22 February 2008

SURAT DARI JOGJA UNTUK AKHINA PIZARO (KETUA FKM): TANGGAPAN KEDUA

Oleh: Alicia Baldan (Mahasiswa Tk. Akhir UGM yang mencintai kebenaran)

Kamu nggak Fair,

hanya memakai nama-nama aman (Goleman and Badri)

untuk mengulas Freud.

Kenapa kamu gak sebut Brill

yang sebelumnya kamu kupas di tulisanmu.

Psikoooooolllloggggiiiii gggguuuuaaaaaa bannnngggetttttttt

Assalamualaikum Akhina....

Salam Hormat dan Salam Kenal. Maaf namaku Alicia Baldan Putri, bukan Alika Baldan. But Wow tampaknya terimakasih kembali untuk kamu yang memberikan sinyal positif bahwa anda memang intelektualis sepertinya. Haha jangan bawa-bawa pak Hadi dong, aku jadi malu. Begini kawan aku juga terkesan menjadi Freudian ya? aku mohon kamu sisihkan itu. Hehe aku bukan Freudianistik kok. Aku minta maaf jika sebelumnya enggan membuka kartu.

Aku mau bilang gini kayaknya aku ketipu deh.. Aku dah perhatikan blog kamu kira-kira sekitar sebulan ini. Aku sempet senang, ketika membaca tulisan-tulisanmu yang banyak sekali mengulas Freud, palagi bilangnnya peminat kajian psikodinamika. Bayanganku, kayaknya kamu enak diajak ngobrol masalah Freud. Namun ketika kamu menulis tentang kritik psikologi Islami, Hahhh... kayaknya dugaan gua salah deh. Sebenarnya sih, judulnya masih ditolerir, tapi kemarin saat aku tanggapi tulisanmu itu. Kamu malah balik menjadi ”teroris” Psikoanalisis. Haahhhh.. Aku gak nyangka ternyata kamu anti Freud. Akan tetapi, aku juga senang, artinya asyik neh ada lawan tanding. Because what? Because jilbaber-jilbaber UGM dah aku bantai semua, keplek-keplek aku benturin sama rasio Freud. Semoga nasibmu tidak sama dengan mereka. aku optimis apalagi ngeliat jawabanmu kemarin. Kayaknya Kak Pizaro (begitu ya, Sisy memanggilmu?) bukan UIN sembarangan neh. Gua tau deh, UIN Man..!!

Balik ke diskusi. Aku heran dengan jawabanmu kemarin, tampaknya kita masih perlu diskusi epistemologi. Aku kembali tanya kepadamu. Kamu tahu enggak jika kritikus masakan bukanlah peneliti? Aku pikir analogimu itu justru sebuah kekeliruan. Analoginya begini, apakah kritik dari kritikus masakan dapat menjadi berarti universal? Apakah enak yang dirasakan kita, menjdi enak di lidah orang lain? Bukankah itu hanya berdimensi individualistik? Hmmm Psikoanalisis bukan masakan bung, cos Namanya Psikodinamika. You know!

Btw tampaknya anda terlalu memojokkan materialisme dalam hal ini. Aku gak perlu dengan rasio hadis or dogma akhiroh. Di mana-mana, ketika dogma hadir dalam sebah diskusi, aku khawatir, diskusi kita akan selsai. Dan semua orang akan bilang Yes! Islam menang. Wait the minute, I don’t hope so. Nietszche said God is Death. Bukannya Islam juga menghargai materiaslime, yah minimal buku rektormu Psikologi Kematian, di mana mati (in materil) akan menjadi petualangan psikologis umat beragama. Ketika itu memotivasi manusia untuk banyak mendapatkan pahala dengan motivasi ilusi surgawi.

Satu hal, Aku lebih senang jika kamu memakai logika Descartes dalam menjelasan Ghazali, ketimbang mencari benang terlalu jauh ke Abad 14 (baca: Hadis). Ini karena kita sekedar berbicara konsep falsafati, bukan worldview ajeg yang justru menjadi senjatamu.

Aku pikir dalam suatu diskusi epistemologi, adalah bijak jika masing-masing kita mengeksplor dulu pemikiran masing-masing, bukan kemudian kamu telanjangi aku dengan pembelaan-pembelaan “transendemtal”. Wow gua cewek.. “malu” dong.

Jangan lupa Freud juga menjdi mazhab di tengah cercaan-nya. Dan sepenuhnya orang-orang kayak kamu gak peralu risih. Pak Nasaruddin Umar (Kalau kamu pake senjata pak Hadi, aku pakai Pak Nasarruddin yang dari UIN, Hehehe... UIN 1-UGM 1) mengambil langkah bijak ketika para feminis menyerang Freud. Lo tahu dia bilang bahwa apa yang dikatakan Freud, justru harus menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk membuktikan perkataan Freud tidak benar dengan serentetan penelitian. Nah aku tidak mendapat kepuasan dari sisi ini, pada orang-orang sepertimu yang mengkritik Freud.

Jika Islam menghargai pengetahuan, buktikan dong.. Yang terjadi sekarang kan kebalik, malah kaum Barat yang melakukan penelitian untuk membantah Freud. Frankl, ya kan? Kamu pasti tahu, kamu Franklian kan?

Aku tidak mendengar ada ekspos dari Ilmuwan Muslim yang melakukn penelitian ilmiah untuk membuktikan Qur’an dalam konten psikologis (bukannya kayak kaum alim UGM, yang skripsinya kurang kerjaan, neliti sholat sama kecemasan-lah, zikir dengan motivasi lah. Jelas dong hasilnya lebih memihak kepada mereka. Kesannya psikologi Islam itu kerjaannya Sholat, Zikir, Zakat doang Apa?). Apalagi ada kata-kata Islam anti postivistik, wah bahaya tuh. Lo tahu gak? Dosen gua banyak yang terkesan begitu tuh. Semoga Kak Pizaro gak kaya gitu yah. Iya lah UIN Man!!!

Kamu nggak Fair, hanya memakai nama-nama aman (Goleman and Badri) untuk mengulas Freud. Kenapa kamu gak sebut Brill yang sebelumnya kamu kupas di tulisanmu. Kenapa kamu gak sebut Melanie Klein untuk mendefenesikan Freud sebagai sebuah peradaban. Kenapa kamu gak sebut Karl Abraham dengan temuannya. Why? Apa karena mereka menjadi penggemar Freud dan mesti diakui membawa peubahan mindset Psikodinamika setelah Freud. Kamu gak fair kak Pizaro.

Sok monggo kamu baca tanggapan dari ku ini. Jangan bosan-bosan yuach... sama aku. Oya nomor lo rapa sih, gua kontak gak nyambung.

No comments: