20 February 2008

Sastra Islami sebagai Dakwah


Oleh : Muhammad Taher Soleh

Alumnus BPI UIN Jakarta

Awal tahun dua ribu enam lalu dunia sastra didera shock therapy dengan hadirnya buku-buku prosa baik itu novel dan cerpen yang ditulis penulis-penulis muslim, di antara mereka yang mendapat sambutan hangat dari pembacanya ialah buku Ayat-Ayat Cinta dan Di Atas Sajadah Cinta karangan Habiburrahman el-Shirazy, kemudian muncul pelbagai judul novel “berbau” cinta, dari mulai Zikir-Zikir Cinta karangan Anam Khoirul Anam, Kasidah Cinta karya Muhammad Muhyidin, Musafir Cinta karya Taufiqurahman Al Aziz (trilogy) hingga karya terbaru juga dari Habiburrahman E-Shirazy yang kembali menjadi best seller, Ketika Cinta Bertasbih.

Pada cerpen pun mengalami peningkatan dengan munculnya cerpenis-cerpenis muda jauh sebelum “sastra tema cinta” di atas lahir. Nama-nama seperti, Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, Muhammad Yulius, dan Dian Yasmina Fajri telah akrab di telinga para penikmat sastra di Indonesia. Tentunya tema yang diangkat dalam cerpen-cerpen mereka tidak lepas dari muatan dakwah, kental dengan nuansa Islam. Tema-tema cinta, pergaulan, dan seks yang demikian “liar” dan penuh dengan derajat nafsu antara laki-laki dan perempuan disajikan sedemikian halus, indah, penuh spiritualitas. Agama mereka ungkapkan secara sengaja dalam sastra tetapi estetis tidak menabrak demarkasi antara nilai sastra itu sendiri dengan agama, bedakan tatkala kita membaca buku agama yang benar-benar nyata nuansa rabbaninya.

Dengan mainstream seperti ini maka banyak pengamat sastra melihat bahwasanya telah muncul genre sastra baru yang mampu menghadirkan suasana baru dalam dunia sastra dan semakin memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Dengan beragam istilah genre ini dimunculkan : Sastra Pencerahan (Danarto), Sastra Profetik (Kuntowijoyo), Sastra Sufistik (Abdul Hadi), Sastra Dzikir (Taufik Ismail), sastra Transenden (Sutardzi Calzoem Bachri),[1] hingga Sastra Islam. Substansinya dimaknai sebagai sastra yang berlandaskan kepada ahklak Islam, dari segi cerita, kecantikan diksi (pemilihan kata), sampai penokohan yang benar-benar menghadirkan tauladan bagi pembaca. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan tema-tema sastra yang diusung oleh Ayu Utami (Saman dan Larung) dan Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet) yang lebih “vulgar”, berani dan “terbuka”[2], maka genre sastra ini lebih halus dengan pemaknaan terhadap sastra yang demikian religius.

Dengan perkembangan yang sangat cepat, kehadiran novel dan cerpen yang bernafaskan Islam ini--selanjutnya penulis menggunakan istilah sastra islam--tak pernah berhenti dilahirkan oleh para penulis muda muslim.[3] Karya sastra islam seperti air yang mengalir deras, ribuan orang berjejal memborong buku-buku Islam di pameran. Semakin banyak sastra islam dihasilkan menandakan bahwasanya masa ini adalah masa kejayaan sastra islam, apalagi jika melihat segmen pasar di Indonesia yang mayoritas muslim memungkinkan masa keemasan ini akan lama bertahan.

Dengan melihat kondisi di atas dunia tulis menulis (sastra) tentunya bisa dijadikan sarana dakwah dengan berbagai kelebihannya yakni menjangkau audiens yang lebih luas dalam masa yang lebih panjang.[4] Dengan aksentuasi (titik berat) seimbangnya pemahaman akan agama dan pengetahuan mendalam tentang sastra harus dimiliki oleh para penulis. Peran ini pun telah dilakukan dan masih diperjuangkan oleh para pejuang tinta senior dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja Taufik Ismail dan Emha Ainun Najib.[5] Peran novel dan cerpen islam kini bukanlah menjadi bacaan semata melainkan sudah menjadi metode penyejuk hati.

Di dalam sastra genre ini terkandung message bimbingan rohani, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, dan pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan.yang mampu membantu individu (pembacanya) melihat persoalan kehidupan, lika-liku pergaulan yang kemudian diatasi secara islami oleh sang pengarang.[6] Bentuk dakwah--dalam hal ini cenderung pada metode Mau’idzah al-hasanah, tutur kata yang lembut sehingga akan terkesan di hati.[7]-- ini begitu pesat perkembangannya sehingga banyak bermunculan penulis-penulis muda potensial yang karyanya tidak dapat dianggap murahan atau tak berkualitas tetapi karya yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya, prilaku, dan tulisannya. Sehingga segalanya menjadi nilai ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Al-Karim Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Ahzaab (33: 70-71)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (70). Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (71)”.[8]

Dengan hadirnya sastra genre ini diharapkan mampu menjadi penyaring sajian-sajian tak mendidik dan merusak moral di media cetak dan media elektronik. Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama merumuskan beberapa cara menghadapi bahayanya moral diantaranya perlu adanya saringan atau seleksi terhadap kebudayaan selain itu pendidikan agama harus diintensifkan baik itu melalui pendidikan agama di rumah, sekolah atau pun lingkungan setempat melalui pengajaran atau buku-buku yang Islami.[9]

Seperti kita ketahui bersama bahwa kondisi moral bangsa sudah mengalami pergeseran, masyarakat sudah demikian patologis, kriminalitas di mana-mana, seks bebas menjalar, narkoba sudah menjadi kebiasaan muda-mudi, ditambah lagi budaya ketimuran yang mulai habis dikikis peradaban barat, menawarkan hedonisme dan konsumerisme. Tentunya persoalan ini banyak dialami oleh kaum muda yang demikian permissive akan sesuatu dan ini sangat berbahaya jika dakwah yang selama ini berkutat pada satu ragam wilayah harus diubah sesuai dengan minat dan kecendrungan remaja atas dasar kekinian.

Referensi bacaan yang selama ini menjadi konsumsi masyarakat tentunya jauh dari nilai-nilai religius—kecuali buku-buku agama dan motivasi. Sangat baik sekali apabila sastra menjadi salah satu “senjata” ampuh dalam deretan “senjata dakwah” lainnya.



[1] Budi P Hatees, “Sastra Religius dan Rimba Materialisme”, artikel diakses pada 3 April 2007 dari http://www.cybersastra.com

[2] Penulis-penulis generasi muda dijuluki Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) atau Fiksi Alat Kelamin (FAK) oleh sastrawan Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya. Reiny Dwinanda, “Kebebasan Berekspresi, Polemik Tanpa Akhir”, Republika, 22 Juli 2007, h.B10

[3] Ahmadun Yosi Herfanda menulis bahwa pada awalnya fenomena fiksi (sastra) islami terutama memang lahir dari upaya membangun ruang alternatif bagi penulis muslim yang meyakini bahwa menulis adalah bagian dari upaya penyebaran nilai-nilai Islam, namun selanjutnya bisnis fiksi islami ini dicium oleh kapitalis penerbitan. Lihat “Kapitalisasi Sistem Produksi Sastra Kota,” Majalah Sastra Horison, No.9 (September 2004): h 21-26

[4] Dian Yasmina Fajri, dkk., Buku Sakti Menulis Fiksi, (Jakarta: PT.Kimus Bina Tadzkia, 2004), h.III

[5] Dalam sajak-sajak Taufik, latar belakang agama menjadi sikap dalam menghadapi masalah. Kendatipun kebanyakan pengarang kita beragama Islam, namun mereka yang secara sadar menggali keyakinan agama Islam-nya sebagai permasalahan dalam karya-karya sastranya tidaklah banyak. Lihat Ajip Rosidi, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Cet.ke-2, h.57

[6] Menurut WS Rendra, sastra dan kesenian harus memberi arti kepada masyarakatnya. Penyair, seniman mempunyai fungsi “membimbing” atau memimpin perubahan masyarakat. Lihat Sutan Takdir Alisjahbana, Seni dan Sastera di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), Cet.Ke-1, h.119

[7] Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), h.122

[8] Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI, penerbit PT.Syaamil Cipta Media, h.427

[9] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan-Bintang, 2005), Cet.Ke-17, h.155

No comments: