07 February 2008

OBAMA VS CLINTON: MENCARI IDENTITAS AMERIKA

oleh: Pizaro

Penggiat Kajian Psikologi Politik BPI UIN Jakarta.

Ada yang menarik dengan konstelasi politik kubu partai Demokrat. Kita ketahui bersama Super Tuesday sudah lewat. Kita semua juga masih menunggu siapa yang keluar sebagai pemenang. Obama atau Clinton? Berdasarkan informasi yang muncul, Obama kini telah unggul di 12 Negara Bagian. Sedangkan Clinton tertingal, karena hanya berhasil mencamplok 8 Negara Bagian.

Namun yang menjadi perbincangan kalangan kini ialah di mana Pemilu kali ini bisa dibilang trend sejarah yang sulit terlupakan. Bagaimana tidak seorang kulit hitam dan seorang wanita sangat berpeluang menjadi presiden AS untuk pertama kalinya.

Dalam psikologi politik, Clinton sangat diuntungkan dalam pencitraan gender dalam dirinya. Alhasil banyak ibu-ibu dan wanita berbondong-bondong tersihir meneriakkan “...Go..Hilarry… Go…Hilarry…Go..Hilarry...”. Tak terkecuali pentolan Kajian Amerika UI yang juga seorang wanita. Gadis Arivia yang beberapa waktu lalu tinggal di Amerika merasakan betul situasi ini. Sebagai seorang feminis, ia mengamini bahwa pencitraan gender menarik simpatik kaum perempuan dalam Pemilu 2008.

Di lain pihak, Obama tak kalah giatnya. Stigma kulit hitam yang terpinggirkan dalam konstelasi presiden AS pada sebelumnya, sedikit-demi sedikit diitepis oleh kehadiran pria tegap yang pernah menetap di Jakarta ini, dan mempunyai nama kecil Beny Soetoro. Oprah Winfrey yang juga kulit hitam dan entertainer paling mahsyur di dunia, pun menjadi tim sukses untuk menggolkan koleganya ini.

Secara Obama melahirkan spirit psikologis baru, bahwa siapapun berhak bersuara di Amerika. Padahal jika kita bersejarah, banyak suara kulit hitam dibungkam. Keadilan yang mereka kecap tak merata. Karenanya, musik rap dijadikan simbol gebrakan perlawanan, di mana kulit hitam tidak dapat fasilitas alat musik layaknya kulit putih. Namu tetap bisa berkarya. Alhasil Eminem Si kulit putih juga memainkan musik ini.

Amerika gitu loh? Yupp itu kata pertama yang penulis gambarkan dengan situasi di bumi para intelektual ini. Hal yang patut diapresiasi adalah di mana Amerika mampu dewasa menangkap sinyal multi etnis.

Dalam sosiologi kita ketahui kelompok terbagi dua macam yakni in group dan out goup. Dinamika yang terjadi adalah kerap kali in group berubah menjadi fundamentalisme yang coba menyisihkan kekuatan out group. Akan tetapi, fakta di Partai Demokrat tentu berbeda. Problem primordialis yang meledak di Sulawesi Selatan, tak begitu terasa gaungnya di Amerika. Coba anda bayangkan betapa ngerinya analisa seorang psikolog, bahwa konflik PILKADA di Sulsel sedikit-banyak didominasi aura etnis.

Kedewasaan Partai Demokrat

Pada 31 Januari 2008 di Kodak Theatre, Los Angeles, kedua jagoan ini tampil ke muka. Mereka sama sekali tidaklah berwajah bak petinju sebelum bertanding yang kerap saling mengejek dan menjatuhkan nyali. Akan tetapi Mis Clinton dan Mr. Obama ini bersatu-padu, saling menunjukkan tabiat negarawan. Padahal sebelumnya tidak jarang terjadi perdebatan yang menjurus ke wilayah personalistik. Faktanya, untuk menunjukkan telah berdamai mereka bersikap ramah dan santun dengan senyum menyeringai di balik dua kulit paradoks tersebut.

Dalam konten psikologi politik, sikap dewasa diarahkan untuk menurunkan intensitas tegangan politis. Dan karakter negarawan tersirat dalam wibawa dan cara berpikirnya yang rasional. David Cavanagh pernah menggariskan bahwa ciri kultur politik masyarakat berkembang mempunyai sisi khas dalam cara politik yang digunakan elite partai adalah cara-cara norak dan jauh dari nilai-nilai peradaban. Pemfungsian “otot” ketimbang emosi dan rasio.

Namun penulis melihat, tampaknya Clinton dan Obama tahu betul resiko saling egosentris jika dikembangkan. Bukan hanya akan dimanfaatkan pihak Republik, namun yang terpenting adalah ketika itu akan menjadi boomerang berupa timbulnya The ambiguity of trust dalam konstituen Demokrat. “…Saya akan berteman dengan Hilarry Clinton sebelum kami memulai kampanye ini. Saya akan berteman dengan Hilarry Clinton setelah kampanye ini selesai…” lirih Obama ketika duduk untuk memulai debat di Kodak Theatre.

Pelajaran dari Amerika untuk kaum Kampus

Walaupun namanya mahasiswa, namun kultur politik masyarakat berkembang layak disandingkan kepada mahasiswa Indonesia. Ketika yang mereka pakai adalah nalar tak berlogika. Ini patut disayangkan, terlebih isu pembubaran BEM yang digulirkan DEPAG sangat kencang. Mahasiswa masih alpa merumuskan cara berpolitik santun. Tesis politik berkembang ala Cavanagh sangat erat kaitannya dengan segenap mahasiswa yang ada. Mereka lebih bergiat untuk black campaign, ketimbang debat berkualitas. Mereka lebih memilih cara-cara yang gak ada dalam kamus politik di manapun juga, seperti mengumpulkan Kartu Tanda Mahasiswa dan mengimbau untuk memilih si Anu, si Itu namun alpa menulis garis bawah rasio yang tepat. Bukankah itu mengajarkan kita untuk memendamkan logika obyektif? Bukankah cara-cara seperti ini juga akan ditertawai mahasiswa Amerika atau Afrika sekalipun? Nggak malu atuh? Perkembangan yang miris adalah bahwa mahsiswa sudah amat terlempar jauh untuk bervarian positif dalam substansi politik. Mahasiswa lebih mencari politik dalam lapangan teknis, dibanding sekedar mengupas buku dasar-dasar politik Prof. Miriam Budiarjo atau mengadakan pendidikan politik.

Sekiranya kita bisa mengambil hikmah dari Amerika, bahwa perbedaan jenis atau kelompok bisa disalurkan dengan prinsip-prinsip pintar atau fasih untuk menangkap sinyal politik yang keliru. Di Demokrat misalnya, kritik yang dilancarkan sangat rasional. John McCain digugat oleh Obama dan Clinton ketika melayangkan bola panas perang Irak dengan 100 tahun-nya. Selanjutnya, Obama dan Clinton juga mengkritik sikap mencla-mencle McCain terkait pemotongan pajak pemerintahan Bush tahun 2001 dan 2003.

Pemilu akan terus bergulir, siapa yang akan keluar jadi pemenang? Dan yang terpenting adalah siapa yang akan mewakili Identitas Amerika? Good Bye Bush? Welcome to The White House! And CIA keep move! And they say to Journalist “…Get out…get out From here…!!” And all of Journalist just say walkly “… Mr. President, please…”

No comments: