11 February 2008

SPIRITUALITAS CINTA MANUSIA

Oleh: Pizaro

Karena cinta, duri menjadi mawar

Karena cinta, cuka menjadi anggur segar.

Karena cinta, pentungan menjadi mahkota penawar.

Karena cinta, kemalangan menjelma keberuntungan.

Karena cinta, rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar.

Karena cinta, tumpukan debu tampak sebagai taman.

Karena cinta, api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan.

Karena cinta, setan berubah menjadi bidadari.

Karena cinta, batu yang keras menjadi lembut bagai mentega.

Karena cinta, duka menjadi riang gembira.

Karena cinta, hantu berubah menjadi malaikat.

Karena cinta, singa tak menakutkan seperti tikus.

Karena cinta, sakit jadi sehat.

Karena cinta, amarah berubah menjadi keramahtamahan.

(Jalaluddin Rumi)

Oh Rumi tunjukkan padaku, cinta apa itu?

Ternyata cinta tidak hanya terbelit pada dinamika sesama manusia. Cinta tidak melulu dinisbahkan pada pertalian pop antara pria dan wanita. Keagungan cinta mencoba menghadirkan pandangan baru memandang keagungan seisi alam. Karena cinta adalah beyond of love. Cinta itu melampui makna cinta itu sendiri. Namun cinta apakah yang seperti itu?

Bagi Gede Pramana, ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah makna cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan (power). Mari kita renungi perjalanan cinta kita masing-masing. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya. Seolah-olah disuruh memindahkan gunung-pun rasanya bisa. Menempuh jarak Padang-Jakarta pun it’s OK dikerjakan. Hampir tidak ada penugasan dari lawan jenis yang kita cintai yang tidak bisa diselesaikan. Mulut ini seperti dengan cepatnya berteriak : bisa ! Demi si dia? So what gitu lho?

Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love seperti disitir Gede Pramana, menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.[1]

Kaum agamawan nan bijaksana menggunakan kekuatan terakhir sebagai sarana untuk bertemu Tuhan. Usahawan yang berhasil menggunakan tenaga maha besar ini untuk menekuni seluruh pekerjaannya. Ibu yang mencintai keluarganya mengabdikan seluruh tenaganya untuk mencintai anak dan suaminya. Pekerja yang menyadari kekuatan ini menggunakannya untuk bekerja mencari harta di jalan-jalan cinta. Seorang mahasiswa yang sangat menyayangi ilmunya hingga berapapun uang ia habiskan sekedar membeli buku. Banyak orang yang dijemput keajaiban karena kemampuan untuk membangkitkan tenaga maha dahsyat ini.

Kita bisa bayangkan, tentara Inggris yang demikian perkasa harus pergi dari India karena kekuatan cinta Mahatma Gandhi beserta pejuang lainnya. Negeri ini dideklarasikan secara amat gagah berani melalui duet cinta Sukarno-Hatta. Demokrasi Amerika berutang amat banyak pada cinta George Washington. Raksasa elektronika Matsushita Electric dibangun di atas tiang-tiang cinta Konosuke Matsushita. Microsoft sampai sekarang masih dipangku oleh kecintaan manusia luar biasa yang bernama Bill Gates. Sulit membayangkan bagaimana seorang Jenderal besar Sudirman bisa memimpin pasukan melawan Belanda dengan badan yang sakit-sakitan, kalau tanpa modal cinta yang mengagumkan. Wanita perkasa dengan nama Kartini mengambil resiko yang demikian tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya, apa lagi yang ada di baliknya kalau bukan kekuatan-kekuatan cinta.

Boleh saja Anda menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi Gede Pramana setuju dengan Deepak Chopra yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis, “…merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality…”. Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.[2] Aduh kayak Muhammad Iqbal saja, ketika mengatakan Ego Tertinggi adalah Tuhan yang menghasilkan keindahan estetik.[3] Kita melihat Indah karena memang Objek yang kita pandang itu indah. Karena indah bukan lahir dari penghayatan subjektif, tapi realita objektif.

Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan Diri yang sejati. Ada yang menyebut Diri sejati terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika Anda menemukannya, kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya: ahhhhh ! Serupa dengan pengalaman jatuh cinta para mahasiwa saat ini, di mana semua unsur kognisi, afeksi, konasi, dan psikomotorik sedemikian kuat dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta sebagai kejadian spiritual. Ia mendamaikan, menggembirakan, mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan, bawahan. Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang menyentuh kalbu. Anda tertarik ?


Cinta di Psikologi Islami

Cinta adalah bahasa fitrah manusia. Namun apa jadinya jika kesucian cinta dipasrahkan kepada libido yang mengikat kepada kotoran yang berat? Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa spiritualitas yang ditekan oleh cinta hanya memperosok manusia jauh ke jurang yang lebih dalam. Oleh karenanya cinta dan syirik adalah dua hal yang inheren. Al-Jauzi kemudian teringat bahwa Allah Swt. mengisahkan cinta orang-orang musyrik pada kaum Nabi Luth, dan permaisuri Mesir yang ketika itu masih berstatus musyrik. Semakin besar kesyirikan seseorang, maka ia diuji dengan cinta gambar-gambar dan sebaliknya semakin kuat tauhid seseorang, maka ia dipalingkan dari kenistaan kelam tersebut. Selanjutnya al-Jauzi menyatakan bahwa zina dan homoseksual akan mengeliminir hati manusia, walaupun orang itu pada dasarnya baik-baik saja.[4]

Abdul Mujib menyayangkan jika manusia hanya membelit ekslusif cinta dalam koridor birahi. Dalam psikokogi Islami, seperti dikatakan Mujib, cinta merupakan aktivitas kalbu manusia yang naturnya cenderung kepada rohani (suci, baik, dan positif). Cinta merupakan manifestasi dari sifat Al-Rahman, Al-Rahim, Al-Wadud Allah Swt.[5] Jika skema kalbu menjadi kuat dan energi nafsu melemah, cinta yang seksis itu berubah menjadi cinta ilahiah, satu cinta universal dan tidak banyak menuntut karena disinari oleh ruh ketuhanan. Aktualisasinya adalah pesaudaraan (ukhuwah), saling menyayangi (tarahum), saling tolong menolong (ta’awun), saling toleransi (tasamuh), saling menanggung (takaful), yang semuanya didorong oleh perintah illahi.[6]



[1] Gede Pramana, “Cinta sebagai kejadian spiritual,” dalam Muslim Iqro Club Multimedia, Materi Kajian Islam 2.

[2] Ibid.

[3] A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 303-304.

[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Keajaiban Hati. Penerjemah Fadhli Bahri, Lc (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h. 103.

[5] Abdul Mujib, Risalah Cinta: Meletakkan Puja pada Puji (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), Cet. ke-2, h. 68.

[6] Ibid., 68-69.

No comments: