saya tuduhan Ilmuwan muslim tidak melakukan pembatahan terhadap teori Freud lewat metode Ilmiah, adalah tuduhan tak mendasar. Ibrahim al-Jamal menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam kompleks Oedipus seperti yang ia temukan dalam suatu tes kejiwaan. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya. Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami problem-problem psikologis.[3] Sebelumnya juga Badri nemukan perbedaan persepsi pada insting mati di Masyarakat Sudan. Hehehe baca lagi dunks tulisan epistemologiku yang pertama.

Zainal Abidin dalam disertasinya seperti dikutip Wirawan Sarwono tidak menemui adanya kaitan insting mati dengan penghakiman masa yang kerap terjadi di Indonesia. Ia telah meneliti sejumlah pelaku penghakiman massa di daerah Tangerang, dan menemukan bahwa prasangka merupakan salah satu penyebab dari perilaku tidak berperikemanusiaan, khususnya prasangka pada penegakan hukum. Seperti ucapannya:

“Jika pelaku mempersepsi bahwa perangkat hukum berjalan tidak semestinya, sehingga aksi yang dilakukan oleh para penjahat terus berlangsung di wilayahnya, maka ia merasa perlu untuk menegakkan hukumnya sendiri.”[4]

Pendapat Abidin ini didasarkan dari pengakuan-pengakuan presekutor dalam wawancara seperti dikutip di bawah ini:

“Saya percaya hukum, tetapi maling itu tetap harus dihabisi. Polisi tidak akan menghabisi mereka sehingga mereka akan selalu ada. Seandainya di kampung saya ada maling tertangkap lagi, apalagi sampai membunuh korbannya, saya pasti akan menghabisinya lagi. Soalnya saya gemes pada maling.

Maling mah tetep maling, jadi harus diberi pelajarannya keras, sampai mati. Ditahan polisi paling 2-3 tahun, dan begitu keluar dia akan jadi maling lagi.”[5]

Dalam penelitiannya, Abidin menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan kepada aparat, keinginan untuk membela diri karena aparat tidak bisa diandalkan, dan penjahat itu bukan manusia, tetapi hanya “maling”, memotivasi massa untuk melakukan tindak kekerasan.


Kontroversi Agama Freud dan Nietsczhe

Ada suatu paradigma yang salah dalam melihat ateisme dalam sisi ilmiah selama ini. Saya tidak yakin jika yang dikatakan Nietsczhe dan Freud menjadi tolak ukur pembahasan ilmiah tapi mengasingkan Tuhan. Ukhti tahu? Paul Vitz (1998) seperti dikutip seorang penulis dari Bandung mengungkapkan bahwa penolakan terhadap Tuhan dan agama sering terjadi bukan karena hasil renungan dan penelitian yang sadar. Kita tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah, melainkan menemukan agama itu hanya sekumpulan takhayul dan menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan faktor psikologis yang tidak manusia sadari. Nietszhe menolak Tuhan, seperti diakuinya, bukan karena “pemikiran”, melainkan karena “naluri”. Hal yang mencengangkan adalah karena pada kenyataannya ilusi agama Freud secara mentah-mentah mengambil dari Feurbach. “...Teori ini tidak punya dasar dalam psikoanalisis...” ucap seorang penulis. Dan kemudian ia mengatakan bahwasanya Freud hanya sekedar mengemukakan opini pribadinya akan ilusi kesia-kesiaan agama. Freud sendiri memang mengakuinya dalam surat yang dikirim kepada kawannya, Oskar Pfister:

“Marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analitis. Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku.”[6]

Storr juga menangkap kesan ambivalensi dalam jejak-jejak agama primitif yang tertuang lewat karya Totem dan Tabu. Ini tidak lain diutarakan karena pernyataan Freud sendiri yang menganggap jika totem dan tabu sekedar dibuat “iseng-iseng” dan Freud berharap orang-orang jangan terlalu mengambil pusing dalam buku yang ditulis ketika gerimis melanda itu.[7]

Ukhti, penolakan terhadap Qur’an dan Hadis terjadi bukan semata-mata karena banyak tudingan non-ilmiah dua sumber Islam itu. Tapi kebanyakan terjadi semata-mata faktor kebencian dan konspirasi. Akhirnya banyak orang (Seperti Michael Walker) yang mendukung teori ateisme, seperti Darwinisme, bukan karena mereka sepakat sama materialisme, namun karena Darwinisme telah mengasingkan Tuhan. Padahal Darwinisme sendiri sudah “dipenjarakan” di Barat dan menghina kaum Barat sendiri. Emang Ukhti mau dibilang Monyet? Afwan... (Senyum dong)



[1] Amir an-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah Ija Suntana (Jakarta: Hikmah, 2004), h. 231.

[2] Ibid., h. 232.

[3] Ibrahim M. al-Jamal, Penyakit-penyakit Hati. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. ke-5, h. 209.

[4] Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 96.

[5] Ibid., h. 97.

[6] Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan psikoanalisis Freud – dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud tentang proyeksi “pemuasan keinginan”. Di samping proyeksi tentang agama, sekarang ada proyeksi tentang ateisme. Chandra, “Surat Untuk Atheis,” artikel diakses tanggal 9 Januari 2008 dari http://swaramuslim.net/more.php?id=A437_0_1_0_M.

Purwanto menyimpulkan bahwa dinamika ateisme dalam ilmu eksakta dan ilmu sosial sangat berbeda. Ilmu sosial yang sedikit banyak tergambar dalam psikologi, lebih bersifat menyerang paham keagamaan dalam konteks keilmuan. Maka itu, paham ateistik dalam ilmu sosial sangat masif hingga akhirnya bisa saja mereka menyokong suatu teori, semata-mata teori itu menganggungkan ateisme. Ini terjadi jelas pada darwinisme, sekalipun banyak bukti ilmiah menolaknya, teori evolusi toh masih langgeng. Pengakuan Michael Walker juga memperkuat fenomena, ketika ia terpaksa menyimpulkan teori Darwin, hanya karena dianggap meniadakan sang pencipta. Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami, h. 16.

[7] Anthony Storr, Freud: Peletak dasar Psikoanalisis. Penerjemah Dean Praty R (Jakarta: Grafiti, 1991), h. 115.

No comments: