20 February 2008

DASAR PEMIKIRAN


Punya Piza

Dewasa ini berbagai kejadian sering menimpa Indonesia, mulai dari bencana alam, kecelakaan transportasi, hingga hilangnya jiwa manusia karena endemi flu burung. Di bidang ekonomi, tampaknya setali tiga uang. Walaupun pemerintah menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia beranjak naik. Namun pada sisi realita, terjadi pemutar balikan fakta. Ini ditandai dengan harga bahan pokok yang terus merangkak tinggi, pengangguran yang bertambah besar, harga minyak yang berjalan kencang menuju ketidak wajaran, serta banyak lagi yang berujung kepada daya beli masyarakat yang rendah dan pendapatan perkapita yang jauh dari kelayakan.

Pemandangan itu ternyata bukan monopoli dari carut marutnya kehidupan ini. Ternyata ada banyak kasus-kasus lain yang beredar. Secara khusus Kasus-kasus bernuansa psikologis, dengan gejala akhir-akhir ini yang makin variatif saja bentuknya. Kita ambil bukti dengan banyaknya kekerasan dalam rumah tangga yang berkorelasi positif kepada perceraian. Selain itu, benang merahnya dapat disambungkan kepada tingkah laku sang anak yang menjadi suram. Kelanjutan dalam hal ini ialah keinginan melepas tegangan di keluarga dengan mencoba bentuk pengalaman baru yang meleset dari koridor normatif.

Atribut baru yang semakin menjamur lagi ialah fenomena menganggap hal kecil menjadi besar. Kini, kejadian tawuran bukan lagi semata menjadi posesifitas kaum remaja. Antar wargapun seakan memperkuat tesis tersebut. Penyebabnya beragam, dari sekedar saling ejek, memperebutkan gadis desa hingga permasalahan perbatasan. Hal ini diperparah dengan wakil rakyat kita yang ternyata tidak memberikan contoh bijak dalam menyelesaikan perdebatan. Tidak sungkan mereka menarikan tarian perkelahian di karpet agung gedung dewan. Dua instansi keamanan terbesar di negeri inipun juga enggan untuk melakukan resolusi konflik dengan cara yang populis. Ini bisa menjadi salah satu sebab yang merakit lumpur hitam kekerasan fisik di negeri ini yang kental dengan budaya meniru atasan.

Kereta laju teknologi pantas untuk nimbrung dari pusaran globalisasi ini. Wacana teknologi yang membuat kenyamanan di bumi, menyebabkan berbagai cara dilakukan untuk menyeimbangkan kekuatan psikis yang dimiliki setiap insan. Demi mengejar kesempurnaan tubuh, banyak dari kita mengisi ruang-ruang impian dengan mengorbankan relung-relung sendi vital, seperti harta, norma, kepentingan publik dan lainnya. Model lain, dengan teknologi “memotivasi diri” agar percaya diri untuk menjadi kesatuan dari permissive society. Sensitive showing record kitapun halal di ekspos ke media yang kemudian dimakan oleh anak-anak kita.

Anak? Rasanya ikut bermain disini. Si cabe rawit juga manusia yang mempunyai pikiran dan perasaan. Anak memiliki kecenderungan meniru sesuatu yang dianggapnya menarik. Ironisnya anak belum fasih untuk menentukan hitam putih moral terhadap apa yang dialaminya. Gejala banyaknya kasus bunuh diri di kalangan anak atau remaja adalah gambaran dari labilnya mental dalam menghadapi suatu tekanan

Sedari dinipun mereka lebih senang mempunyai teman bernama TV dengan dukungan orang tua mereka yang memperkenalkan temannya tersebut. Dengan pola pikir serta fisik yang sudah terserap di aktivitasnya sehari-hari, akhirnya orang tua mengambil jalan pintas dengan menaruh ”teman baru” tersebut di kamar buah hati.

Anak-anak yang menginjak remaja juga diseret agar mementaskan dagelan kebudayaan. Dagelan yang memakai nama seremoni bangsa seperti gelaran 17 Agustusan. Yang berkapasitas nilai-nilai hedonistik seperti berjoget, memasukkan ini ke situ, menangkap ini, yang terkesan tidak sarat dengan unsur filofofis atau berorientasi kognitif. Jauh tentu, kalau kita sandingkan dengan Jepang atau China, yang menyelenggarakan lomba merakit komputer, membuat tulisan serta membetulkan sepeda. Selain itupun sekolah juga sulit menjawab pertanyaan quo vadis secara visioner. Teringatkah kita saat sekolah ada suatu pertanyaan unik yang sering menjadi kenangan, misalkan adik mau jadi apa kalau sudah besar? dengan polos kita menjawab ingin jadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Padahal jawaban itu justru mengajarkan untuk mengimpikan hal yang tidak konkret. Esksesnya dapat dirasakan ketika mereka menghadapi pendiidikan lanjutan, seperti di Perguruan tinggi. Mereka tidak memiliki strategi menuju impiannya dan kalah bersaing dengan teman-temannya.

Kambing hitam dari banyaknya permasalahan ini memang banyak kalau dicari, politik, ekonomi, pendidikan atau segalanya bisa menjadi pijakan. Pun dengan peran dari salah seorang. Namun kita berkeyakinan ada lingkup yang kebih dalam untuk memahami rangkuman itu. Bahwa manusia menggunakan segenap potensi dirinya untuk menanggapi stimulus yang ada. Dalam arti ranah afeksi, kognisi, psikomotorik dan konasi berperan besar dalam kasus ini. Akan tetapi secara spesifik kita menggunakan pendekatan Bimbingan dan Konseling (BK).

Hal ini sekaligus untuk melakukan pengembangan kepada Bimbingan dan Konseling Itu sendiri. Berpuluh tahun kata konseling dijadikan wacana dari pertalian antara dua orang yang saling berbincang untuk menemukan suatu solusi. Sejak puluhan itu pula BK telah menjadi keilmuan mandiri, yang dibuktikan dengan munculnya jurusan-jurusan yang BK baik di barat, pun di Indonesia. Akan tetapi sbenarnya persepsi ini keliru. Ini disebabkan pada orisinalitas BK yang sebenarnya berlingkup luas bukan terbatas pada dua individu. Selain itu termin agama justru harus didekati bukan diasingkan dalam derasan alirannya yang kini menyirami keindahan dunia. ketika peradaban global gagal mencerahkan kehidupan substansif manusia, Bimbingan dan Konseling Islami justru menjadi wilayah yang diharapkan karena ia mengambil peran psikologis yang menjadi penghangat emosional di antara sesama manusia dengan latar belakang yang berbeda.

Dalam perkembangannya juga, Danah Zohar pernah mengagetkan publik, dengan memasukkan unsur spiritual sebagai satu unsur kecerdasan manusia. Hal itu ternyata lebih dahulu dilakukan PBB dengan masuknya kriteria spiritual oleh WHO dalam melihat standar sehat bagi manusia. Klausul ini berelevansi kepada apa yang dirasakan selama ini. kita mungkin tak mengira jika pada tahun 1983, Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya, karena hanya semata-mata meninggalkan Tuhan.

Kita juga tidak mengira jika Lynn Wilcox, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi, justru tidak sepaham jika Agama dilihat dari sisi keras yang pernah dilakoni pendahulu kita, karena beliau menganggap cerita dalam kitab-kitab suci memiliki makna lebih dari sekadar sejarah dan peperangan. Baginya, setiap cerita memiliki makna pribadi, yang harus ditemukan di dalam hati melalui pengungkapan. Kitab-kitab suci tersebut merupakan isi cerita tentang kehidupan kita sendiri.

Spiritualitas dalam hal ini wilayah keagamaan, sebenarnya mempunyai sisi terang yang memberi awan manis dalam kegelapan peradaban saat ini. Adapaun terjadi pemojokkan negasi dari agama, karena manusia telah hilang arah dalam mengerti esensi agama.kita alpa dalam menafsirkan world view Islam yang telah memajukan bangsa-bangsa.

Dari hasil diskusi dengan beberapa tokoh bangsa dan pemerintah. Akhirnya kami mempunyai keinginan yang tepat untuk mendirikan suatu lembaga yang dapat berperan dalam peningkatan kualitas bangsa. Lembaga ini kami beri nama The Humanity Truth. Sebab kami yakin bahwa manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik, karena pada dasarnya setiap kita telah diberikan fitrah dari keagungan Allah SWT. Akan tetapi, kita tidak menyadarinya.

Dengan berbekal para profesional muda yang terus mencari pengalaman. Kita mencoba memberikan ruang untuk fokus mencegah, menangani dan membangun bangsa ini. Dengan terbukanya kesempatan, kita harapkan untuk dapat berperan positif dengan suatu intervensi tepat sasaran.

No comments: