11 February 2008

EVERYTHING ABOUT LOVE[1].

Oleh: Pizaro

Apa itu Cinta?

Suatu kali dalam launching film Love, Irwansyah mengatakan bahwa cinta adalah pengorbanan. Bahkan kemudian Laudya Chinta Bella yang juga berakting dalam film itu, mendefenisikan cinta sebagai ketulusan. Wah mereka berdua suruh belajar psikologi dulu deh. Kenapa yah arti cinta selalu dianalogikan, bukan diuraikan. Apa benar kata Vinny Alvionita jika ungkapan klise mereka seperti itu karena cinta adalah misteri yang sulit didefinisikan? Kayaknya enggak juga deh.

Dalam psikologi kita mengenal beberapa elemen psikis seperi konasi (kemauan), kognisi (pikiran), psikomotorik (fisik), dan emosi (perasaan). Dalam perkembangannya emosi dinyatakan salahsatunya dalam bentuk cinta. Ashley Montagu memandang cinta sebagai sebuah perasaan memperhatikan, menyayangi, dan menyukai secara mendalam yang biasanya disertai dengan rasa rindu dan hasrat terhadap objek.

Sedangkan Abraham Maslow melihat cinta sebagai proses aktualisasi diri yang bsia membuat orang melahirkan tindakan--tindakan produktif dan kreatif. Dengan cinta seseorang menyadari bahwa dirinya akan mendapatkan kebahagiaan bila mampu membahagiakan orang yang dicintainya.

Psikologi Cinta

Untuk lebih jelasnya, Erich Fromm, psikolog dari Jerman (1900-1980), pernah mengajukan pemikirannya tentang cinta. Seperti dikutip Eko Harianto, Fromm menelisik konsep cinta yang sejati menjadi 4 unsur:

1. Care. Diperlukan agar dapat memahami kehidupan, perkembangan yang maju atau mundur, baik atau buruk, dan bagaimana kesejahteraan orang yang mencintainya.

2. Responsibility. Tanggung jawab diperlukan atas kemajuan, keberkembangan dan kebahagiaan, dan kesejahteraan orang yang dicintai. Maksudnya bagaimana kesiapan diri untuk menanggapi kebutuhan yang diperlukan dan juga bagaimana kesiapan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang muncul.

3. Respect. Hal ini menekankan pada bagaimana menghargai dan menerima objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati.

4. Knowledge. Pengetahuan diperlukan guna mengetahui seluk beluk objek yang dicintai. Bila objek yang dicintai manusia, maka harus dapat memahami kepribadiannya, latar belakang yang membentuknya, dan kecendrungan dirinya. Dan yang perlu dipahami lagi bahwa kepribadian seseorang itu terus berkembang.[2]

Bagi Fromm, setiap manusia memang didorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologi dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Namun orang-orang yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang sehat secara kreatif dan produktif.[3]

Persepsi cinta juga ditawarkan J. Sternberg lewat triangular of love. Menurutnya cinta adalah sebuah kisah yang ditulis setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaaan seseorang terhadap suatu hubungan.

Konsep cinta menurut Sternberg memiliki tiga unsur:

1. Yakni gairah, elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual.

2. Kedua, keintiman, yang merupakan elemen motivasi, dan di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan untuk membina hubungan.

3. Ketiga, komitmen yang merupakan elemen kognitif berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan sesuatu kehidupan bersama.

Sternberg menyimpulakn bahwa kadar cinta dalam setiap individu sangat berbeda. Ada yang hanya kuat di gairah, tapi sungkan dalam berkomitmen. Atau ketika keintiman meninggi, namun tidak mempunyai lemen kegairahan, just as friend. Karenanya Strenberg mengurai komponen-komponen itu agar kita dapat melihat seperti apa karakter percintaan umat manusia.

Tipe

Komponen yang hadir

Deskripsi

Non Love

Ketiga Komponen tidak ada

Terjadi pada hubungan antar pribadi yang semata-mata hanyalah pertemanan biasa.

Liking

Hanya Keintiman

Ada rasa kedekatan, saling Pengertian, dukungan emosional. Ini terjadi pada hubungan persahabatan.

Infatuation

Hanya Gairah

Layaknya cinta pd pandangan pertama. Hanya tertarik pd fisik semata. Biasanya mudah hilang.

Empty Love

Hanya Komitmen

Terjadi pd pasangan yg telah menikah dalam waktu panjang. Mereka sudah kehilangan gairah fisik dan emosional

Romantic Love

Keintiman dan gairah

Relasi yg melibatkan gairah fisik maupun emosi yg kuat, tanpa ada komitmen. Contohnya pacaran atau HTS.

Companionate Love

Keintiman dan Komitmen

Hubungan jangka panjang yg tidak melibatkan unsur seksual, termasuk persahabatan. Contohnya perkumpulan orang-orang tua.

Fatous Love

Gairah dan Komitmen

Hubungan dengan perjanjian tertentu atas dasar gairah saja. Seperti kawin kontrak.

Consummate Love

Semua Komponen

Cinta yg sempurna dan ideal.

Candu akan Cinta: What’s wrong about Love?

Dalam sudut psikologis adalah wajar bagi manusia mengembangkan rasa cintanya. Namun yang menjadi mengkhawatirkan ialah bagaimana setiap individu mengalami gejolak rasa cemas, gelisah, khawatir hanya karena cinta. Dan bahkan selalu menyisihkan waktunya everything about love. Tanda-tandanya mungkin sebagai berikut.

· Adanya pikiran obsesif misalkan terus menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus menerus takut ditinggalkan, sehingga kemanapun selalu mengikuti.

· Selalu meminta diperhatikan dalam setiap waktu.

· Manipulatif, menghalalkan berbagai cara agar pasangan mengikuti kehendaknya.

· Selalu bergantung pada pasangan dalam segala hal, seperti pendapat, mengambil keputusan dan lainnya.

· Menuntut waktu, perhatian, dan pengabdian yang total dari pasangan /kekasih. Menjadi semakin egosentris.

· Menggunakan seks sebagai alat untuk mengendalikan psangan.

· Menganggap seks adalah bagian dari cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta.

· Tidak bisa memutuskan hubungan walaupun sangat tersiksa, karena selalu diiming-imingi janji-janji surga kekasih.

· Kehilangan hal terpenting dalam hidup, seperti mengekspresikan jatidiri sendiri, tersendat dalam pendidikan, diskusi jadi sulit, pekerjaan terbengkalai etc.

Refleksi Cinta

Seseorang yg menjadi candu akan cinta, memperlihatkan ketidakmatangan secara psikologis. Secara spesifik ini terlihat belum mampunya individu menyelesaikan konflik internal dalam diri yang seharusnya dapat diselesaikan bila ingin meraih kesempurnaan cinta ala Sternberg. Karena itu penting yang disebut sense of our identity, di mana semaksimal mungkin kita tahu pertanyaan-pertanyaan dari:

Siapakah aku?

Punya apakah aku?

Dan Apa yang aku bisa?[4].

Setelah itu kita dapat, adalah keharusan untuk mengembangkan self of our awareness (Rasa Kesadaran) dengan berprinsip mandiri dahulu untuk menghadapi masalah.

Bagaimana pada dasarnya hubungan cinta yg telah dilaksanakan mempunyai kewajiban untuk dapat memajukan kualitas masing-masing dalam berbagai segi positif. Kita tentu akan heran ketika gaya cinta yg selalu menekankan pada faedah gairah selalu dinomorsatukan. Adalah baik jika hubungan pasangan berlalu dengan senantiasa membantu agar si objek cinta mengerti akan arti kehidupan yang lebih agung lagi. Karenanya, kita juga akan “aneh” bukan? Bila ada pasangan berbarengan duduk manis dalam seminar, yang satu jadi moderator dan yang pasangannya sibuk memfoto, bersama-sama menangani proyek sosial, saling bertukar karya-karya sastra, “debat” tak kunjung usai tentang keilmuan masing-masing.

Selain itu, kita semestinya berhati besar untuk menafsirkan cinta dalam sudut pandang yang luas. Alfred Adler pernah mendelegasikan bahwa dalam setiap individu mempunyai diri keratif, yang cenderung hanya ada pada orang tersebut. Seorang aktivis mungkin menafsirkan cintanya kepada berbagai hal untuk mengembangkan organisasinya. Seorang Frankl menafsirkan Cinta lewat 10 perintah Tuhan. Seorang bookworms menganggap buku adalah pacar sejatinya. Sedangkan, musisi lebih suka melampiaskan “keintimannya” pada sebuah gitar. Apakah juga kita harus menafsirkan cinta layaknya Fromm? yang menganggap Cinta adalah sisi produktifitas yang akan melahirkan keratifitas. Hanya diri kreatif kita yang bisa menjawab.



[1] Diskusi Kamisan FKM BPI/BKI Se-Indonesia bekerja sama dengan mahasiswa angakatan 2007 BPI UIN Jakarta.

[2] Eko Harianto, Psikologi Cinta Sejati (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2004), h. 35-36.

[3] Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan, cet. 14 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 66. Cinta di sini juga bisa disebut cinta produktif. Baginya cinta produktif bisa menjawab gejolak masyarakat modern, salah satu kareteristiknya adalah kreatifitas, khususnya aritistik. Hal ini juga menjadi pemandangan serupa dari konsep sublimasi Freud. Konsep ini setidaknya telah berekspansi ke ranah yang lebih sosiologis, walau Fromm pada mulanya bersifat psikologis dan filosofis.

Pikiran-pikiran Fromm tentang masyarakat modern sedikit banyak diulas oleh Khoirul Rosyidi. Lebih jelas lihat Khoirul Rosyadi, Cinta dan Keterasingan (Yogyakarta: LKiS, 2000). Selain Freud dan Fromm gagasan sosial dari kerangka psikologis, terangkum juga oleh Adler dengan skema hasrat sosialnya. Di mana manusia tergerak oleh dimensi sosial di mana ia hidup. Menariknya mereka semua bagian dari mazhab psikodinamika. Dengan ini kita dapat melihat gambaran pribadi seimbang dalam konteks psikodinamika. Ulasan dimensi sosial Adler dalam Pizaro, “Dinamika Jiwa-jiwa Revolusioner,” artikel diakses pada tanggal 3 Desember 2007 dari http//:www.bpi-forum.blogspot.com/2007/12/dinamika-jiwa-jiwa-revolusioner.html

[4] Lihat pembahasan Resiliensi pada Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 227-232.

No comments: