18 February 2008

Jawaban terhadap tulisan Seksualitas Sigmund Freud: Meragukan Epistemologi Pizaro oleh Alika Baldan dari UGM


Oleh: Pizaro

Mahasiwa BPI UIN Jakarta

Pertama saya ucapkan terimakasih atas tanggapan anda terhadap tulisan saya yang beberapa waktu lalu dimuat. Dan saya minta maaf karena baru dibalas saat ini, karena ada kesibukan satu dan lain hal. Menurut saya, anda tidak perlu memakai nama sang adik untuk mengkritik, It’s OK santai saja.

Pertama yang harus diketahui adalah antara dikotomisasi epistemologi yang dilakukan ulama klasik dengan Freud. Di satu sisi kritik anda dalam hal ini bisa jadi benar, jika keduanya dilakukan pada tataran subyektif. Namun yang menjadi pembeda adalah ketika psikologi Islami dan ulama klasik yang concern terhadap psikologi tidak semata-mata disandarkan atas pendapat pribadi, namun dilandaskan prinsip keislaman. Secara spesisfik ialah dikembalikan kepada Allah. Tentu ini beda dengan Freud, yang menyisihkan konten transendental. Ini dinamakan problem epistemologis.

Kedua, tampaknya banyak persepsi keliru ketika unsur ketuhanan atau subyektif dibilang tidak ilmiah. Perlu digarisbwahi bahwa pendapat ini juga tidak didasari oleh pendapat obyektif. Namun saya tidak mau berdebat panjang lebar dalam hal ini, karena akan keluar dari konten yang sekarang didiskusikan. Saya hanya ingin anda melihat pendapat Alexander I. Solzhenitsyn, pemenang hadiah Nobel tahun 1970 untuk bidang literatur, memberikan pidato di London pada tahun 1983 di mana ia berusaha menjelaskan mengapa banyak sekali malapetaka buruk yang telah menimpa rakyatnya:


”Lebih dari setengah abad yang lalu, ketika saya masih kecil, saya teringat saat mendengarkan sejumlah orang-orang tua memberikan penjelasan berikut ini atas bencana dahsyat yang menimpa Rusia: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi. Sejak saat itu saya menghabiskan hampir 50 tahun untuk menulis tentang sejarah revolusi kami; dalam proses tersebut saya telah membaca ratusan buku, mengumpukan ratusan kesaksian dari orang-orang, dan telah menyumbangkan delapan jilid karya saya dalam upaya membersihkan puing-puing reruntuhan yang tertinggal akibat petaka tersebut. Tapi, jika sekarang saya di minta untuk mengatakan seringkas mungkin penyebab utama revolusi yang menghancurkan tersebut, yang menelan sekitar 60 juta rakyat kami, saya tidak mampu mengungkapkannya dengan lebih tepat kecuali mengulang perkataan: “Manusia telah melupakan Tuhan; itulah mengapa semua ini terjadi.”[1]

Nah saya hanya ingin menyatakan, apakah ucapan Alexander ini subyektif atau objektif? Menurut Kartanagara, unsur subyektifitas akan selalu berkait dalam penjelasan sebuah teori ilmiah. Sebagai contohnya, bahwa tidak mungkin dapat mengukur kecepatan sebuah kelereng yang menggelinding di atas laju kereta, tanpa menentukan posisi si subjek dari mana kecepatan kelereng tersebut harus diukur. Akan tetapi, jika kita mengukurnya di ruang angkasa, kita pasti harus memperhitungkan kecepatan rotasi bumi, selain kecepatan kelereng dan laju kereta, dan seterusnya.[2]

Dalam sebuah kesempatan sahabat Abu Dzar a-Ghifffari r.a pernah bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama dengan Rasulullah S.a.w. Di antara isi percakapan tersebut adalah wasiat beliau kepadanya. Berikut petikannya ;

Aku berkata kepada Nabi S.a.w, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan." "Ya Rasulullah, tambahkanlah." pintaku.

"Hendaklah engkau senantiasa membaca al-Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan simpananmu dilangit."
"Ya Rasulullah, tambahkanlah." kataku.
"Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah."
"Lagi ya Rasulullah."
"Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku."
"Lagi ya Rasulullah."
"Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka."
"Tambahilah lagi."
"Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya."
"Tambahlah lagi untukku."
"Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)."

Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya."

Menurut hemat saya, spirit seperti hadis di ataslah yang hadir dalam psikologi Islami, dan ini membawa manfaat kepada bagi kaum Muslim. di amna peran akal akhirnya kembali kepada worldview Islam

Ketiga, masalah aksiologis. Di manapun peradaban Islam tidak membawa keburukan bagi kaum lainnya dan kaum Muslim sendiri. Ini berbeda bagi Freud yang malah membawa mudharat bagi kaum Muslim dan orang barat sendiri.

“Masih banyak saran dan intepretasi yang lebih serius, beberapa di antaranya secara seksual tidak bermoral, yang diberikan pada pasien-pasien yang telah dewasa oleh beberapa psikoterapis muslim. Hal ini diberikan melalui pengaruh teori Freud, seperti tentang kekuatan dan energi seksual yang tidak disadari, kompleks-kompleks yang tidak terselesaikan, represi dan istilah-istilah lain yang senada. Para terapis ini memperbesar rasa bersalah dan penderitaan pasien-pasiennya dengan cara meningkatkan keraguan-keraguan pasien akan kebenaran Islam sebagai alat memecahkan masalah. Jika Islam melarang berzina, dan seorang dokter yang mengetahui ilmu Eropa, kemudian mengatakan bahwa jika tidak melakukan itu seseorang akan mengalami gangguan psikologis, maka salah satu dari itu ada yang salah.” [3]

Selanjutnya, Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times dan penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban barat, dan baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis ketimbang model-model alternatif yang dikembangkan para psikolog di luar universitas (dalam hal ini adalah pandangan psikologi transpersonal).[4]

Elmira menulis bahwa eksplanasi Freud tentang bentuk psikopatologis perilaku manusia yang bersumber dari kekuatan libido, menunjukkan penjelasan yang dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah positif, tetapi malah mengarahkan penyimpangan perilaku dalam upaya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan seksual. Manusia dalam ketidakberdayaan melawan libido yang digambarkan Freud, menjadi wujud makhluk yang begitu pesimis bahwa ia dapat keluar dari belenggu impulsnya. Seolah-olah tidak ada potensi, misalnya, berupa akal, kata hati, nurani, dan keyakinan akan dukungan supranatural berupa iman dan takwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan han yang instingtif.[5]

Ketiga, masalah batasan kritik terhadap psikoanalisis. Sutrisno Hadi menulis dalam postulat reliabilitas pemikiran bahwa orang-orang yang paling cerdaspun tidak pernah selamanya kebal dari kesalahan-kesalahan menganalisa dan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Pertama-tama mungkin dia menggunakan premis-premis yang salah. Selanjutnya mungkin dia tidak mengikuti secara tertib dasar-dasar logika formal, atau juga terlalu dipengaruhi keinginannya.[6] Adalah konyol jika batasan kritis yang ditentukan justru dalam sudut bentuk, bukan substansi. Bahkan dalam dunia memasak, kritikus yang hanya bermodalkan lidah saja akan diakui jika kritiknya konstruktif.

Pertanyaannya justru harus diarahkan, bagaimana membuat sebuah kritik yang ilmiah? Saya teringat ucapan Gunar Myrdal bahwa keterbukaan adalah kata kunci dalam sebuah diskusi kritis.

Keempat, menurut hemat saya, permasalahannya bukan pada seberapa kuatkah usaha yang dilakukan Freud. Karena jika worldview-nya telah keliru, maka akan keliru pula pengejewantahan dari worldview yang dipakainya, seberapapun ia kuat dan menghabiskan banyak waktu. Karena kita berdiskusi tentang epistemologi.

Dalam psikologi Islami, worldview yang dipakai konsep Islam, dalam artian adalah Al-Qur’an dan al-Hadis. Sedangkan Freud lebih menitikberatkan pada kosnep materialisme Darwin, yang itupun ternyata mendapat blacklist dari kaum muslim dengan tema besarnya survival for the fittest. Akhrinya kita bisa meihat bahwa filsafat materialisme itu melahirkan apa yang disebut prinsip kesenangan sebagai jatidiri manusia dalam psikoanalisis.



[1] Chandra, “Surat Untuk Atheis,” artikel diakses tanggal 9 Januari 2008 dari http://swaramuslim.net/more.php?id=A437_0_1_0_M.

[2] Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 158.

[3] Malik Badri, Dilema Psikolog Muslim. Penerjemah Siti Zaenab (Jakarta: IKAPI, 1986), h. 38. Buku ini menjadi semacam inspirasi bagi para psikolog muslim di Indonesia, seperti Hana Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, dan lain-lain.

[4] Chandra, “Surat Untuk Atheis”

[5] Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami: Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 107-108.

[6] Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1982) Cet. ke-12, h. 36.

No comments: