07 February 2008

PKS DAN PSIKOLOGI POLITIK-NYA

oleh: Pizaro

Penggiat Kajian Psikologi Politik BPI UIN Jakarta.

Keberanian adalah awal kreativitas

(Rollo May, Eksistensialis)

Here Come The Sun and I say It’s Alright


Mendengar diskusi dalam todays dialogue pada hari selasa (5/1/08) di METRO TV menyiratkan ada suatu pemandangan baru hasil dari oleh-oleh MUKERNAS PKS yang diadakan di Bali 1-3 Februari 2008. Diskusi itu dihadiri Fahri Hamzah (Wasekjen PKS) dan Jefrie Geovanie (The Indonesian Institute) dengan anchor Meutya Hafid.

Statement dari Fahri Hamzah yang menjelaskan bahwa inisiasi politik PKS saat ini lebih mengarah menjadi partai terbuka, menjadi tanda-tanya berbagai pihak. Ibarat dualisme, di satu sisi PKS sudah terlampau renta dijadikan image partai Islam ekslusif, namun di sisi lain hal itu berbenturan jika kita mencari referensi di MUKERNAS.

Strategi Politik (Baca: Marketisasi partai)

Dalam psikologi politik, kita mengenal termin strategi sosial dengan setting psikologis dalam mencari kedekatan emosional denagn konstituen. Kita tentu memahami, hasil MUKERNAS tidak lebih sebagai strategi yang sah-sah saja dilakukan setiap partai. Jika dikatakan PKS sudah terlempar dari komitmen pendirian partai, tampaknya ucapan ini perlu dipertanyakan. Karena apa? Karena politik sarat nilai. Partai tentu saja tidak ingin diikat oleh tali kekang stagnasi. Karena yang menjadi penting adalah bukan hanya berkutat pada diskusi kemapanan ideologi, namun bagaimana dialektika menafsirkan ideologi tersebut. Terlebih unsur pragmatis dalam kancah politik Indonesia sangat kental. Banyak partai di Indonesia memiliki ideologi mapan, namun mereka pasif menafsirkannya dalam bentuk riil. Pedoman ini pun ditunjukkan Fahri Hamzah yang menilai sekalipun “…PDIP becorak kiri, toh terjadi privatisasi besar-besaran ketika PDIP berkuasa…”.

Kita bisa melihat dari pernyataan dalam situs-nya, bahwa inilah ijtihadi sebuah partai yang berkomitmen nasionalis-relijius. Lembaga, sebagai sebuah institusi akan terus berdinamika melihat gejolak problem yang ada, karena Indonesia juga multi etnis, beragam, dan itu butuh pemahaman NKRI dengan wajah spiritual di atasnya. Kita ingat ketika H. Agus Salim meempunyai tafsir sendiri tentang nasionalisme dengan koridor keislaman di baliknya. Terlebih PKS yang didukung kaum cendikia kampus, mempunyai arah ijtihadi tersendiri. Pemilihan Bali sebagai tuan rumah pun tak lepas dari itu.

Alfred Adler pernah menyiratkan bahwa gaya hidup (dalam konsep psikologi politik diartikan misi) dalam setting sosial memiliki bentuk berbeda-beda yang diemban setiap lembaga. Artinya, partai yang mempunyai kader bersahaja (baca: almarhum KH. Rahmat Abdullah) ini, mengembangkan gaya hidup tersendiri yang coba diimplemantasikan menjadi partai “gaul” atau fleksibel sejauh masih dihiasi prinsip-psinsip dakwah. Psikodinamika juga mengingatkan ketika gaya hidup sukses menjalani tabiat politik, pada dasarnya ada diri kreatif di belakang itu semua (semacam terminologi ruh dalam psikologi Islami).

Yang menarik dari MUKERNAS adalah, PKS seakan mau melakukan antitesa pada paradigma yang bergulir bahwa partai berbasis kampus ini anti pluralitas, anti non-muslim, atau apalah namanya. Ini penting dalam psikologi politik dan itu coba diangkat PKS dengan mengundang Taufik Kiemas dan ormas-ormas non-Islam. Kita melihat ada kesan political approach dengan tema besar indigenous psychology. Dalam psikologi politik, pendekatan ini sangat lazim digulirkan dalam setting kekuatan daerah pada suatu negara. Seperti PAN dengan Muhammadiyah sumatera-nya. Bahkan pada dahulu kala, walisongo sudah memulainya dalam bingkai perwayangan khas Jawa.

Bukan perubahan Ideologi

Jika perkataan Jeffrie Geovanie yang mengatakan bahwa masyarakat menjadi bingung melihat sepak terjang PKS saat ini, adalah perlu melihatnya pada tema jangka panjang. Masyarakat mugkin saja terancukan dalam membaca MUKERNAS, namun dalam psikologi politik, proses politik yang menentukan segalanya. Terlebih, partai dalam psikologi politik bukan menjadi dogma, sekalipun itu partai Islam. Akan tetapi, lebih sebagai ”syiar” dengan political aproach untuk menerapkan prinsip-prinsip ideologis.

Hal terpenting adalah, bahwa apa yang dilakukan PKS sama sekali jauh bila disebut perubahan ideologi. Tolak ukur dari perubahan ideologi adalah pada perombakan AD/ART lembaga yang dalam hal ini enggan dilakukan PKS. Akan tetapi, konstelasi politik yang terjadi lebih pada titik tekan perubahan paradigma dan bentuk strategi politik.

Selain itu, kita mungkin heran jika konteks politik keindonesiaan mencoba disama-ratakan dengan sistem partai di AS. Ketika masyarakat sana sudah fasih menerjemahkan sepak terjang (partai) Republik dan (partai) Demokrat. Permasalahannya kemudian dalam psikologi politik, amatlah beresiko jika partai keukeuh pada satu bentuk pendekatan. Karena politik adalah dinamika. Ini terjadi jelas pada PKI, ketika mereka tidak berkutik pada cara-caranya menafsirkan ideologi.

Perlu diingat, apa yang terjadi di AS lebih mempunyai titik pijak pada sistem politik. Ini dikarenakan pada minimalitas-kuantitas ideologi yang berkembang di sana. Fakta ini seakan membuat masyarakat paman Sam sudah bisa menentukan “takdir” partai. Berbanding terbalik jika dibandingkan Indonesia yang sarat ideologis dan banyaknya partai yang hadir. Karena sistem politik Indonesia mengamini kecendrungan itu. Ini pun belum diikutsertakannya indigenous psychology masing-masing partai. Selanjutnya, pada era demokrasi saat ini, jejak langkah reformasi menjadi sulit ditebak, inilah yang terus bergulir pada kesulitan individu melihat kepastian partai (baca: strategi politik).

Yang membedakan PKS nantinya.

Allport pernah mendelegasikan bahwa prinsip hidup atau ideologi politik amat penting menaungi derap langkah. Sedangkan, Adler menyatakan bahwa finalisme fiktif atau visi politik menentukan cara “berepistemologi” manusia sosial. Karenanya, yang membedakan PKS nantinya dengan PPP, PBB, PKB, atau PAN, di mana PKS harus membuktikan ke-istiqomahan-nya pasca MUKERNAS.

Namun jika kita tilik dalam psikologi politik, sebenarnya partai yang berpusat di bilangan Mampang Prapatan ini, terbilang unggul satu langkah dengan partai-partai Islam lainnya. Pertama, seperti yang diamini Jefrie Geovanie, PKS sangat cerdik mengelola potensi-potensi kadernya, hingga partai ini terbilang paling solid. Atau dalam koridor psikologi politik terdefinisi sebagai manajemen konflik partai. Kedua, penulis melihat Image PKS lebih kuat dari partai lainnya. Ketiga, tubuh PKS cukup bersih dari kasus-kasus kriminalisasi partai atau kasus KKN yang justru itu banyak terjadi pada partai lain. Kempat, nyali sosial PKS telah teruji di masyarakat, ketika momen-momen bencana hadir dan itu dilakukan dengan sistemik. Ironisnya or the awful, PKS adalah partai yang tidaklah besar layaknya PKB dan PPP.

No comments: